tag:blogger.com,1999:blog-60582053518500842862024-03-13T20:50:52.998-07:00Kembali ke Kampus PAIKonsentrasi Kuliah Sekolah Tinggi Ilmu Tarbiyah (STIT)Unknownnoreply@blogger.comBlogger52125tag:blogger.com,1999:blog-6058205351850084286.post-67828657677265138832012-04-22T16:42:00.003-07:002012-04-22T23:02:04.498-07:00Pengantar Ilmu Tafsir<div style="text-align: justify;"><div class="separator" style="clear: both; text-align: center;"><a href="http://3.bp.blogspot.com/-3Z3sVFiGWcM/T5OVOqs4DbI/AAAAAAAABuU/ew_-weCF6qw/s1600/tafsir-kabir.gif" imageanchor="1" style="clear: left; float: left; margin-bottom: 1em; margin-right: 1em;"><img border="0" height="200" src="http://3.bp.blogspot.com/-3Z3sVFiGWcM/T5OVOqs4DbI/AAAAAAAABuU/ew_-weCF6qw/s200/tafsir-kabir.gif" width="138" /></a></div><b>DEFINISI ILMU TAFSIR :</b><br />
<b>Ilmu tafsir secara Etimologi </b> yaitu : Penjelasan, pengungkapan, dan penjabaran kata yang samar.<br />
<b>Secara Termenologi </b>: penjelasan terhadap kalamulloh, / lafadz-lafadz Alqur’an dan pemahamannya.<br />
<b>Secara Umum Ilmu </b>Tafsir Yaitu : ilmu yang bekerja untuk mengetahui arti dan maksud dari ayat-ayat al qur’an.<br />
<b>1. Menurut badruddin azzarkasi </b> yaitu : memahami ayat2 Alloh yang di turunkan kepada nabi Muhammad SAW, menjelaskan makna-makna dan mengunkap hikmah dan hokum yang ada di dalamnya<br />
<b>2. Jalaluddin Assuyuti </b>: Tafsir adalah menjelaskan tentang nuzulul qur’an, hokum-hukum yang ada di dalam al qur’an<br />
<br />
<br />
<b>MACAM-MACAM TAFSIR :</b><br />
<b>1. Tafsir Bil Ma’tsur /Bin Naqli / Birriwayah</b><br />
Bil Ma’tsur yaitu : menafsiri ayat al qur’an dengan Al Qur’an / dengan Hadist, atau dengan Qoul Sahabat/ Tabi’in untuk menjelaskan suatu yang di kehendaki Alloh<br />
<b>2. Tafsir Birro’yi / Bil Aqli / Biddiroyah </b>: Tafsir yang menjelaskan maknanya, mufassir berpegang teguh pada pemahamannya dengan menyimpulkan / istibath yg didasarkan pada ro’yu semata<br />
<b>Tafsir birro’yi ada 2 yaitu :</b><br />
<b>a. Tafsir Mahmud </b>: suatu penafsiran sesuai dengankehendak sari’ah (penafsiran oleh orang yg menguasai sari’ah) jaugh darikebodohan dan kesesatan sesuai dg kaidah bahasa arab serta berpegang tegung pada uslub-uslub dalam memahami qur’aniyah<br />
<b>b. Tafsir Madzmum</b> : penafsiran tanpa berdasarkan ilmu / mengikuti hawa nafsu, dan kehendak sendiri, tanpa mengikuti kaidah bahasa /sari’ah, tafsir madzmum termasuk haran, sebagaimana firman Alloh Q.S. Al isro’ ayat 36: yang artinya : <br />
(“Dan janganlah kamu mengikuti apa-apa yang kamu tidak mempunyai pengetahuan tentangnya”)<br />
<br />
<b>3. Tafsir Bil Itsari yaitu </b>: setiap ayat mempuyai makna dlohir dan batin. Dhohir adalah yang mudah dipahami oleh akal pikiran. Batin adalah : isyarat-isyaratnya tersembunyi dibalik itu yang hanya diketahui oleh ahlinya<br />
<b>4. Tafsir Bil Izhali </b>disebut juga metode campuran antara tafsir bil ma’tsur dan tafsir birro’yi adalah : penafsiran al qur’an di dasarkan atas perpaduan antara sumber-sumber tafsir riwayah yg kuat dan shoheh dengan sumber hasilijtihad.<br />
<br />
<b>SYARAT MENJADI MUFASSIR :</b><br />
1. Tahu tentang ilmu tafsir<br />
2. Tahu tentang ilmu bahasa arab, karena Alloh melarang menafsirkan Al qur’an tanpa bahasa aran<br />
3. Ilmu nahwu : untuk mengetahui perubahan makna<br />
4. Tahu ilmu sorrof untuk mengetahui sighot dan mabni<br />
5. Tahu tentang ilmu istiqoq <br />
6. Tahu tentang ilmu qowaidul lughoh<br />
7. Tahu tentang ilmu balaghoh ( Ma’ani, bayan, dan badi’)<br />
8. Tahu tentang ilmu qiro’ah untuk mengetahui cara membaca alqur’an<br />
9. Mengetahui ilmu usuluddin untuk mengetahui hal yang wajib, mustahil, dan jais bagi Alloh<br />
10. Mengetahui ilmu usul fiq untuk mengetahui cara pengambilan hokum dari al qur’an, ijmal,tabyin, khusus, umum, itlaq, dan taqyid<br />
11. Tahu ilmu azbabunnnuzul untuk mengetahui ketentuan sebab turunnya ayat<br />
12. Tahu ilmu qosos, ikhbar untuk qosos tafsil dan mujmal<br />
13. Tahu nasih mansuh untuk mengetahui ilmu yang dihukumi dari yang lain<br />
14. Tahu tentang ilmu hadist yang menerangkan / almubayyin<br />
15. Tahu tentang ilmu mauhibbah / ikhlasul mauhibbah<br />
<br />
<b><br />
</b><br />
<b>METODOLOGI TAFSIR MENURUT ABUL HAYYI AL GHIRFANI ADA 4 YAITU :</b><br />
1. Tahlili / Analitik yaitu : satu metode tafsir yang penafsirnya menafsirkan ayat-ayat dari segala segi dan maknanya secara urut yang tersusun dalam al qur’an<br />
2. Ijmali yaitu : penafsiran al qur’an secara singkat dan global dgn menjelaskan makna yg dimaksudsetiap kalimat dgn bahasa yg ringkas sehingga dapat di pahami<br />
3. Muqoron yaitu : menafsirkan al qur’an dengan metode membandingkan antara ayat dengan ayat, ayat dengan hadist, pendapat ulama’ tafsir dengan menunjolkan perbedaan tertentu dari objek yang diperbandingkan. <br />
4. Maudu’i yaitu : tafsir yang menjawab al qur’an dengan cara mengumpulkan al qur’an yang mempunyai tujuan satu yang membahas topic tertentu dan menertibkan sesuai dengan masa turunnya selaras dengan kedudukannya<br />
<br />
<b>HERMENEUTIKA</b><br />
Hermeneutika adalah tafsir Bible. The New Encyclopedia Britannica menjelaskan bahwa hermeneutika adalah the study of the general principle of biblical interpretation to discover the truths and values of the Bible (studi prinsip-prinsip umum tentang penafsiran Bible untuk mencari kebenaran dan nilai-nilai kebenaran Bible). Bible itu sendiri adalah kitab suci Kristen dan Yahudi, terdiri dari Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru.<br />
<br />
Akar katanya berasal dari bahasa Yunani Kuno ta hermeneutika yang berarti ‘hal-hal yang berkenaan dengan pemahaman dan penerjemahan suatu pesan’. Kata tersebut merupakan turunan dari hermes, yang dalam mitologi Yunani dikatakan sebagai dewa yang diutus oleh Zeus (Tuhan) untuk menyampaikan pesan dan berita kepada manusia di bumi. Dan konsep hermeneutic itu sendiri di masa Yunani resminya digunakan untuk kebutuhan kultural bagi menentukan makna, peran dan fungsi teks-teks kesusasteraan yang berasal dari masyarakat Yunani kuno. Saat itu dikenal dua model interpretasi, yaitu literal yang dikembangkan Aristoteles, dan alegoris yang dikembangkan oleh Plato.</div><div style="text-align: justify;"><br />
Dalam analisis Werner, setidaknya ada tiga lingkungan yang mendominasi pengaruh terhadap pembentukan hermeneutika hingga sekarang : <br />
1. Masyarakat yang terpengaruh mitologi Yunani <br />
2. Masyarakat Yahudi dan Kristen yang mengalami masalah dengan teks kitab “suci” agama mereka <br />
3. Masyarakat Eropa zaman pencerahan (Enlightenment) yang berusaha lepas dari otoritas keagamaan dan membawa hermeneutika keluar konteks keagamaan Ketiga miliu ini tidak terjadi secara bersamaan, akan tetapi merupakan tahapan-tahapan. <br />
<br />
Berdasarkan analisis tersebut, Hamid Fahmi Zarkasyi membagi sejarah hermeneutika menjadi tiga fase, yaitu: <br />
1. Dari mitologi Yunani ke teologi Yahudi dan Kristen <br />
2. Dari teologi Kristen yang problematik ke gerakan rasionalisasi dan filsafat <br />
3. Dari hermeneutika filosofis menjadi filsafat hermeneutika<br />
<br />
Dari filsafat hermeneutika inilah akhirnya hermeneutika dikembangkan dan diujicoba untuk dimasukkan dalam kajian-kajian al-Quran oleh Fazlur Rahman (1919-1998), Aminah Wadud, Mohammed Arkoun, Nasr Hamid Abu Zayd, Muhammad Syahrur, yang kemudian diadapsi oleh pemikir-pemikir yang tergabung dalam Jaringan Islam Liberal (JIL) seperti Ulil Abshar Abdalla, Lutfhie Assyaukanie dan Taufik Adnan Amal<br />
<b><br />
CORAK TAFSIR / PENDEKATAN ERMENEUTIKA YAITU :</b><br />
1. Lughowi<br />
2. Fighi/hukmi<br />
3. Tauhidi / kalami<br />
4. ‘ilmi<br />
5. Falsafi<br />
6. Sufi / instuisi/ kepuasan batin<br />
7. Adabi ijma’i/ kontek social kemasyarakatan</div>Unknownnoreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-6058205351850084286.post-76702536693025281172012-04-22T10:14:00.003-07:002012-04-22T10:20:13.152-07:00KAJIAN ILMU KALAM DI IAIN<div style="text-align: justify;"><div style="text-align: center;">M. Amin Abdullah</div><br />
Dalam Islamic Studies atau Dirasat Islamiyah, ilmu kalam (`ilm al-kalâm) termasuk kajian yang pokok dan sentral. Ilmu ini termasuk rumpun ilmu ushuluddin (dasar-dasar atau sumber-sumber pokok agama). Begitu sentralnya kedudukan ilmu kalam dalam Dirasat Islamiyah sehingga ia menawari, mengarahkan sampai batas-batas tertentu "mendominasi" arah, corak, muatan materi dan metodologi kajian-kajian keislaman yang lain, seperti fikih, (al-ahwal al-syakhsyiyah, perbandingan mazdhab, jinayah-siyasah), ushul fiqh, filsafah (Islam), ulum al-tafsir, ulum al-hadist, teori dan praktik dakwah dan pendidikan Islam, bahkan sampai merembet pada persoalan-persoalan yang terkait dengan pemikiran ekonomi dan politik Islam. Lima fakultas di lingkungan IAIN1 (Adab, Dakwah, Syari'ah, Tarbiyah dan Ushuluddin) seluruhnya mengajarkan ilmu kalam dalam Mata Kuliah Dasar Umum (MKDU). Sedemikian kokohnya kedudukan ilmu kalam dalam studi-studi keislaman sehingga nyaris terlupakan sisi historisitas bangunan pola pikir, logika, metodologi dan sisitematika keilmuam kalam itu sendiri, yang pada gilirannya terlupakan pula agenda pengembangannya. Bagaimana sejarah perkembangan "teori-teori" ilmu kalam, model/tipe logika apa yang biasa digunakan oleh para penggunanya, faktor apa saja yang mendorong menguatnya pengaruh pendekatan kalam dalam keberagamaan Islam? Mengapa kemudian muncul ke permukaan pendekatan tasawuf menjadi counter terhadap model dan corak pendekatan kalam? Kritik terhadap model pendekatan kalam oleh ulama klasik begitu gencar, tetapi mengapa ia tetap bertahan kokoh seperti sediakala, bahkan belakangan terkesan "diproteksi" oleh berbagai kepentingan sosial-politik yang selalu mengelilinginya?<br />
<br />
Pada era globalisasi agama dan budaya, umat Islam di seantero dunia secara alamiah harus bersentuhan dan bergaul dengan budaya dan agama orang lain. Sering kali dijumpai bahwa umat Islam, baik sebagai individu dan lebih-lebih sebagai kelompok, mengalami kesulitan keagamaan -untuk tidak mengatakan tidak siap-ketika harus berhadapan dengan arus dan gelombang budaya baru ini. Bangunan keilmuan kalam klasik rupanya tidak cukup kokoh menyediakan seperangkat teori dan metodologi yang banyak menjelaskan bagaiamana seorang agamawan yang baik harus berhadapan, bergaul, bersentuhan, berhubungan dengan penganut agama-agama yang lain dalam alam praksis sosial, budaya, ekonomi, dan politik.<br />
<br />
Adanya jarak yang terlalu lebar antara "teori" dan "praksis" dalam kajian kalam, antara "idealitas" dan "relitas", antara "teks" dan "konteks", mendorong munculnya pertanyaan yang bersifat akademis: bagaimana hal demikian dapat dijelaskan? Mengapa materi ilmu kalam, lebih-lebih aspek metodologinya, tidak dapat dikembangkan sedemikian rupa --tidak seperti halnya yang terjadi pada disiplin-disiplin ilmu yang lain-sehingga diharapkan dapat memberi bekal yang cukup bagi konsumennya untuk mengarungi samudra kehidupan era baru era industri dan post industri? Mengapa seringkali timbul dalam diri umat Islam bahwa mereka adalah selalu minoritas, padahal dalam statistik mereka adalah mayoritas? Mengapa umat Islam mengalami disartikulasi politik meskipun mereka mayoritas? Adakah andil yang diduga dapat disumbangkan oleh ilmu kalam dalam konfliks etnik, ras, suku, dan agama?<br />
