Islamisasi Sains bukan dalam pelabelan ayat-ayat Al-Quran dan hadis. Adaptasi dan asimilasi ke dalam nilai-nilai budaya reigius Islam. Sistem epistemologi saja tak cukup. Teori pengetahuan yang membicarakan tentang sumber dan cara mendapatkan pengetahuan yang dibangun para filosof dan ilmuwan Barat itu betapapun berpengaruh dalam pengembangan peradaban manusia, dianggap mengabaikan nurani dan intusisi manusia.
Dalam sejarahnya, sistem epistemologi Barat ini bergulir pada pasca Abad Pertengahan dan zaman Renaisans, terutama sejak masa Rene Decrates, yang dipandang sebagai "Bapak Filsafat Barat Modern". Paradigma epistemologi Barat bercorak rasionalistik-positivistik indrawi menempatkan manusia cuma sebagai mahluk fisik-kimia yang tidak peduli nilai-nilai spiritual. Pandangan ini menyingkirikan Tuhan sebagai Pencipta. Seluruh proses alam dipandang hanya kebetulan, tak ada campur tangan Tuhan.
Dalam bangunan filsafatnya, Decrates menekankan akal itu sebagai sumber ilmu pengetahuan dan menjadikannya sebagai tujuan akhir. Segala hal yang bersifat abstrak dan tidak dapat dipikirkan secara logika bukanlah ilmu pengetahuan.
Epistemologi barat sebagai sebuah sistem yang sangat mendominasi pada abad ini telah menjadi ancaman bagi kemanusiaan, betatapapun penting posisi akal sebagai sumber ilmu, dia membutuhkan alat bantu yang disebut hati atau intusisi yang dalam bentuk teritingginya disebut wahyu. Intuisi memiliki keunggulan memahami banyak hal yang tak dapat dilakukan akal. Akal tidak mamapu memahami pengalaman-pengalaman eksistensial; akal tidak bisa mengerti mengapa ada tempat atau waktu tertentu yang dianggap sakral oleh orang-orang tertentu. Akal juga tidak bisa menangkap sinyal dari langit. Semua ini hanya dapat dilakukan oleh hati (qalb). Otoritas hati sebagai sumber pengetahuan ini mendapatkan pijakan kukuh dalam Islam.
Pengalaman mimpi ini amat membantu kita dalam memamahi pengalaman mistik yang sering diklaim para sufi ataupun filosof. Mereka yang telah menembus batas-batas dunia fisik bisa mengalami hal yang tak dapat dipahami oleh akal sebagaimana dalam epistemologi Barat. Pengalaman mistik adalah riil dan sejati bukan ilusi. Pandangan ini amat membantu dalam memahami pengalaman kenabian.
Akibat lebih luas dari paradigma epistemologi Barat yag rasionalistik-positivistik ini, terjadilah sekularisme ilmu pengetahuan yang memandang ilmu netral. Setidaknya kita dapat menolak pandangan demikian dan menyatakan ilmu tidak bisa berkembang secara mandiri tanpa dipengaruhi nilai-nilai budaya da agama, bahkan oleh situasi politik dan ekonomi.
Sedikit banyak, orientasi, penekanan, corak, bahkan perkembangan ilmu dipengaruhi keyakinan pribadi ilmuwan-ilmuwannya. Karena perkembangan ilmu kini didominasi orang-orang Barat yang memiliki corak sekular, maka pengembangannya pun terkait erat dengan latar belakang budaya mereka yang sekular tersebut. Ini tantangan epistemologi Islam. Karena itu perkembangan epistemologi Barat tersebut perlu diarahkan dengan melakukan Islamisasi sains. Namun Islamisasi bukan hanya dalam bentuk pelabelan sains dengan ayat-ayat Al-Quran atau hadis, melainkan adaptasi dan asimilasi kembali masuk ke dalam nilai-nilai budaya religius Islam.
referensi - read more
Dalam sejarahnya, sistem epistemologi Barat ini bergulir pada pasca Abad Pertengahan dan zaman Renaisans, terutama sejak masa Rene Decrates, yang dipandang sebagai "Bapak Filsafat Barat Modern". Paradigma epistemologi Barat bercorak rasionalistik-positivistik indrawi menempatkan manusia cuma sebagai mahluk fisik-kimia yang tidak peduli nilai-nilai spiritual. Pandangan ini menyingkirikan Tuhan sebagai Pencipta. Seluruh proses alam dipandang hanya kebetulan, tak ada campur tangan Tuhan.
Dalam bangunan filsafatnya, Decrates menekankan akal itu sebagai sumber ilmu pengetahuan dan menjadikannya sebagai tujuan akhir. Segala hal yang bersifat abstrak dan tidak dapat dipikirkan secara logika bukanlah ilmu pengetahuan.
Epistemologi barat sebagai sebuah sistem yang sangat mendominasi pada abad ini telah menjadi ancaman bagi kemanusiaan, betatapapun penting posisi akal sebagai sumber ilmu, dia membutuhkan alat bantu yang disebut hati atau intusisi yang dalam bentuk teritingginya disebut wahyu. Intuisi memiliki keunggulan memahami banyak hal yang tak dapat dilakukan akal. Akal tidak mamapu memahami pengalaman-pengalaman eksistensial; akal tidak bisa mengerti mengapa ada tempat atau waktu tertentu yang dianggap sakral oleh orang-orang tertentu. Akal juga tidak bisa menangkap sinyal dari langit. Semua ini hanya dapat dilakukan oleh hati (qalb). Otoritas hati sebagai sumber pengetahuan ini mendapatkan pijakan kukuh dalam Islam.
Pengalaman mimpi ini amat membantu kita dalam memamahi pengalaman mistik yang sering diklaim para sufi ataupun filosof. Mereka yang telah menembus batas-batas dunia fisik bisa mengalami hal yang tak dapat dipahami oleh akal sebagaimana dalam epistemologi Barat. Pengalaman mistik adalah riil dan sejati bukan ilusi. Pandangan ini amat membantu dalam memahami pengalaman kenabian.
Akibat lebih luas dari paradigma epistemologi Barat yag rasionalistik-positivistik ini, terjadilah sekularisme ilmu pengetahuan yang memandang ilmu netral. Setidaknya kita dapat menolak pandangan demikian dan menyatakan ilmu tidak bisa berkembang secara mandiri tanpa dipengaruhi nilai-nilai budaya da agama, bahkan oleh situasi politik dan ekonomi.
Sedikit banyak, orientasi, penekanan, corak, bahkan perkembangan ilmu dipengaruhi keyakinan pribadi ilmuwan-ilmuwannya. Karena perkembangan ilmu kini didominasi orang-orang Barat yang memiliki corak sekular, maka pengembangannya pun terkait erat dengan latar belakang budaya mereka yang sekular tersebut. Ini tantangan epistemologi Islam. Karena itu perkembangan epistemologi Barat tersebut perlu diarahkan dengan melakukan Islamisasi sains. Namun Islamisasi bukan hanya dalam bentuk pelabelan sains dengan ayat-ayat Al-Quran atau hadis, melainkan adaptasi dan asimilasi kembali masuk ke dalam nilai-nilai budaya religius Islam.
referensi - read more
Posting Komentar