<br />
Menurut pengamatan dalam penelitian Fazlur Rahman, salah satu penyebab tidak berkembangnya disiplin keilmuan kalam khususnya atau studi-studi keislaman pada umumnya, lebih dari segi materi maupun metodologi, adalah dipisahkannya dan dihindarinya pendekatan dan pemahaman filosofis dalam batang tubuh kerangka keilmuan kalam. Menurutnya, disiplin ilmu filsafat dan pendekatan filosofis pada umumnya sangat membantu untuk menerobos kemacetan, bahkan jalan buntu yang dihadapi oleh ilmu-ilmu apapun. Lebih lanjut dikatakan bahwa: "philosophy is, however, a perennial intellectual need and has to be allowed to flourish both for its own sake of other disciplines, since it inculcates a much-needed analytical-critical spirit and generates mew ideas that become important intellectual tools for other sciences not least for religion and theology. Therefore a people that deprives itself of philosophy necessarily exposes itself to starvation in terms of fresh ideas - in fact it commits intellectual suicide". Terjemahan ke dalam bahasa Indonesia kurang lebih sebagai berikut: "Bagaiamanapun juga filsafat adalah merupakan alat intelektual yang terus menerus diperlukan. Untuk itu, ia harus boleh berkembang secara alamiah, baik untuk pengembangan filsafat itu sendiri maupun untuk pengembangan disiplin-disiplin keilmuan yang lain. Hal demikian dapat dipahami, karena filsafat menanamkan kebiasaan dan melatih akal-pikiran untuk bersifat kritis-analitis dan mampu melahirkan ide-ide segar yang sangat dibutuhkan, sehingga dengan demikian ia menjadi alat intelektual yang sangat penting untuk ilmu-ilmu yang lain, tidak terkecuali agama dan teologi (kalam). Oleh karenanya, orang yang menjauhi filsafat dapat dipastikan akan mengalami kekurangan energi dan kelesuan darah -dalam arti kekurangan ide-ide segar-dan lebih dari itu, ia telah melakukan bunuh diri intelektual."2<br />
<br />
Kelesuan berpikir dan berijtihad dalam bidang ilmu kalam bukannya hanya datang belakangan ini. Menurut penelitian Muhammad Abid al-Jabiri, hampir selama 400 tahun lebih, yakni dari tahun 150 sampai dengan 550 Hijriyyah, seluruh khazanah intelektual Muslim yang tertulis dalam bahasa Arab (kitab kuning), khususnya yang berbasis pada pemikiran kalam selalu menyerang dan memojokkan filsafat, baik sebagai pendekatan, metodologi maupun disiplin.3 Akibatnya dapat diduga, pendekatan dan pemahaman filosofis terhadap realitas keberagamaan pada umumnya, dan realitas keberagamaan Islam khusunya kurang begitu dikenal dan begitu berkembang dalam alam pikiran Muslim era kontemporer.<br />
<br />
<b>Pertanyaan Epistemologis</b><br />
Dengan mencamkan dan mempertimbangkan temuan Fazlur Rahman dan Muhammad Abid al-Jabiri, beberapa pertanyaan pendahuluan perlu dikemukakan terlebih dahulu sebelum penulis mengeksplorasi lebih lanjut tema tulisan ini. Apakah mungkin mengawinkan atau setidaknya mendialogkan disiplin dan metodologi "filsafat" dan "kalam" dalam pemikiran Islam kontemporer, yang selama berabad-diupayakan namun selalu gagal? Jika memang begitu kenyataannya, apakah disiplin ilmu kalam, sebagai body of knowledge, yang disusun oleh ulama dan kaum cerdik cendekia terdahulu, dapat begitu saja terlepas dari pengaruh dan campur tangan dimensi ruang dan waktu ketika ia dirumuskan baik dahulu, sekarang maupun yang akan datang? Apakah akidah Islamiyah, khususnya yang dirumuskan dan diteorisasikan oleh ulama kalam klasik, tengah dan modern tidak boleh diubah sistematika, metodologi dan konteknya sesuai dengan pergumulan dan perubahan zaman serta perkembangan metodologi keilmuan yang mengitarinya? Bolehkah rumusan dan adagium-adagium ilmu kalam disusun ulang sesuai dengan tuntutan dan tantangan sosial-keagamaan serta perkembangan ilmu pengetahuan yang mengitarinya? Dapatkah dominasi pendekatan tekstual dan kontektual bergulir ke arah kontektual dan praksis sosial yang aktual dalam kehidupan kongkrit sehari-hari? Puncak pertanyaannya, barangkali, adalah sebagai berikut: bolehkah apa yang biasa dan selama ini disebut-sebut sebagai "doktrin", "dogma" atau "akidah" digagas sebagai teori" keilmuan kalam, karena adanya unsur campur tangan dan intervensi manusia Muslim (nabi, sahabat, ulama, fuqaha, mutakallimun, usuliyyun, cerdik cendekia) dalam merumuskan dan mensistematisasikannya?<br />
<br />
Pertanyaan-pertanyaan mendasar yang lebih bersifat metodologis-epistemologis tersebut perlu dijawab terlebih dahulu, sebelum penulis melangkah lebih lanjut. Perlu ditegaskan bahwa pertanyaan-pertanyaan yang lebih bersifat filosofis-epistemologis, dan bukannya pertanyaan-pertanyaan yang bersifat doktrinal-apologis. Jangan berharap diskursus ini dapat dilanjutkan dan berhasil guna, jika saja semua jawaban terhadap semua pertanyaan tersebut di atas bersifat "negatif". Jika kita mengunci rapat (menutup pintu ijtihad) dan memustahilkan perlunya telaah ulang terhadap rumusan-rumusan argumen ilmu kalam klasik, maka sama halnya kita mensakralkan suatu produk rumusan pemikiran yang sesungguhnya tidak perlu disakralkan. Dengan demikian telah terjadi proses pembakuan dan sekaligus pembekuan keilmuan. Pengembangan metodologi keilmuan tidak mungkin dan terjadilah dengan sendirinya penyempitan horizon cara pandang terhadap realitas keberagaman manusia. Sebuah proses yang mungkin saja terjadi dalam disiplin ilmu-ilmu keagamaan, lebih-lebih ilmu kalam, lantaran lengketnya "kepentingan" politik di dalamnya, namun secara epistemologis amat dipertanyakan validitas dan keabsahannya.<br />
<br />
<b>Perkawinan ilmu kalam (teologi) dan falsafah </b>--lebih-lebih dengan mempertimbangkan masukan yang diberikan oleh metodologi keilmuan yang dikembangkan para ilmuwan dan cerdik-cendekia abad 18 hingga sekarang, yakni setelah ditemukan dan dikembangkannya ilmu homaniora, ilmu alam, dan ilmu agama (religious studies) --dirasakan amat mustahil jika para peneliti dan pengkaji ilmu keislaman belum-belum sudah beranggapan bahwa akidah Islamiyah yang mengejawantah dan terbungkus dalam konsepsi keilmuan kalam klasik --yang kemudian pada gilirannya membentuk dan mewarnai corak bangunan materi dan metodologi keilmuan keislaman yang lain-terlepas sama sekali dari campur tangan manusia dalam menyusun dan men-sistematis-kannya.4 Padahal sejarah dan sosiologi ilmu pengetahuan menggarisbawahi adanya campur tangan "kepentingan" manusia dalam setiap bangunan keilmuan.5 Tidak terkecuali ilmu kalam dan ilmu-ilmu keagamaan yang lain.<br />
<br />
Dimensi historis-epistemologis dari ilmu-ilmu keislaman klasik amat terabaikan dalam pemahaman pemikiran keislaman kontemporer.6 Bisa dianggap sebagai terlalu bersemangat mempertahankan rumusan-rumusan baku keilmuan agama Islam, jika harus sampai dikatakan bahwa seluruh hal yang terkait dengan akidah, apalagi yang terkonsepsikan dan terumuskan dalam ilmu kalam, yakni yang disusun dan dirancang oleh para ahli ilmu kalam klasik, adalah wadl'iy (disusun dan diturunkan begitu saja adanya dari langit) dengan serta-merta melupakan dan mengabaikan dimensi historisitas bangunan keilmuan kalam itu sendiri. Namun justru pengabaian aspek historisitas keilmuan kalam inilah yang menjadi ciri umum sekaligus kekuatan dan unggulan diskursus pemikiran keislaman yang secara luas dianut dengan kokoh oleh para konsumen dan pengguna jasa ilmu-ilmu keislaman, baik di pesantren, Institut Agama Islam Negeri (IAIN), Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri (STAIN), Perguruan Tinggi Agama Islam Swasta (PTAIS), dan pemikiran keagamaan Islam pada Perguruan Tinggi Umum (PTU), majlis-majlis ta'lim maupun tokoh-tokoh masyarakat lainnya.<br />
<br />
Untuk mencari kemungkinan-kemungkinan baru, dalam tulisan ini akan ditelah tiga aspek yang terkait dengan akidah, khususnya yang telah tersistematisasikan dan terformulasikan melalui ilmu kalam: (1) Struktur fundamental pola pikir atau logika akidah; (2) teks atau nash-nash keagamaan yang terbatas, dan (3) masa depan pendekatan pengkajian ilmu kalam: kerjasama antarmetodologi keilmuan.<br />
<br />
<b>Struktur Fundamental Pola Pikir Akidah</b><br />
Mula pertama perlu dikemukakan asumsi dasar penulis yang terbuka untuk dipertanyakan ulang. Kaum agamawan pada umumnya berpendapat bahwa "rumusan" belief, îmân, credo, kepercayaan, atau akidah (`aqîdah) harus dipercayai begitu saja adanya oleh para pemeluknya. Penulis sepakat dengan anggapan dasar yang demikian karena memang itulah fundamental structure dari apa yang disebut sebagai "agama". Yang menjadi perhatian utama tulisan ini adalah kata "rumusan" tentang `aqîdah, belief, îmân, kepercayaan, atau credo. Jika semuanya ini tidak dapat dilepaskan sama sekali dari "rumusan" bahasa manusia, maka di sinilah letak bahan perbincangan keilmuan yang menarik, karena rumusan, definisi, ta`rîf, dalîl dan istidlâl serta batasan-batasan yang lain mengandaikan adanya pola pikir dan logika yang menyertainya. Umumnya, pola pikir atau logika yang digunakan oleh sistem berpikir akidah, doktrin atau dogma adalah pola pikir deduktif (deductive). Pola pikir yang sangat tergantung pada teks atau nash-nash kitab suci adalah pola pikir yang bersifat deduktif. Abid al-Jabiri menyebut pola pikir seperti itu sebagai pola pikir "bayaniyyun" dan bukan `irfaniyyun, dan juga bukan burhaniyyun.7 Perlu dicatat bahwa pola pikir deduktif hanyalah salah satu dari sekian banyak pola pikir yang ada. Selain itu masih ada pola pikir lain seperti yang menggunakan cara pendekatan induktif (inductive) atau abduktif abductive).<br />
<br />
Pola logika pemikiran kalam yang bersifat deduktif adalah mirip-mirip pola berpikir deduktif Plato.8 Plato pernah berpendapat bahwa segala sesuatu yang dapat diketahui manusia berasal dari "idea", yaitu ide-ide yang tertanam dan melekat pada diri manusia secara kodrati sejak awal mulanya. Ide "kebaikan" atau "keadilan" misalnya, menurut Plato, tidaklah diketahui melalui pengalaman historis-empiris-induktif, tetapi diperoleh dari ide bawaan yang dibawa manusia sejak "sebelum" lahir. Manusia tinggal mengingat kembali (recollection) tentang ide-ide bawaan yang telah melekat begitu rupa dalam keberadaannya.9<br />
<br />
Plato tidak menyetujui pendapat bahwa ilmu pengetahuan dapat diperoleh manusia melalui pengetahuan dan pemeriksaan secara cermat dan seksama terhadap realitas alam dan realitas sosial sekitar melalui pengamatan dan pengalaman inderawi. Lantaran sifatnya yang berubah-ubah, maka realitas semacam itu dianggap ilusi dan tidak meyakinkan. Pemikiran keislaman pada umumnya, dan pemikiran kalam khususnya, juga bersifat deduktif. Hanya saja fungsi ide-ide bawaan dalam pola pikir Plato tersebut diganti -untuk tidak menyatakan diislamkan-oleh ayat-ayat al-Qur'an dan teks-teks al-Hadist. Bahkan seringkali melebar sampai ke Ijma' dan Qias. Perhatikan perlunya "dalil" dan "istidlal" sebagai landasan pola pikir dan pola bertindak dalam hidup keseharian umat Islam. Pola pikir ini dengan mudah menggiring seseorang dan kelompok ke arah model berpikir yang bersifat justifikatif (justificative) terhadap teks-teks yang sudah tersedia.<br />
<br />
Sebagai pola, pemikiran deduktif disanggah dan dikritik oleh pola pemikiran induktif. Menurut pola pemikiran ini, ilmu pengetahuan bersumber dari realitas empiris-historis. Realitas empiris-historis yang berubah-ubah, yang dapat ditangkap oleh indera dan dirasakan oleh pengalaman ini kemudian diabtraksikan (abstraction) menjadi konsep-konsep, rumus-rumus, ide-ide, gagasan-gagasan, dalil-dalil yang disusun sendiri oleh akal pikiran. Oleh karena itu harus dibedakan antara istilah "recollection" dan "abstraction".<br />
<br />
Ilmu pengetahuan manusia adalah hasil kerjasama antara pengalaman historis-empiris (panca indera dan alat-alat pembantunya) dan kekuatan abstraksi (akal pikiran dalam merumuskan dan membahasakannya). Maka bagi pola pikir induktif, tidak ada sesuatu apapun yang disebut ilusif. Semua yang dikenal oleh manusia dalam alam historis-empiris dapat dijadikan bahan dasar ilmu pengetahuan10 .<br />
<br />
Dalam analisis sejarah perkembangan ilmu pengetahuan (history of science), pola pemikiran deduktif dan induktif dianggap tidak lagi cukup memadai untuk dapat menjelaskan secara cermat tata kerja diperolehnya ilmu pengetahuan yang sesungguhnya. Perkembangan ilmu pengetahuan abad 20 memunculkan kategori baru dalam pola pikir keilmuan, yaitu pola pikir abduktif. Pola pikir ini lebih menekankan the logic of discovery dan bukannya the logic of justification. Logika abduktif lebih menekankan pada unsur hipotesis, interpretasi, proses pengujian di lapangan terhadap rumus-rumus, konsep-konsep, dalil-dalil, gagasan-gagasan yang dihasilkan dari kombinasi pola pikir deduktif dan induktif.11 Pengujian secara kritis terhadap apa saja yang dapat disebut sebagai bangunan keilmuan, termasuk di dalamnya rumusan manusia tentang keilmuan agama atau rumusan akidah, dapat dikaji kembali validitas dan kebenarannya melalui pengalaman-pengalaman yang terus-menerus berkembang dalam kehidupan aktual.<br />
<br />
Dari tiga corak pola logika berpikir tersebut, pemikiran kalam ternyata lebih dekat pola pikir deduktif. Hanya saja, ada perbedaan tajam antara keduanya. Jika pola pikir logika deduktif model Plato dapat dikritik dan dipertanyakan ulang oleh pola pikir manusia yang datang belakangan, tanpa rasa takut dan segan, maka pola pikir logika deduktif keagamaan --yang dalam hal ini adalah pemikiran kalam-- nyaris tidak boleh dipertanyakan ulang, dikritik, ditinjau dan ditelaah ulang. Hal demikian semata-mata karena bahan dasar deduksi yang digunakan oleh akidah dan kalam adalah ayat-ayat al-Qur'an dan hadist-hadist Nabi. Dengan demikian, produk pemikiran kalam dan pola pikir akidah pada umumnya telah dikunci rapat, tertutup, ghayru qabilin li al-taghyir.12<br />
<br />
Jika memang demikian gambaran pola kerjanya, maka dari sudut kajian linguistik kontemporer dapat dijelaskan bahwa pemikiran kalam dan pola pikir akidah pada umumnya lebih menganut aliran monistik, dan bukan menganut aliran dualistik maupun pluralistik. Seperti diketahui, dalam hubungan antara makna dan lafal atau bentuk teks, terdapat tiga aliran, yakni:<br />
<br />
1. Aliran monisme berpendapat bahwa antara isi (makna) dengan lafal atau bentuk teks merupakan satu kesatuan yang tak terpisahkan. Dengan kata lain, tidak ada kemungkinan perbedaan pendapat dalam memahami teks karena antara teks dengan maknanya adalah sesuatu yang manunggal, satu kesatuan.<br />
<br />
2. Aliran dualisme mengatakan bahwa antara isi (makna) dengan lafal atau bentuk teks dapat dipisahkan. Dengan kata lain bahwa masing-masing mempunyai eksistensi, meskipun ada hubungan tetapi hubungan tersebut tidaklah begitu kompleks.<br />
<br />
3. Aliran pluralisme yang mengatakan bahwa hubungan antara isi (makna) dengan lafal atau bentuk teks amatlah kompleks. Sebuah teks menurut aliran ini merupakan konstruksi metafungsional yang terdiri dari makna ideasional, interpersonal dan tektual yang kompleks. Dengan kata lain, bukan hanya masing-masing makna dan bentuk teks mempunyai eksistensi tersendiri, tapi hubungan antara keduanya bersifat amat kompleks13 .<br />
<br />
Pengalaman mengajar di IAIN baik dalam program strata satu maupun strata dua dan tiga menunjukkan bahwa sangat sulit menjelaskan pada pengguna jasa keilmuan pemikiran Islam dan pemikiran kalam bahwa pola pikir yang digunakan al-Qur'an sesungguhnya adalah induktif dan sekali waktu bahkan abduktif. Istilah "asbab al-nuzul" yang sering disebut-sebut oleh ulama tafsir dan "asbab al-wurud" yang disebut-sebut oleh ulama Hadist, tidak lain dan tidak bukan adalah pola pikir induktif dan bukan deduktif.<br />
<br />
Menurut pengamat penulis, ada kekhawatiran yang sungguh mendalam dalam diri umat Islam, jika asbab al-nuzul sampai dimaknai melalui pola pikir yang bersifat induktif, yaitu pola pikir yang didasarkan pada peristiwa-peristiwa sejarah sosial-kemasyarakatan dan sejarah sosial-keagamaan yang terjadi saat "diturunkannya" ayat-ayat tersebut. Cara memahami ayat-ayat al-Qur'an melalui pendekatan induktif-historis dianggap terlalu mendesakralisasikan makna dan peran ketuhanan. Dalam arti bahwa Tuhan tidak perlu dan kurang begitu pantas untuk terlalu turut campur tangan dalam urusan-urusan kecil sejarah kemanusiaan di dunia. Bukankah telah terjadi doktrin ilmu kalam bahwa Tuhan itu harus terbebas dari peristiwa keseharian alam semesta dan umat manusia agar terjaga kesucian-Nya. Bahasa teknis yang biasanya digunakan oleh ilmu kalam adalah "tanzîh".<br />
<br />
Dengan lain ungkapan, corak dan pola pemikiran induktif-historis yang tercermin dalam istilah asbab al-nuzul pada akhirnya menipis dan menghilang dari wawasan dan kesadaran individu maupun kolektif umat Islam dan diganti dengan pola pemikiran deduktif yang ternyata lebih bersifat tekstualistik-skriptualistik. Jika memang demikian kenyataannya, maka pendekatan linguistik perlu juga diikutsertakan dalam pengkajian ilmu kalam kontemporer. Pendekatan linguistik atau kebahasaan dapat mempertanyakan sejauhmana fungsi majâz, yakni ungkapan yang bersifat metaforis, dalam diskursus ulum al-Qur'an dapat diangkat ke permukaan untuk membantu memecahkan kesulitan yang dihadapi oleh pendekatan tekstualistik-skriptualistik yang cenderung mengambil pola pemaknaan monistik dalam pemikiran keagamaan Islam.<br />
<br />
Dalam perkembangan ilmu linguistik, diskursus tantang majâz dalam studi ilmu-ilmu al-Qur'an perlu dicermati kembali. Para peneliti pemikiran keislaman kontemporer seperti Muhammad Arkoun mengatakan bahwa pemikiran keislaman sampai sekarang belum memiliki teori yang komprehensif mengenai majâz.<br />
<br />
"The role of metaphor and metonimy in religious language has not yet been fully considered up to now &ldots; Orthodox exegesis has been limited by the traditional definition of metaphor as a simple rhetorical divice used to embelish style"14<br />
<br />
Tampaknya keprihatinan Arkoun muncul karena pemahaman terhadap ungkapan majâzî dalam kajian studi Islam (balaghah) masih sangat sederhana, yakni lebih ditekankan pada masalah estetiknya saja, yakni sebagai pemoles bahasa supaya kedengaran indah. Tidaklah aneh jika banyak dijumpai ungkapan seperti "apabila tidak ada majâz dalam al-Qur'an, maka akan hilanglah sebagian keindahan dan kemu'jizatannya" dan para ahli balaghah sepakat bahwa ungkapan majâz itu lebih baligh (lebih indah) dari pada ungkapan haqîqî. Kajian majâz yang berkembang dalam bidang balaghah umumnya masih terbatas pada persoalan makna yang berskala mikro menyangkut arti kata perkata atau arti penyandaran, apakah dalam arti yang sebenarnya atau bukan sebenarnya. Jika bukan dalam arti sebenarnya (arti majâz), maka bagaimana hubungan arti baru ini dengan arti asalnya. Apakah ia merupakan perserupaan (musyâbahah), yang lantas disebut isti'ârah; ataukah bukan merupakan perserupaan (ghayr musyâbahah), yang kemudian disebut majâz mursal? Adapun persoalan makna berskala mikro yang memandang majâz sebagai sarana untuk menyampaikan sesuatu yang bersifat konseptual dengan cara yang lebih mudah dipahami oleh berbagai kalangan, belum banyak --untuk tidak menyatakan belum ada-dibahas dalam kajian balaghah. Sudah barang tentu, temuan-temuan keilmuan linguistik yang baru seperti ini besar pengaruhnya dalam pengkajian ilmu kalam kontemporer, agar ia dapat dikembangkan seiring dengan derap perkembangan ilmu-ilmu yang lain.<br />
<br />
Salah satu konsekuensi dari pola dan tata pikir deduktif-tekstualistik-skriptualistik adalah kurang tajamnya seseorang atau kelompok dalam melihat dan mencermati fenomena alam, budaya dan sosial kemasyarakatan yang selalu berubah dan berkembang sedemikian dahsyatnya.15 Akibat selanjutnya, kesadaran akan adanya dimensi historisitas sebuah konsep, ide dan gagasan (history of ideas) --apalagi jika gagasan, ide, dogma atau akidah-sulit dipahami oleh pemikiran umumnya dan pemikiran Islam pada khususnya.<br />
<br />
Orang lupa bahwa konsep "dosa besar" dalam pemikiran kalam sesungguhnya bermula dari peristiwa historis-politik, yaitu konflik antara Amr ibn 'Ash, Ali bin Ali Talib dan Mu'awiyah. Lebih-lebih masalah "al-jabr" dan "al-ikhtiyâr". Masalah ini adalah masalah politik murni. Penguasa, dalam hal ini Mu'awiyah, sangat berkepentingan dengan konsep ini untuk meredam suara rakyat yang mempertanyakan kebijakan-kebijakan politiknya.16 Orang juga lupa bahwa al-Qur'an dalam bentuknya yang mushhâfî seperti yang ada sekarang ini adalah jasa khalifah Usman ibn Affan yang berhasil menyatukan cara membaca al-Qur'an yang saat itu ada beberapa macam bacaan dan naskah yang tersebar di berbagai wilayah. Perbedaan antara Sunnî dan Syi'î, yang semarak hingga sekarang, sebetulnya tidak lain dan tidak bukan adalah perbedaan penafsiran terhadap berbagai kekuasaan politik, antara ahl al-bayt dan bukan ahl al-bayt. Kita juga sering lupa jika pemikiran hukum fikih hanyalah hasil ijtihad para ulama fikih klasik, baik Hanafi, Syafi'i, Maliki mupun Hambali dan yang lain-lain. Begitu pula dalam hadist (konsep hadits mutawâtir, ahad, shahîh, dha'îf, hasan, mursal, dan seterusnya), tafsif (model tahlîlî, maudhû'î, muqâran, ijmâlî, bi al-ma'tsûr, bi al-ra'y, dan seterusnya), tasawuf (salâfî, 'amalî) dan begitu juga seterusnya. Semua ilmu-ilmu keislaman tersebut mengaku merujuk kepada teks al-Qur'an sebagai dasar pola pijakannya.<br />
<br />
Menipisnya--untuk tidak mengatakan menghilangnya-kesadaran historisitas pemikiran keislaman menyulitkan para pemikir Muslim kapanpun dan dimanapun mereka berada untuk berijtihad secara mandiri. Syarat-syarat ijtihad terlalu rumit untuk diikuti, sehingga orang lebih suka diam dan tidak bersuara daripada menyampaikan pendapat yang dipandang keluar dari patokan-patokan berpikir "baku" yang telah dirumuskan dan ditentukan oleh generasi keilmuan keislaman terdahulu yang usianya sudah hampir seribu tahun.17<br />
<br />
Menghilangnya nuansa historisitas (salah satu problem historisitas adalah perbedaan letak geografis, iklim, musim, juga budaya dan tradisi antara satu wilayah dan lainnya) menyebabkan orang-orang Muslim imigran di Eropa harus berpuasa dengan tempo lebih lama dari waktu umumnya yang dijadikan patokan orang berpuasa di wilayah Timur Tengah dan daerah ekuator atau katulistiwa pada umumnya. Mereka tidak berani berijtihad sendiri untuk memecahkan persoalan ini. Akibatnya, dalam menjalani ibadah puasa anak-anak lebih mengalami kesulitan dibandingkan orang tua. Warga Muslim minoritas keturunan Turki, Maroko, Pakistan dan negara berpenduduk mayoritas Muslim yang lain di Timur Tengah yang tinggal di Eropa --meskipun mereka telah bekerja, berkeluarga dan sudah turun-temurun sampai pada generasi ketiga-masih saja merasa hidup dalam wilayah dâr al-harb. Oleh karena bersikap demikian, anak keturunan mereka yang sudah berbudaya dan berpendidikan Eropa juga mengalami kesulitan jika hendak berkeluarga. Mereka harus kawin atau memilih gadis pasangannya dari daerah pedalaman Turki, Maroko, Pakistan yang oleh orang tuanya diyakini masih dalam wilayah dâr al-Islâm yang murni. Perkawinan model ini umumnya tidak berusia panjang karena perbedaan budaya dan tradisi serta tingkat dan model pendidikan yang diperoleh kedua mempelai.18 Sempitnya wilayah ijtihad--lantaran generasi Muslim sekarang masih harus terpaku pada cara, metodologi, bahkan hasil berpikir dan berijtihad pada era klasik-skolastik-menumbuhkan sebuah generasi Muslim imigran yang mengalami split personality (keterpecahan kepribadian).<br />
<br />
Tidak harus sampai ke Eropa, di wilayah Tanah Air pun sering terjadi perasaan kikuk karena harus bertetangga dengan orang yang kebetulan menganut agama lain. Sebagaimana umat Islam merasa tidak berbuat kebajikan dan beramal soleh, ketika mereka menolong tetangga yang kebetulan tidak seagama.19 Jika demikian fakta empiris yang biasa dijumpai dalam kehidupan aktual bertetangga sehari-hari, dapat dibayangkan betapa kerasnya reaksi sebagian umat Islam jika ada kelompok umat Islam tertentu yang mengajak "kerjasama" dan bergabung dengan kelompok penganut agama lain dalam satu kekuatan pollitik. Demikian gambaran singkat betapa sekat-sekat teologis, sekat-sekat akidah, sekat-sekat kalam yang dikonsepsikan dan dirumuskan era klasik-skolastik terus menerus dipelihara oleh umat beragama dewasa ini. Umat beragama pada umumnya kurang senang dan tidak begitu nyaman melihat fenomena sosial keagamaan yang bersifat plural, padahal fenomena plural tersebut terus menerus berkembang dalam dunia praksis sosial keagamaan.<br />
<br />
Contoh yang tak seberapa di atas, lagi-lagi hanya menandaskan bahwa pola berpikir deduktif-tekstual-skripturalis yang biasa mewarnai pola pikir kalam mengalami kesulitan yang luar biasa ketika harus menatap realitas kehidupan aktual dan keharusan untuk melakukan ijtihad baru untuk menyelesaikan persoalan-persoalan baru yang muncul karena perkembangan dan perubahan zaman. Dalam 200 tahun terakhir, perkembangan dan keberhasilan ilmu dan teknologi telah mengubah seluruh tatanan kehidupan era klasik, era skolastik, juga tidak terkecuali era salaf, era sahabat, dan era tabi'in. Perubahan itu terjadi dalam cara berpikir, mentalitas dan perilaku budaya yang menyertai penemuan ilmu dan teknologi tersebut. Keberhasilan dalam pemenuan teknologi baru dalam bidang kedokteran, bioteknologi, teknologi ruang angkasa--yang memicu timbulnya revolusi informasi dalam gelombang ketiga, (setelah revolusi hijau and revolusi industri), seperti teknologi bayi tabung, kloning, rekayasa genetika, satelit komunikasi dan begitu seterusnya--sulit diterangkan melalui model pola hubungan antara Tuhan, alam dan manusia era klasik-skolastik-prascientific.<br />
Model konsepsi ketuhanan dan doktrin-doktrin keagamaan era klasik-skolastik membutuhkan uluran keberanian dari para pemikir keagamaan untuk merumuskan ulang konsepsi-konsepsi yang telah ada. Realitas keberhasilan bioteknologi dan rekayasa genetika menggambarkan betapa kerjasama antara manusia, alam dan Tuhan semakin nyata. Konsepsi ketuhanan dalam agama-agama yang memposisikan Tuhan terlalu jauh dari jangkauan umat manusia (tanzîh), sehingga hanya cocok untuk dikaji sebagai obyek peribadatan semata, akan sulit menerangkan bagaimana percobaan-percobaan rekayasa genetika dan bioteknologi yang dilakukan oleh umat manusia dapat berhasil sedemikian rupa, jika apa yang diupayakan oleh manusia tidak didukung oleh campur tangan Tuhan di dalamnya. Keberhasilan rekayasa bioleknologi hanya dapat diapahami, jika Tuhan ikut bekerjasama membantu manusia menciptakan makhluk baru dari hasil jerih payah kecerdasan manusia dalam meneliti dan memahami perilaku dan keajegan-keajegan alam.<br />
Dari uraian sekilas di atas dapat dipahami, ternyata teks-teks, ayat-ayat, dalil-dalil kitab suci (al-Qur'an, Bibel, Taurat, Weda, dan begitu seterusnya) memang "terbatas". Oleh karena itu, batas pemahamannya pun jangan sampai terlalu menekankan pada yang tertulis atau tersurat. Perlu pemahaman sisi makna terdalam, maghza, semangat, spirit, dari ayat-ayat atau nash-nash kitab suci tersebut. Perlu sedikit pergeseran dari titik tekan yang dulunya hanya aspek "dalalah" kepada "maghza".20 Agar teks-teks, nash-nash dan dalil-dalil tersebut mempunyai umur panjang, baik dari segi waktu maupun tempat (salihun li kulli zaman wa makan), maka ia harus dipahami secara komprehensif melalui pemahaman yang mendalam dan interdisipliner. Makna kebahasaan secara konvensional saja tidak lagi cukup dapat menjangkau sisi terdalam dari makna ayat-ayat tersebut. Perkembangan situasi sosial, budaya, politik, ilmu pengetahuan, revolusi informasi, turut memberi andil bagaimana memaknai kembali teks-teks keagaman.<br />
Menghindari Eksklusivisme Disiplin Kelimuan<br />
Ketika manusia Muslim menatap masa depan peradabannya dengan cara mempertautkan teks-teks, nash-nash al-Qur'an dan al-Hadist21 yang selama ini hanya biasa dipahami secara deduktif-normatif dengan realitas kehidupan yang aktual yang terus-menerus berubah dan berkembang dan hanya dapat dipahami secara induktif-historis, dengan dibarengi sikap kritis-abduktif, maka sesungguhnya mereka telah mengaktualkan metodologi keilmuan filsafat dalam persoalan-persoalan kalam dan akidah Islamiyah. Langkah-langkah demikian itulah yang sedang dilakukan oleh generasi pemikir Muslim kontemporer seperti Fazlur Rahman, Muhammad Arkoun, Hassan Hanafi, Nasr Hamid Abu Zaid, Farid Esack, Abdullahi Ahmed an-Na'im, Muhammad Syahrur, Muhammad Abid al-Jabiri dan lain-lain.22<br />
<br />
Untuk menutup tulisan ini penulis akan menyorot serba sekilas bagaimana metodologi filsafat dapat membantu memperbaiki citra dan wibawa keilmuan kalam dan kajian-kajian keislaman lainnya dalam menghadapi persoalan-persoalan masa depan kemanusiaan yang mencakup dua masalah: pertama, yang berkaitan dengan upaya mentransformasikan norma-norma agama dalam bingkai keilmuan sebagai kekuatan budaya (cultural force) dan bukannya sekadar sebagai kekuatan moral atau spiritual (moral, spiritual force) seperti yang biasa terdengar dalam bahasa dakwah, dan kedua adalah soal pluralitas agama-agama dalam hubungannya dengan Dialog Antar Umat Beragama.<br />
<br />
Pertama, norma agama sebagai kekuatan budaya. Tidak ada orang meragukan betapa kuat dan kokohnya kepercayaan umat Islam terhadap keberadaan dan keagungan Allah SWT. Namun kekuatan keimanan ini belum dihadapkan pada prsoalan-persoalan aktual, persoalan-persoalan kongkrit, yang dihadapi umat manusia dalam kehidupan sehari-hari sehingga tampak kurang dimanfaatkan sebagai cultural force. Istilah "iman dan taqwa" (Imtaq) yang biasa disitir oleh siapa pun di Tanah Air, khususnya para pejabat dan para juru dakwah dan penceramah keagamaan, menunjukkan hal itu. Praktik Imtaq dalam praksis sosial sangatlah lemah. Ia lebih merupakan slogan dalam berpidato di atas podium namun tidak terlaksana dalam praktik. Hal itu terbukti dengan telah membudayanya korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN) dalam hampir seluruh lini kehidupan di Tanah Air. Ketika umat Islam Indonesia dihadapkan pada isu aktual dan kongkrit seperti KKN ternyata kebanyakan mereka justru kurang peka terhadap isu tersebut. Jangankan memberi solusi yang aplikabel dalam kehidupan masyarakat luas, mereka sendiri justru baru sadar bahwa ternyata di luar pagar sistem peribadatan murni (mahdlah) terdapat kekuatan yang lebih dasyat yang dapat memporak-porandakan sendi-sendi moral-keagamaan perorangan, keluarga, masyarakat maupun bangsa. Sekarang mereka baru sadar bahwa penyakit KKN tidak dapat diobati melalui himbauan dan ajakan retorika keagamaan di atas podium. Ternyata KKN mempunyai logika dan mekanisme kerja tersendiri, yang terlepas dan luput dari pengamatan dan telaah sistem peribadatan pribadi umat Islam (al-ahwal al-syakhsiyyah) yang biasa mereka kaji dan tekuni dalam forum-forum kajian keislaman di Perguruan Tinggi, pesantren dan majlis-majlis taklim dan forum pengajian-pengajian lain.<br />
<br />
Dalam telaah teoritik ilmu-ilmu sosial, KKN termasuk dalam wilayah public morality (kesalehan publik), bukan semata-mata dalam wilayah individual morality (kesalehan pribadi). Wilayah individual-morality barangkali memang cukup dibekali dan diselesaikan melalui pendekatan al-ahwal al-syakhsiyah, sedangkan persoalan public morality mempersyaratkan dikuasainya seperangkat keilmuan critical social sciences yang diharapkan dapat menciptakan sistem kontrol sosial yang handal. Kepedulian terhadap isu-isu aktual, isu-isu publik, kepentingan-kepentingan umum agaknya kurang begitu diperhatikan oleh dogma-dogma agama dan ilmu kalam pada umumnya di IAIN, STAIN dan PTAIS.<br />
<br />
Tidak bisa tidak, jika ilmu kalam dan akidah Islam hendak diperankan dalam memecahkan problem kehidupan sosial kekinian, problem kehidupan sosial yang aktual dan kongkrit, ia harus bersedia menjalin kerjasama dengan pendekatan critical social sciences dan humaniora pada umumnya. Jika tidak, maka ilmu kalam, akidah atau dogma hanya akan bermakna secara esoteris-metafisis tetapi kurang begitu peduli, apalagi sampai terlihat dalam pergumulan isu-isu sosial-eksoterik yang sedang digelisahkan oleh umat manusia sekarang ini.<br />
<br />
Kedua, tentang Pluralitas Agama dan Dialog Antar Umat Beragama. Dua konsep ini merupakan persoalan baru yang dihadapi oleh umat Islam khususnya dan umat beragama pada umumnya. Dalam al-Qur'an memang ada prinsip "lakum dinukum wa lii al-dien" (bagimu adalah agamamu dan bagiku adalah agamaku), namun konsep tersebut, menurut hemat penulis, lebih terkait dengan konsep Kebebasan Beragama dan bukan Dialog Antar Umat Beragama. Konsep Dialog Antar Umat Beragama muncul ke permukaan sebagai pengganti atau counter terhadap hak kebebasan beragama yang telah dideklarasikan oleh PBB. Tidak semua teolog, kyai, pastur, pendeta, bhikhu, cerdik-cendekia di Perguruan Tinggi maupun orang awam menyetujui konsep baru ini. Sama seperti ketika mereka merespon Hak Kebebasan Beragama 50 tahun yang lalu (1948). Lebih-lebih karena cara berpikir, sikap mental dan agenda yang muncul dari kedua konsep tersebut memang sangatlah berbeda. Jika konsep Kebebasan Beragama, dalam praktik di lapangan, sedikit lebih banyak mencerminkan sifat kecemburuan dan agresivitas dalam memandang dan berhubungan dengan penganut agama lain, maka konsep Dialog Antar Umat Beragama lebih mencerminkan sikap, cara berpikir dan bertindak yang lebih santun, toleran, menahan diri, dan arif terhadap realitas kemajemukan umat beragama. Kebebasan Beragama lebih mencerminkan worldview atau pandangan hidup pelaku dan mentalitas having a religion, sedangkan Dialog Antar Umat Beragama lebih mencerminkan sikap, perilaku dan mentalitas being religious.<br />
<br />
Dialog Antar Umat Beragama beranggapan dan bahkan berkeyakinan bahwa "keselamatan" --apapun bentuk, model dan coraknya-sudah ada dalam setiap agama-agama besar dan kecil. Ibaratnya, sebagai orang luar yang tidak seagama hanya ingin memahami bagaimana sesungguhnya model keselamatan yang dipahami, ditawarkan, diyakini dan dipraktikkan oleh pengikut agama-agama lain. Tidak ada sedikitpun keinginan atau niatan untuk secara agresif menyerang, mengolok-olok, mencemooh, memandang rendah apalagi sampai merebut atau memindah pemeluk agama yang satu ke yang lain. Kalaupun terdapat apa yang disebut-sebut sebagai conversi (pindah agama), hal itu semata-mata karena didorong oleh kesadaran paling dalam dari seseorang dan bukan karena tekanan, ajakan atau bujukan dari pihak luar. Religious truth claim (monopoli kebenaran Agama) tidak terlalu diperlukan di sini. Yang lebih diperlukan adalah proses reduksi yang dilakukan oleh masing-masing kelompok agama bagi para pengikutnya masing-masing untuk meningkatkan kualitas kemanusiaan dan integritas sesorang.<br />
Dialog Antar Umat Beragama lebih menitikberatkan pada keinginan dan kebutuhan untuk saling memahami dan saling tukar menukar pengalaman keagamaan yang telah dimiliki oleh masing-masing tradisi pengikut agama-agama.23 Tidak terbersit sedaikitpun usaha-usaha untuk secara sepihak "menyalahkan", "meng-kafirkan", "mengolok-olok", "menganggap tidak selamat" sistem kepercayaan dan keimanan yang dimiliki oleh orang dan kelompok lain. Jika dalam konsep "Kebebasan Beragama" masih dimungkinkan munculnya keinginan untuk "menyalahkan", "tidak menyukai" dan "menganggap tidak selamat" penganut agama lain sehingga harus diselamatkan ulang atau diagamakan kembali, maka dalam konsep Dialog Antar Umat Beragama justru sebaliknya. Janji dan harapan adanya keselamatan diangggap sudah ada dalam masing-masing agama. Hanya saja cara, model, sistem ajaran, syari'ah dan konsepsinya berbeda dari yang biasa dimiliki oleh masing-masing pemeluk. Maka hujat-menghujat, salah-menyalahkan, kafir-mengkafirkan tidak diperlukan lagi dalam era Dialog Antar Umat Beragama. Kita menerima keberadaan orang lain sepertia apa adanya, tanpa keinginan untuk merubah keyakinan agamanya supaya sama dengan keyakinan yang kita miliki. Yang diperlukan hanyalah proses saling mengenal dan saling memahami eksistensi dan hak masing-masing agama.<br />
<br />
Jika fundamental structure dan implikasi yang ditimbulkan dari masing-masing konsep demikian adanya, maka Kebebasan Beragama yang mengandaikan perlunya dikembangkan teologi "kerukunan" antar umat beragama, harus dikembangkan selangkah lebih lanjut menjadi Dialog Antar Umat Beragama yang mempersyaratkan perlunya kerjasama antarumat beragama. Dengan ungkapan lain, kerukunan antarumat beragama sudah built-in dalam konsep "kerjasama", sebaliknya dalam konsep "kerukunan" belum tentu demikian adanya.<br />
<br />
Dalam menghadapi nestapa manusia era modern dan modern tingkat lanjut seperti saat sekarang ini, agama diharapkan dapat menyumbangkan sesuatu yang menyejukkan, menentramkan, bukan malah menjadi sumber keruwetan dan menambah tambahan beban ekstra berat yang perlu dipecahkan oleh umat-umat beragama. Tampaknya, harapan demikian akan tinggal menjadi harapan, jika umat manusia dan umat beragama tidak bersedia memahami ulang secara lebih subtansial dan berani mengubah konsepsi mereka tentang "apakah hakekat atau esensi agama tersebut"? Menurut hemat penulis, yang menjadi akar persoalan bukanlah "agama", "dîn" atau "religion" itu sendiri--yang notabene acapkali dianggap absolut atau mutlak oleh para pengikutnya--tetapi lebih pada cara berpikir, mentalitas dan perilaku budaya masing-masing pengikut agama-agama. Pola pemikiran keagamaan, mentalitas dan perilaku budaya yang bersifat "absolut", "tertutup", "eksklusif"dan "rigid" perlu digeser ke arah corak pemikiran keagamaan yang lebih bersifat "terbuka", luwes", "inklusif" dan "arif". Namun, fakta historis-sosiologisnya justru menunjukkan adanya pemisahan yang bersifat diametral antara dua macam sikap dan cara berpikir keagamaan, yang secara terus-menerus ingin dipelihara dan dilestarikan para penganut agama-agama era sekarang, serta mewarisi pola pikir dan mentalitas keagamaan era skolastik.<br />
<br />
Sekali waktu, umat beragama perlu juga memahami bahwa fenomena agama, selain melibatkan "wahyu," ia juga lengket dengan fenomena kultural, tradisi, bahasa, adat-istiadat, habit of mind dan seterusnya. Untuk itu pada level aktual-historis-empiris, adalah realistik dan bertanggung jawab rasanya untuk lebih memperbincangkan, memahami dan menyadari adanya warna-warna keagamaan yang hitam, putih, kuning, biru, hijau, merah dan begitu seterusnya daripada terjebak pada logical fallacy "buta warna-warna" keagamaan. Konsep klasik tentang Kebebasan Beragama, yang dibarengi cara berpikir yang absolut, rigid dan tertutup, lebih mengutamakan agenda dan prioritas yang berusaha agar seluruh warna-warna keagamaan tersebut di atas dihapus dan diganti oleh satu warna yang paling unggul (superoritas keagamaan atau religious truth claim). Sementara itu, konsep Dialog Antar Umat Beragama lebih mencerminkan mentalitas, cara berpikir, bertindak dari perilaku keagamaan yang lebih santun dan rendah hati. Ia dengan tulus, sepenuh dan rendah hati mengakui eksistensi warna-warna keagamaan tersebut, tetapi sekaligus memustahilkan keberhasilan usaha yang dilakukan oleh siapapun untuk menyatuwarnakan seluruh warna-warna keagamaan yang ada. Untuk itu, dihadapkan pada pilihan tersebut, kerjasama antarberbagai umat beragama dalam praksis kehidupan, dengan tetap mengakui otonomi dan eksistensi metafisis warna keagamaan masing-masing, lebih menjanjikan dan memberi harapan baru.<br />
<br />
Dari situ konsep Kebebasan Beragama --yang lebih berpadanan dengan konsep al-Qur'an dalam surat al-Kafirun-yang dideklarasikan 50 tahun yang lalu oleh anggota PBB terasa kehilangan relevansinya dan perlu dipertanyakan ulang nilai manfaatnya oleh banyak kalangan. Setelah mencermati watak dasar dan implikasi dari kedua konsep tersebut, maka upaya untuk menggantikan dengan konsep Dialog Antar Umat Beragama --yang lebih perpadanan dengan konsep al-Qur'an dalam surat al-Hujarat-rasanya memang lebih plausible dan viable untuk masa-masa yang akan datang.<br />
<br />
Dengan demikian pengajaran dan kajian kalam kontemporer tidak lagi cukup hanya mempelajari pola-pola keimanan yang dianut dan dimiliki oleh kalangan sendiri. Dalam era globalisasi agama dan budaya seperti saat ini, perlu juga dikenalkan bagaiaman pola-pola keimanan yang dimiliki oleh orang lain, di luar yang biasa diyakini. Kajian perbandingan dalam pengajaran kalam dalam Dunia Islam (Mu'tazilah, Asy'ariyah, Maturidiyah di satu pihak, atau Sunnî versus Syi'î di lain pihak), sudah saatnya dan semestinya dikaitkan juga dengan pola-pola dan aliran-aliran teologi yang dimiliki oleh kelompok-kelompok di luar Islam (Katolik, Protestan, Yahudi, Budha, Hindu, Kong Hu Cu). Dengan demikian, dalam pengkajian kalam kontemporer lebih diperlukan untuk mengedepankan pentingnya metodologi, fundamental theories, basic, current, living atau actual issues serta comparative perspective (perspektif perbandingan) dalam persoalan-persoalan keagamaan dalam hidup sehari-hari daripada hanya sekadar menyentuh aspek sejarah dan perkembangan ilmu kalam dalam dirinya sendiri, apalagi kalau hanya terbatas pada pembahasan dan pengulangan konsep-konsep yang abstrak yang tidak menyentuh persoalan hidup keseharian manusia baik sebagai individu maupun kelompok.<br />
Penutup<br />
<br />
Jika yang dimaksud "filsafat" seperti yang diungkapkan Fazlur Rahman dalam awal tulisan ini adalah "isme-isme" atau aliran-arilan filsafat yang biasanya dikenal sekarang ini, maka aktualisasi filsafat dalam pengajaran dan pengkajian kalam sangatlan tidak mungkin. Ideologi-idelogi besar dunia justru menjadi lawan dari ideologi Islam. Hubungan antarkeduanya adalah ibarat minyak dan air. Dalam tulisan ini, apa yang disebut-sebut sebagai "filsafat" adalah "metodologi berpikir". Berpikir kritis-analisis dan sistematis. Ia lebih memcerminkan "proses" berpikir, dan bukan sekadar "produk" berpikir.<br />
<br />
Dalam "proses" berpikir itulah metodologi filsafat dapat diaktualisasikan dalam pemikiran kalam. Tanpa dibarengi sentuhan filsafat, agama dan kekuatan spiritual yang lain dalam era globalisasi budaya akan semakin sulit memerankan jati dirinya. Kerjasama antarberbagai metodologi keilmuan --dan bukannya eksklusivisme disiplin keilmuan-adalah merupakan conditio sine qua non bagi pengembangan keilmuan kalam dalam menatap realitas sosial keagamaan di masa depan.<br />
<br />
________________________________________<br />
Catatan Akhir<br />
1 Hingga 1999, terdapat 14 IAIN di seluruh tanah air dan 38 STAIN dengan jumlah mahasiswa tidak kurang dari 100 ribu mahasiswa, belum lagi ditambah dengan PTAIS.<br />
2 Fazlur Rahman. Islam dan Modernity: Transformation of an Intellectual Tradision (Chicago and Lodon: The University of Chicago Press, 1982), halaman 157-8. Cetak miring dan terjemahan ke dalam bahasa Indonesia oleh penulis.<br />
3 Muhammad Abid al-Jabiri, Bunyah al-Aql al- Araby: Dirasah Tahliliyah Naqdiyyah Li al-Nudzumi al- Ma'rifah fi al-Tsaqafah al-Arabiyyah (Beirut: Markaz Dirasah al-Wihdah al-Arabiyyah, 1990), halaman 497-8.<br />
4 Lebih lanjut dapat diikuti dalam buku penulis Falsafah Kalam di Era Posmodernisme (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1995), khususnya halaman 172-173.<br />
5 Untuk informasi lebih mendalam, lihat Gregory Baum, Truth Beyond Relativism: Karl Manheim's Sosiology of Knowledge, edisi bahasa Indonesia Agama dalam Bayang-bayang Relativism: Sebuah Analisis Sosiologi Pengetahuan Karl Manheim tentang Sintesa Kebenaran Historis-Normatif, terjemahan Achmad Nurtajib Chaeri (Yogyakarta: Tiara Wacana, 1999).<br />
6 Muhammad Arkoun, al-Islam: al-Akhlaq wa al-Siyasah, terjemahan Hasim Saleh (Beirut: Markaz al-innma' al-qaumy, 1990), halaman 172-173.<br />
7 Muhammad Abid al-Jabiri, Bunyah al-Aql al- Araby. <br />
8 Studi yang cukup mendalam tentang struktur fundamental pemikiran kalam dilakukan oleh Josep Van Ess dalam tulisannya "The Logical Structure of Islamic Theology" dalam Issa J. Boullata, an-Anthology of Islamic Studies (Montreal: McGill Indonesia IAIN Depelpment Project, 1992). Juga sebagai studi banding Harry Austryn Wolfon, The Philosophy of the Kalam (Cambridge: Harvard Univesity Press, 1976), halaman 382-385.<br />
9 Edith Hamilton and Hutington Cairns (Ed), Plato: The Collected Dialoques (Princeton: Princeton Univesity Press, 1961).<br />
10 Bandingkan dengan M. Amin Abdullah "Dimensi Epistemologi Filsafat Islam" dalam Studi Agama Normativitas atau Historisitas? (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1996), halaman 243-264.<br />
11 Justus Bucher, Charles Peirce's Empiricism (New York: Octagon Books, 1980), halaman 38-40: 131-132.<br />
12 Muhammad Arkoun, al-Islam: al-Akhlaq Wa al-Syiyasah, terjemahan Hasan Saleh (Beirut: Markaz al-inma' al-qaumy, 1990), halaman 172-173.<br />
13 Burhan Nurgiantoro, teori Pengkajian Fiksi (Yogyakarta: Gajah Mada University Press, 1995), halaman 282, sedang kompleksitas yang terkait dengan persoalan bahasa, lebih lanjut I Bambang Sugiharto, Posmodernisme, Tantangan Bagi Filsafat (Yogyakarta: Kanisius, 1996), halaman 140. Dalam kaitannya dengan Islamic Studies, lihat Muhammad Arkoun. al-Fikr al-Islami: Naqd wa Ijtihad, terjemahan dan komentar Hashim Salih (London: Dar al-Saqi, 1990), halaman 201-206.<br />
14 Muhammad Arkoun. "The Notion of Revelation" dalam Lectures du Coran (Tunis: Alif Edition de la Mediterrance, 1991), halaman 264.<br />
15 Hasan Hanafi dengan tandas mengajukan pertanyaan yang bernada keluhan: Limadza ghaba mabhatsu al-insan wa al-tarikh fi turatsina al-qadim? Dalam khasanah intelektual Islam klasik? Lebih lanjut dalam bukunya Dirasat Islamiyah (Qahirah: Mahtabah al-Anjilo Al-Misriyyah. Tt), halaman 393-415 dan 416-456.<br />
16 Muhammad Abid al-Jabiri, Bunyah al-Aql al- Araby, halaman 571-2<br />
17 Kasus kontemporer di Mesir dialami oleh Prof. Dr. Nasr Hamid Abu Zaid. Lebih lanjut Stefan Wildd, The Qur'an as Texk (Leiden: E.J. Brill, 1996), halaman ix-x. Juga Nasr Hamid Abu Zaid, al-Tafkir fi Zamani al-tafkir: Zidda al-jahl wa al-zaid wa al-khurafat (Al-qahirah: Sina li al-nasyr, 1995).<br />
18 Wawancara penulis dengan Dr. Karel Steenbrink bersama A. Syafi'i Anwar, mantan pemimpin redaksi Ummat di Utrecth, Belanda, Nopember 1997. Persoalan-persoalan aktual yang dihadapi oleh minoritas Muslim di Eropa dapat dibaca dalam W.A.R. Shadid and P.S.V. Koningsveld (Eds), Muslim in the Margin: Political Responses to Pesnce of Islam in Western Europe (Kampen the Netherlands: Kok Phoros publishing hhouse, 1996).<br />
19 Ungkapan dan pernyataan tersebut diunngkapkan oleh pemirsa TV Station Yogyakarta kepada penulis ketika mengisi acara Dialog Ramadhan di TV Station Yogyakarta pada 1995.<br />
20 Diskusi menarik tentang tema ini dapat ditelusuri lebih lanjut dalam Nasr Hamid Abu Zaid, naqd al-khitab al-diniy (Qahira: sina li al-nasyr, 1994), halaman 139-193.<br />
21 Upaya memahami teks-teks al-hadist secara kontekstual mulai dilakukan atau lebih tepat dihangatkan oleh ulama kontemporer seperti Muhammad al-Ghazali. Lihat lebih jauhnya bukunya al-Sunnah al-Nabawiyyah: Baina ahl fiqh&ldots; wa ahl al-hadist (Beirut: Dar al-Syuruq, 1989).<br />
22 Cepat atau lambat, seluruh buku dan karya para pemikir Muslim kontemporer tersebut akan diterjemahkan dalam bahasa Indonesia dan dibaca khalayak luas baik oleh masyarakat akademik maupun non-akademik, dosen IAIN, kalangan pesantren dan juga warga Perguruan Tinggi umum akan menyimak dan mengikuti pemikiran-pemikiran tersebut. Sejauhmana kurikulum dan silabi mata kuliah studi keislaman dipersiapkan metodologinya untuk itu? Itulah salah satu agenda mendesak pemikiran Islam di Tanah Air, khususnya di kalangan IAIN, STAIN dan PTAIS.<br />
23 Bandingkan dengan al-Qur'an, surat al-Hujarat, ayat 11-13. "Hai orang-orang yang beriman, janganlah suatu kaum mengolok-olokkan kaum yang lain (karena) boleh jadi mereka (yang diolok-olokkan) lebih baik dari mereka (yang mengolok-olokkan) dan jangan pula wanita-wanita mengolok-olokkan wanita-wanita lain (karena) boleh jadi wanita (yang diolok-olokkan) lebih baik dari wanita (yang mengolok-olokkan) dan janganlah kamu mencela dirimu sendiri dan janganlah kamu panggil-memanggil dengan gelar-gelar yang buruk. Seburuk-buruk panggilan ialah (panggilan) yang buruk sesudah iman dan barang siapa yang tidak berbuat, maka mereka itulah orang-orang yang zalim: Hai orang-orang yang beriman jauhilah kebanyakan dari prasangka, sesungguhnya sebagaian prasangka itu adalah dosa dan janganlah sebagaian kamu menggunjing sebagaian yang lain. Sukakah salah satu di antara kamu memakan daging saudaranya yang sudah mati? Maka tentulah kamu merasa jijik kepadanya. Dan bertaqwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha penerima taubat lagi Maha Penyayang: Hai manusia, sesungguhnya kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang paling bertakwa diantara kamu. Sesunguhnya Allah Maha Megetahui lagi Maha Mengenal." Dikutip dari al-Qur'an dan terjemahannya (Jakarta: Departemen Agama Republik Indonesia), Cetak miring dari penulis.<br />
________________________________________<br />
Kepustakaan<br />
Abdullah, M. Amin, Falsafah Kalam di Era Posmodernisme (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1995).<br />
________, Studi Agama: Normativitas atau Historisitas? (Yogyakarta: Putaka Pelajar, 1996). <br />
Arkoun, Muhammad, Al-Fikr al-Islamy: Naqd wa Ijtihad, terjemahan dan komentar Hasim Salih (London: Dar al-Saqi, 1990).<br />
________, al-Islam: al-akhlaq wa al-Siyasah, terjemahan hasim Saleh (Beirut: Markaz al-Inma al- qaumy, 1990).<br />
________, "The Notion of Revelation" dalam Lectures du Coran (Tunis: Alif Edition dela Mediterrane, 1991).<br />
Baum, Gregory, Truth beyond relativism: Karl Manheim's Sosiology of konowlwdgeI, edition bahasa Agama dalam Bayang-bayang Relativisme, terjemahan Achmad Murtajib Chaeri (Yogyakarta: Tiara Wacana, 1991).<br />
Bucher, Justus, Charles Peirce's Empiricis (New York: Octagon Books, 1980).<br />
Cairns, Huntington and Hamilton, Edith (Ed.), Plato: The Collected Dialoques (Princeton: Princenton University Press, 1961).<br />
Departemen Agama Republik Indonesia,Al-Qur'an dan Terjemahnya.<br />
Ess, Josep van, "The Logical Structure of Islamic Theology" dalam issa.J. Boullata, An-Anthology of islamic Studies (Montreal: McGill Indonesia IAIN Development Project, 1992).<br />
al-Ghazali, Muhammad, al-Sunnah al-Nabawiyyah: Bayna ahl al-fiqh &ldots; wa ahl al-hadists (Beirut: Dar al-Syuruq, 1989).<br />
Hanafi, Hasan, Dirasah Islamiyyah (Qahirah: Mahtabah al-Anjilo al-Misriyyah, tt).<br />
Al-Jabiri, Muhammad Abid, Bunyah al-Aql al-Araby: Dirasah Tahliliyah Naqdiyyah Li al-Nudzumi al-Ma'rifah fi al-Tsaqafah al-Arabiyyah (Beirut: Markaz Dirasah al-Wihdah al-Arabiyyah, 1990).<br />
Koningveld P.S.V. and W.A.R. Shadid, (Ed), Muslim in the Margin: Political Responses to Presence of Islam in Western Europe (Kampen the Netherland: Kok Phoros Publishing House, 1996).<br />
Nurgiantoro, Burhan, Teori Pengkajian Fiksi (Yogyakarta: Gajah Mada University Press 1995).<br />
Rahman, Fazlur, Islam dan Modernity: Transformation an Intelectual Tradition (Chicago and London: The University of Chicago Perss, 1982).<br />
Sugiharto, I. Bambang, Posmodernisme, Tantangan bagi Filsafat (Yogyakarta: Kanisius, 1996).<br />
Zaid, Nasr Hamid Abu, Naqd al-khitab al-diniy (Qahira: Sina li al al-Nasr, 1994).<br />
________, al-Tafkir fi Jamani al-Takfir: Zidda al-Jahl wa al-Zaif wa al-Khurafat (al-Qahirah: Sina li al-Nasyr, 1995).<br />
Wild, Stefan, The Qur'an as Text (Leiden: E.J. Brill, 1996).<br />
Wolfson, Harry Austryn, The Philosophy of the Kalam (Cambridge: Harvard University Perss, 1976).http://www.ditpertais.net/artikel/amin01.asp<br />
<br />
</div>Unknownnoreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-6058205351850084286.post-4970346229819815582012-04-22T09:33:00.002-07:002012-04-22T09:39:29.615-07:00Hubungan Ilmu kalam, Tasawuf dan Filsafat<div style="text-align: justify;">Hubungan Ilmu Kalam, Tasawuf dan Filsafat - Makalah - Makalah Tentang Hubungan Ilmu Kalam, Tasawuf dan Filsafat <br />
<div style="text-align: center;"><br />
</div><div style="text-align: center;"><b>BAB 1</b></div><div style="text-align: center;"><b>PENDAHULUAN</b></div><br />
<b>A. LATAR BELAKANG</b><br />
Ilmu kalam, filsafat, dan tasawuf adalah ilmu yang dilahirkan dari persentuhan umat Islam dengan berbagai masalah sosiocultural yang dihadapi oleh masyarakat sedang berkembang kala itu mencari dan mempertahankan kebenaran. Dari itu pula lahirlah para pakar dunia yang telah berhasil mempertahankan kebenara mereka masing- masing, walaupun dengan cara atau jalan yang ditempuh berbeda. Maka dari itu. Pada makalah ini akan memebahas hakekat Ilmu Kalam, Tasawuf, dan Filsafat beserta hubungan ketigannya agar para pembaca mengetahui dan memahami hakikat ketiganya serta hubungan ketiganya.<br />
<br />
<b>B. RUMUSAN MASALAH</b><br />
1. Apa hakekat Ilmu Kalam itu?<br />
2. Apa hakekat Tasawuf itu?<br />
3. Apa hakekat Filsafat dan itu?<br />
4. Bagaimana hunbungan Ilmu Kalam, tasawuf, dan filsafat?<br />
<br />
<b>C. TUJUAN PEMBAHASAN</b><br />
1. Mengetahui dan memahami hakekat ilmu kalam<br />
2. Mengetahui dan memahami hakekat tasawuf<br />
3. Mengetahui dan memehami hakekat Filsafat<br />
4. Mengetahui dan memahami hubungan Ilmu Kalam, Tasawuf, dan Filsafat<br />
<br />
<br />
<div style="text-align: center;"><b>BAB II</b></div><div style="text-align: center;"><b> PEMBAHASAN</b></div><b> <br />
A. HAKIKAT ILMU KALAM</b><br />
<br />
<b>Pengertian Ilmu Kalam</b><br />
Nama lain dari Ilmu Kalam : Ilmu Aqaid (ilmu akidah-akidah), Ilmu Tawhid (Ilmu tentang Kemaha Esa-an Tuhan), Ilmu Ushuluddin (Ilmu pokok-pokok agama). Disebut juga 'Teologi Islam'. 'Theos'= Tuhan; 'Logos'= ilmu. Berarti ilmu tentang keTuhanan yang didasarkan atas prinsip-prinsip dan ajaran Islam; termasuk di dalamnya persoalan-persoalan ghaib. Menurut Ibnu Kholdun dalam kitab moqodimah mengatakan ilmu kalam adalah ilmu yang berisi alasan-alasan mempertahankan kepercayaan-keprcayaan iman dengan menggunakan dalil fikiran dan juga berisi tentang bantahan-bantahan terhadap orang-orang yang mempunyai kepercayaan-kepercayaan menyimpang. Ilmu= pengetahuan; Kalam= pembicaraan'; pengetahuan tentang pembicaraan yang bernalar dengan menggunakan Persoalan terpenting yang di bicarakan pada awal Islam adalah tentang Kalam Allah (Al-Qur'an); apakah azali atau non azali (Dialog Ishak bin Ibrahim dengan Imam Ahmad bin Hanbal. Dasar Ajarannya; Dasar Ilmu Kalam adalah dalil-dalil fikiran (dalil aqli) Dalil Naqli (Al-Qur'an dan Hadis) baru dipakai sesudah ditetapkan kebenaran persolan menurut akal fikiran. (Persoalan kafir-bukan kafir)…… Jalan kebenaran; Pembuktian kepercayaan dan kebenaran didasarkan atas logika (Dialog Al-Jubbai dan Al-Asy'ari).<br />
<b><br />
B. HAKIKAT TASAWUF<br />
<br />
Pengertian Tasawuf</b><br />
Istilah "tasawuf"(sufism), yang telah sangat populer digunakan selama berabad-abad, dan sering dengan bermacam-macam arti, berasal dari tiga huruf Arab, sha, wau dan fa. Banyak pendapat tentang alasan atas asalnya dari sha wa fa. Ada yang berpendapat, kata itu berasal dari shafa yang berarti kesucian atau bersih. Sebagian berpendapat bahwa kata itu berasal dari kata shafwe yang berarti baris atau deret, yang menunjukkan kaum Muslim awal yang berdiri di baris pertama dalam salat atau dalam perang suci. Sebagian lainnya lagi berpendapat bahwa kata itu berasal dari kata shuffah yang berarti serambi masjid Nabawi di Madinah yang ditempati oleh para sahabat-sahabat nabi yang miskin dari golongan Muhajirin. Ada pula yang menganggap bahwa kata tasawuf berasal dari shuf yang berarti bulu domba, yang menunjukkan bahwa orang-orang yang tertarik pada pengetahuan batin kurang memperdulikan penampilan lahiriahnya dan sering memakai jubah yang terbuat dari bulu domba yang kasar sebagai simbol kesederhanaan.<br />
<br />
Harun Nasution mendefinisikan tasawuf sebagai ilmu yang mempelajari cara dan jalan bagaimana orang Islam dapat sedekat mungkin dengan Alloh agar memperoleh hubungan langsung dan disadari dengan Tuhan bahwa seseorang betul-betul berada di hadirat Tuhan.<br />
<br />
Ada sebagian orang yang mulai menyebut dirinya sufi, atau menggunakan istilah serupa lainnya yang berhubungan dengan tasawuf, yang berarti bahwa mereka mengikuti jalan penyucian diri, penyucian "hati", dan pembenahan kualitas watak dan perilaku mereka untuk mencapai maqam (kedudukan) orang-orang yang menyembah Allah seakan-akan mereka melihat Dia, dengan mengetahui bahwa sekalipun mereka tidak melihat Dia, Dia melihat mereka. Inilah makna istilah tasawuf sepanjang zaman dalam konteks Islam.<br />
<br />
Imam Junaid dari Baghdad (910 M.) mendefinisikan tasawuf sebagai "mengambil setiap sifat mulia dan meninggalkan setiap sifat rendah". Syekh Abul Hasan asy-Syadzili (1258 M.) syekh sufi besar dari Afrika Utara mendefinisikan tasawuf sebagai "praktik dan latihan diri melalui cinta yang dalam dan ibadah untuk mengembalikan diri kepada jalan Tuhan". Syekh Ahmad Zorruq (1494 M.) dari Maroko mendefinisikan tasawuf sebagai berikut: Ilmu yang dengannya dapat memperbaiki hati dan menjadikannya semata-mata bagi Allah, dengan menggunakan pengetahuan tentang jalan Islam, khususnya fiqih dan pengetahuan yang berkaitan, untuk memperbaiki amal dan menjaganya dalam batas-batas syariat Islam agar kebijaksanaan menjadi nyata. Ia menambahkan, "Fondasi tasawuf ialah pengetahuan tentang tauhid, dan setelah itu memerlukan manisnya keyakinan dan kepastian; apabila tidak demikian maka tidak akan dapat mengadakan penyembuhan 'hati'." Menurut Syekh Ibn Ajiba (1809 M): Tasawuf adalah suatu ilmu yang dengannya Anda belajar bagaimana berperilaku supaya berada dalam kehadiran Tuhan yang Maha ada melalui penyucian batin dan mempermanisnya dengan amal baik. Jalan tasawuf dimulai sebagai suatu ilmu, tengahnya adalah amal. dan akhirnva adalah karunia Ilahi.<br />
<br />
<b>Tujuan Tasawuf</b><br />
Tasawwuf sebagai mana disebutkan dalam artinya di atas, bertujuan untuk memperoleh hubungan langsung dan disadari dengan Tuhan, sehingga disadari benar bahwa seseorang berada di hadirat Tuhan dan intisari dari itu adalah kesadaran akan adanya komunikasi dan dialog antara roh manusia dengan Tuhan dengan cara mengasingkan diri dan berkontemplasi. Kesadaran dekat dengan Tuhan itu dapat mengambil bentuk ittihad atau menyatu dengan Tuhan. Dalam ajaran Tasawuf, seorang sufi tidak begitu saja dapat dekat dengan Tuhan, melainkan terlebih dahulu ia harus menempuh maqamat . mengenai jumlah maqomat yang harus di tempuh sufi bebrbeda-beda, Abu Nasr Al- Sarraj menyebutkan tujuh maqomat yaitu tobat, wara, zuhud, kefakiran, kesabaran, tawakkal, dan kerelaan hati. Dalam perjalananya seorang shufi harus mengalami istilah hal (state). Hal atau ahwal yaitu sikap rohaniah yang dianugrahkan Tuhan kepada manusia tanpa diusahakan olehnya, seperti rasa takut( al- khauf) , ikhlas, rasa berteman, gembira hati, dan syukur. Jalan selanjutnya adalah fana' atau lebur dalam realitas mutlak (Allah). Manusia merasa kekal abadi dalam realitas yang Tertinggi, bahkan meleburkan kepadaNya. Maksudnya, menghancurkan atau mensinarkan diri agar dapat bersatu dengan Tuhan.<br />
<br />
<b>Menurut Taftazani seseorang yang bertasawuf mempunyai beberapa ciri yaitu:</b><br />
Peningkatan moral, seorang sufi memiliki nilai-nilai moral dengan tujuan membersihkan jiwa. Yaitu dengan akhlak dan budi pekerti yang baik berdasarkan kasih dan cinta kepada allah, oleh karena itu, maka tasawuf sangat mengutamakan adab/ nilai baik dalam berhubungan dengan sesama manusia dan terutama dengan Tuhan (zuhud, qonaah, thaat, istiqomah, mahabbah, ikhlas, ubudiyah, dll). Sirna (fana) dalam realitas mutlak (Allah). Manusia merasa kekal abadi dalam realitas yang Tertinggi, bahkan meleburkan kepadaNya. Maksudnya, menghancurkan atau mensinarkan diri agar dapat bersatu dengan Tuhan. Dan Ketenteraman dan kebahagiaan. Sumber Ajaran Tasawuf : Sumber ajaran tasawuf adalah al-Qur'an dan Hadits yang didalamnya terdapat ajaran yang dapat memebawa kepada timbulnya tasawuf. Paham bahwa Tuhan dekat dengan manusia, yang merupakan ajaran dasarnya dapat dijelaskan dalam Al-Qur'an Surat Al-Baqoroh ayat 186<br />
<br />
<b>C. HAKIKAT FILSAFAT<br />
<br />
Pengertian Filsafat</b><br />
Menurut analisa Al-Farabi filasafat berasal dari bahasa Yunani yaitu philosiphia. Philo berarti cinta dan shopia berarti hikmah atau kebenaran. Menurut Plato, filsuf Yunani yang termashur, murid Scorates dan guru Aristoteles mengatakan bahwa filsafat adalah pengetahuan tentang segala sesuatu yang ada.<br />
Marcus Tullius Cicero politikus dan ahli pidato romawi merumuskan filsafat adalah pengatahuan tentang segala sesuatu yang maha agung dan usaha-usaha untuk mencapainya. Al Farabi filosuf muslim terbesar sebelum Ibn Sina mengatakan filsafat adalah ilmu pengetahuan tentang alam yang maujud dan brtujuan menyelidiki hakikatnya yang sebenarnya. Filsafat itu ilmu pokok dan pangkal segala pengetahuan yang mencakup metafisika, etika, agama, dan antripologi. Immanuel Kant yang sering disebut raksasa pikir barat, mengatakan bahwa Filsafat itu merupakan ilmu pokok dan pangkal segala pengetahuan yang mencakup metafisika, etika, agama, dan antripologi. Obyek Filsafat; Dalam filasafat terdapat dua obyek yaitu obyek materia dan obyek formanya. Obyek materianya adalah sarwa yang ada pada garis besarnya dibagi atas tiga persoalan, yaitu: Tuhan, alam, dan manusia. Sedangkan Obyek formannya adalah usaha mencari keterangan secara radikal ( sedalam-dalamnya) tentang obyek materi filsafat ( sarwa yang ada)<br />
<br />
<b>D. HUBUNGAN ILMU KALAM, TASAWUF DAN FILSAFAT<br />
<br />
Persamaan dan pebedaan</b><br />
Dari uraian di atas, terdapat titik persamaan dan perbedaan antara Ilmu Kalam Filsafat, dan Tasawuf.<br />
Persamaan pencarian segala yang bersifat rahasia (ghaib) yang dianggap sebagai 'kebenaran terjauh' dimana tidak semua orang dapat melakukannya dan dari ketiganya berusaha menemukan apa yang disebut Kebenaran (al-haq). Sedangkan perbedaannya terletak pada cara menemukan kebenarannya.<br />
Kebenaran dalam Tasawuf berupa tersingkapnya (kasyaf) Kebenaran Sejati (Allah) melalui mata hati. Tasawuf menemukan kebenaran dengan melewati beberapa jalan yaitu: maqomat, hal (state) kemudian fana'.<br />
Sedangkan kebenaran dalam Ilmu Kalam berupa diketahuinya kebenaran ajaran agama melalui penalaran rasio lalu dirujukkan kepada nash (al-Qur'an & Hadis). Kebenaran dalam Filsafat berupa kebenaran spekulatif tentang segala yang ada (wujud) yakni tidak dapat dibuktikan dengan riset, empiris, dan eksperiment. Filsafat menemukan kebenaran dengan menuangkan akal budi secara radikal, integral, dan universal. Hubungannya; Dilihat dari titik persamaan dan perbedaan antara ilmu kalam, tasawuf dan filsafat, maka penulis dapat merumuskan hubungan dari ketiganya adalah saling menguatkan dan membantu dalam mencari kebenaran yang menjadi tujuan utama ketiganya. Walaupun dengan cara yang berbeda. Yaitu pencarian segala yang bersifat rahasia (ghaib) yang dianggap sebagai 'kebenaran terjauh' dimana tidak semua orang dapat melakukannya dan mencari apa yang disebut kebenaran (al-haq).<br />
<br />
<br />
<b>DAFTAR PUTAKA</b><br />
Saefuddin, Endang Anshori. 1987. Ilmu Filsafat dan Agama. Surabaya: PT bina Ilmu Offst Nata, abuddin. 2001. Ilmu Kalam, Filsafat, dan Tasawuf. Jakarta : PT Raja Grafindo Persada. www.jadilah.com </div>Unknownnoreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-6058205351850084286.post-25744088898581059002012-04-18T16:25:00.002-07:002012-04-18T16:34:44.894-07:00Allah Maha Melihat (Bashor)<div style="text-align: justify;"><b>PenglihatanNya bisa menembus langit dan bumi.</b><br />
<b><br />
</b><br />
<b><i>“Dialah yang menciptakan langit dan bumi dalam enam masa: Kemudian Dia bersemayam di atas ´arsy Dia mengetahui apa yang masuk ke dalam bumi dan apa yang keluar daripadanya dan apa yang turun dari langit dan apa yang naik kepada-Nya. Dan Dia bersama kamu di mama saja kamu berada. Dan Allah Maha Melihat apa yang kamu kerjakan.” [Al Hadiid 4]</i></b><br />
<br />
Dia bisa melihat semut hitam yang berjalan di atas batu hitam di langit yang kelam.<br />
<br />
<b><span style="color: blue;">Tak ada selembar daun pun yang jatuh ke bumi tanpa Allah melihatnya. Tidak pula daun kering atau basah kecuali Allah melihatnya.</span></b><br />
<b><i><br />
“Dan pada sisi Allah-lah kunci-kunci semua yang ghaib; tidak ada yang mengetahuinya kecuali Dia sendiri, dan Dia mengetahui apa yang di daratan dan di lautan, dan tiada sehelai daun pun yang gugur melainkan Dia mengetahuinya (pula), dan tidak jatuh sebutir biji-pun dalam kegelapan bumi, dan tidak sesuatu yang basah atau yang kering, melainkan tertulis dalam kitab yang nyata (Lauh Mahfudz)” [Al An’aam 59]</i></b><br />
<br />
<b style="color: blue;">Allah bisa melihat meski itu hanya sebesar dzarrah.</b><br />
<b><i><br />
</i><i>(Luqman berkata): “Hai anakku, sesungguhnya jika ada (sesuatu perbuatan) seberat biji sawi, dan berada dalam batu atau di langit atau di dalam bumi, niscaya Allah akan mendatangkannya (membalasinya). Sesungguhnya Allah Maha Halus lagi Maha Mengetahui.” [Luqman 16]</i></b><br />
<br />
Ini beda dengan manusia yang penglihatannya terbatas. Bahkan pada umur 70 tahun ke atas, pandangan manusia rabun bahkan ada yang buta karena katarak atau penyakit mata lainnya.<br />
<br />
Pandangan manusia pun terbatas.<br />
Manusia tidak bisa melihat tengkuknya sendiri.<br />
Ada yang pernah melihat tengkuknya sendiri?<br />
Manusia juga tidak bisa melihat jantungnya sendiri.<br />
Saat meleng atau pun tidur, manusia tidak dapat melihat. Sementara Allah selalu Melihat kapan saja dan di mana saja.<br />
Benda yang jauh pun manusia tidak bisa melihatnya.<br />
Padahal pandangan Allah meliputi bumi hingga langit ke 7.<br />
<br />
<b><i>“Sesungguhnya Allah mengetahui apa yang ghaib di langit dan bumi. Dan Allah Maha Melihat apa yang kamu kerjakan.” [Al Hujuraat 18]</i></b><br />
<br />
Penglihatan Allah berbeda dengan penglihatan makhlukNya:<br />
<br />
<b><i>“…Dan tidak ada seorangpun yang setara dengan Dia.” [Al Ikhlas 4]</i></b><br />
<br />
Tidak ada satu pun yang menyerupai Allah karena Allah jauh berbeda dengan makhluqnya (Mukhollafatuhu lil hawaadits)<br />
<br />
<br />
<div style="color: blue;"><b>Allah Maha Melihat!</b></div><br />
Karena itu jika kita ingin berbuat jahat seperti korupsi, mencuri, mencopet, dan sebagainya, ingatlah: meski tidak ada orang yang tahu, tapi Allah melihat perbuatan kita.Allah melihat kita setiap saat. Allah melihat kita di setiap waktu!<br />
<br />
Yakinlah selalu meski tidak ada orang lain yang melihat perbuatan jahat kita, namun Allah selalu melihatnya.<br />
<br />
Begitu pula malaikat Roqib dan ‘Atid yang ada di sisi kanan dan kiri kita mencatat perbuatan kita. Kelak perbuatan kita akan dibalas oleh Allah SWT.<br />
<br />
<i><b>“…Bertakwalah kamu kepada Allah dan ketahuilah bahwa Allah Maha Melihat apa yang kamu kerjakan.” [Al Baqarah 233]<br />
“…Sesungguhnya Allah Maha Melihat segala apa yang kamu kerjakan.” [Al Baqarah 237]<br />
“…Sesungguhnya Allah Maha Melihat akan hamba-hamba-Nya.” [Al Mu'min 44]</b></i><br />
<br />
<br />
http://didingwk.wordpress.com/2009/05/15/allah-maha-melihat<br />
http://media-islam.or.id/2010/05/04/allah-maha-melihat-bashor/</div>Unknownnoreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-6058205351850084286.post-29965948210606703532012-04-16T01:01:00.002-07:002012-04-18T16:27:27.406-07:00Ahmadiyah Bukan Ajaran Islam<div style="text-align: justify;">Ajaran Ahmadiyah yang kerap dipermasalahkan di negeri ini bukanlah ajaran Islam. Ajaran yang dianut oleh pengikutnya sudah keluar dari kontek Islam, meski demikian mereka tetap ngotot sebagai bagian dari umat Islam.<br />
Pengikut Ahmadiyah menyakini adanya nabi setelah Nabi Muhammad SAW, kalau keyakinan itu yang tetap mereka anut, dan puncak kepercayaannya masih pada itu, maka mereka sudah keluar dari Islam.<br />
Dalam ajaran Ahmadiyah, mereka ayat-ayat al-Qur’an itu banyak dikurangi, dan dicocokkan dengan aturan mereka. Padahal sudah jelas barangsiapa mengubah, mengganti, dan mengurangi isi al-Qur’an maka ia telah kufur.<br />
Meskipun mereka melakukan kegiatan sembayang, puasa, tetap saja tidak ada pahala, karena memang sudah keluar dari Islam. Sayangnya, penduduk Lombok Timur yang menganut Ahmadiyah sudah mencapai ratusan KK, ini sudah cukup besar.<br />
Karena tidak ada tindakan dari pemerintah, setelah melakukan penyelidikan dan menemui kenyataan di lapangan dan terbukti maka ratusan rumah yang menganut itu dirusak oleh warga.<br />
Bagi penduduk yang tidak sadar dan tetap mempertahankan ajaran Ahmadiyah mereka kembali ke Surabaya, karena di sana ada persatuannya. Yang tidak pindah mereka ditampung oleh pemerintah di sebuah asrama dan hidupnya dibiayai oleh pemerintah. Tapi tak sedikit yang kembali ke ajaran Islam dan bermukim kembali dan bergabung dengan warga bersama hidup damai. Padahal yang dihidupi saat itu ada 110 KK.<br />
Mereka di bagi-bagi dan dikirim ke kampung, tapi tidak ada yang mau menerima, hingga akhirnya ditampung di bagian Wali Kota, di Mejeluk. Saya sudah berdakwah di sana. Saya mengajak mereka agar sadar dan kembali, tapi mereka belum mau, karena duitnya yang diberikan dari Inggris cukup besar.<br />
Bahkan ketika adad rapat di pendopo Gubernur bersama alim ulama, saya memberikan makalah kepada yang hadir tentang kesesatan ajaran Ahmadiyah. Di mana ajaran ini keluar dari ajaran Islam. Bahkan yang tidak mendapatkan makalah itu, sebagian juga ke rumah untuk meminta untuk dipahami dan dipelajari. Baik dari Kapolda, Danrem ke rumah meminta penjelasan.<br />
Pernah suatu hari pimpinan dari Ahmadiyah dari Jakarta, Surabaya, Yogjakarta dan NTB datang ke rumah untuk berdiskusi dengan saya. Mereka menanyakan tentang permasalahan ajarannya kepada saya.<br />
Karena yang menanyakan orang intelek, saya berikan jawaban secara intelek juga. Jawaban saya adalah, saya tidak sepaham dengan Ahmadiyah, dan mereka yang sadar kembali kepada keluarganya, dan melakukan akad nikah lagi. Kenapa dinikahkan lagi, sebab ia telah murtad dan untuk kembali ke istrinya atau suaminya maka harus menikah lagi. Logikanya Ahmadiyah adalah murtad dari Islam.<br />
Lalu mereka tidak menjawab lagi, karena kalau saya menjawab macam-macam mereka mempunyai dalil untuk mempertahankan dirinya. Dan dalil-dalil yang mereka gunakan tidak akan pernah sama dengan pandangan Islam karena sumber rujukannya berbeda. Kemudian mereka juga tidak akan bisa menerima kita dan kita juga tidak bisa menerima mereka. <br />
Jadi mereka akidahnya sudah rusak dengan meyakini Mirza Gulam Ahmad sebagai nabi setelah Nabi Muhammad. Karena akidahnya sudah rusak, ya semuanya juga akan ikut rusak, yaitu dengan meyakini adanya nabi dan rasul setelah nabi Muhammad SAW. </div><div style="text-align: justify;"><br />
</div><div style="text-align: justify;"><a href="http://www.pesantrenalaziziyah.com/index.php?pilih=news&mod=yes&aksi=lihat&id=4" target="_blank">http://www.pesantrenalaziziyah.com/index.php?pilih=news&mod=yes&aksi=lihat&id=4</a></div>Unknownnoreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-6058205351850084286.post-5519845089126850362012-04-15T19:32:00.002-07:002012-04-15T19:32:31.320-07:00Pembagian Talak<div style="text-align: justify;">1. Dilihat dari ketegasan kalimatnya<br />
<br />
Dari segi kalimatnya, talak dibagi menjadi dua, yaitu talak shariih (tegas) dan talak kinaayah (kiasan).<br />
<br />
a. Talak shariih adalah talak yang kalimatnya dapat langsung difahami ketika diucapkan dan tidak mengandung kemungkinan makna yang lain.<br />
<br />
Misalkan: “Anti thaaliq” (engkau telah tertalak) atau “Muthallaqah” (engkau wanita yang tertalak), atau Kamu saya cerai. Dan semua kalimat yang semisal dengan kata-kata talak atau cerai.<br />
<br />
Seorang suami yang mengatakan kalimat demikian kepada istrinya, maka jatuhlah talaknya. Meskipun dilakukan dalam keadaan bercanda atau tanpa niat untuk menjatuhkan talak. Sebagaimana disebutkan dalam sebuah riwayat,<br />
<br />
ثَلاَثٌ جِدُّهُنَّ جِدٌّ، وَهَـزْلُهُنَّ جِدٌّ: النِّكَاحُ، وَالطَّلاَقُ، وَالرَّجْعَةُ .<br />
<br />
“Tiga hal yang apabila dikatakan dengan sungguh-sungguh maka dia menjadi serius dan bila dikatakan dengan main-main, akan jadi serius pula, yaitu nikah, talak, dan rujuk.” [Hadits hasan. Riwayat Abu Dawud dalam "Aunul Ma"bud (VI/262 no. 2180), Tirmidzi (II/328 no. 1195), Ibnu Majah (I/658 no. 2039), Ibnul Jarud (no. 712), Al-Hakim (II/198) dan Al-Baghawi (no. 2356), dari Abu Hurairah radhiyallahu "anhu]<br />
<br />
Maka talak yang lafazhnya jelas diucapkan oleh suami meski dalam keadaan bercanda, talaknya jatuh dan dianggap sebagai talak satu. [Lihat Syarhus Sunnah (IX/220), Zaadul Ma"ad (V/204), Ensiklopedi Larangan (III/80-81)]<br />
<br />
b. Talak kinaayah adalah talak yang redaksinya mengandung beberapa kemungkinan makna, bisa bermakna talak atau selainnya. Misalkan: “Alhiqi bi ahliki” (kembalilah kepada keluargamu), dan yang semisalnya.<br />
<br />
Jika seorang suami mengatakan kalimat seperti itu, maka talaknya tidak jatuh kecuali perkataan tersebut disertai dengan niat talak. Jadi apabila suami mengatakannya dengan niat untuk mentalak istrinya, maka jatuhlah talaknya. Tetapi apabila suami tidak berniat mentalak istrinya, maka talaknya tidak jatuh.<br />
<br />
Contoh lafazh talak kinaayah yang disertai dengan niat talak adalah sebagaimana yang disebutkan dalam sebuah riwayat dari “Aisyah radhiyallahu “anha, dia berkata, “Tatkala putri Al-Jaun dimasukkan ke kamar (pengantin) Rasulullah shallallahu “alaihi wa sallam dan beliau mendekatinya, ia (putri Al-Jaun) mengatakan, “A”uudzu billahi minka” (Aku berlindung kepada Allah darimu). Maka beliau shallallahu “alaihi wa sallam bersabda kepadanya,<br />
<br />
لَقَدْ عُذْتِ بِعَظِيْـمٍ، إِلْحَقِي بِأَهْلِكِ .<br />
<br />
“Sungguh engkau telah berlindung kepada Dzat Yang Maha Agung, kembalilah engkau kepada keluargamu.” [Hadits shahih. Riwayat Bukhari (no. 5254) dan An-Nasa"i (VI/150)]<br />
<br />
Hadits ini merupakan dalil bahwa ucapan “Kembalilah engkau kepada keluargamu,” yang diucapkan seorang suami kepada istrinya adalah ungkapan talak. Sehingga apabila ucapan tersebut diniatkan sebagai talak, maka jatuhlah talaknya. Dan talaknya dihukumi sebagai talak satu, sebagaimana disebutkan oleh Imam Adz-Dzahabi dalam Sunan Al-Kubra (VII/342).<br />
<br />
Sedangkan contoh lafazh talak kinaayah tanpa disertai dengan niat talak adalah sebagaimana yang disebutkan dalam riwayat Ka”ab bin Malik radhiyallahu “anhu, tatkala ia bersama dengan dua orang Shahabat (yakni Murarah bin Ar-Rabi” Al-”Amri dan Hilal bin Umayaah Al-Waqifi) yang dihajr (diboikot) oleh Rasulullah shallallahu “alaihi wa sallam karena tidak mengikuti Perang Tabuk bersama dengan beliau. Maka Rasulullah shallallahu “alaihi wa sallam mengutus seseorang untuk menyampaikan kabar kepadanya,<br />
<br />
إِنْ رَسُولَ اللهِ صلى الله عليه وسلم يَـأمُرُكَ أَنْ تَعْـتَـزِلَ امْـرَأَتَـكَ ، قَالَ : فَـقُـلْتُ : أُطَلَّقُـهَا أَمْ مَاذَا أَفْـعَـلُ ؟ قَالَ: لاَ ، بَلِ اعْـتَـزِلْهَا فَـلاَ تَـقْـرَ بَنَّهَا ، قَالَ : فَأَرْ سَلَ إِلَى صَا حِبَيَّ بِمِثْلِ ذَلِكَ ، قَالَ : فَـقُـلْتُ لإِمْرَأَتِي : اَلْحِقِي بِأَهْـلِـكِ فَكُونِى عِـنْدَهُـمْ حَتَّى يَقْـضِيَ اللهُ فِي هَـذَا الْأَمْرِ .<br />
<br />
“Bahwasanya beliau menyuruhmu untuk menjauhi istrimu.” Aku (Ka”ab) bertanya, “Aku ceraikan atau apa yang harus aku lakukan?” Orang itu menjawab, “Sekedar menjauhinya saja dan jangan sekali-kali engkau mendekatinya.” Maka kemudian aku (Ka”ab) berkata kepada istriku, “Kembalilah engkau kepada keluargamu dan tinggallah bersama mereka hingga Allah menetapkan putusan dalam masalah ini.” [Hadits shahih. Riwayat Bukhari (no. 4418), Muslim (no. 2769), Abu Dawud dalam "Aunul Ma"bud (VI/285 no. 2187) dan An-Nasa"i (VI/152)]<br />
<br />
Dalam riwayat ini, Ka”ab bin Malik menyuruh istrinya untuk kembali kepada keluarganya karena perintah dari Rasulullah shallallahu “alaihi wa sallam dan bukan karena niat Ka”ab untuk menceraikan istrinya. Sehingga dengan demikian, perkataan Ka”ab tersebut hanyalah dihukumi sebagai kiasan saja dan tidak mengakibatkan jatuhnya talak.<br />
<br />
2. Dilihat dari waktu jatuhnya talak<br />
<br />
Ditinjau dari waktu jatuh temponya, talak dibagi tiga : munjazah (langsung), mu”allaq (menggantung), dan mudhaf (dikaitkan waktu tertentu).<br />
<br />
a. talak munjazah adalah pernyataan talak yang oleh pengucapnya diniatkan agar talaknya jatuh saat itu juga. Misalkan seorang suami yang berkata kepada istrinya, “Anti thaaliq” (engkau tertalak) dan perkataan yang semisalnya, maka talaknya jatuh pada saat itu juga. Hukum talak munjazah terjadi sejak saat suami mengucapkan kalimat talak tersebut kepada istrinya.<br />
<br />
b. talak mu”allaq adalah pernyataan talak yang diucapkan suami kepada istrinya yang diiringi dengan syarat. Misalkan, suami berkata kepada istrinya, “Jika engkau pergi ke rumah A, maka engkau telah tertalak,” dan perkataan yang semisalnya.<br />
<br />
Ada dua kemungkinan yang diniatkan suami ketika mengucapkan semacam ini:<br />
<br />
1. Suami berniat agar talaknya jatuh tatkala syaratnya tersebut terpenuhi. Jika istri melaksanakan apa yang disyaratkan dalam talak tersebut maka talak terjadi.<br />
<br />
2. Suami hanya bermaksud untuk memperingati istrinya agar tidak berbuat hal yang demikian, namun bukan dalam rangka mentalak. Untuk kasus ini hukumnya sebagaimana sumpah. Artinya, apabila syarat tersebut tidak terpenuhi, maka suami tidak dibebani apa-apa, namun jika syaratnya tersebut terpenuhi, dimana istri melanggar apa yang disampaikan suaminya maka suami wajib membayar kafarat sumpah. Demikian keterangan yang dijelaskan oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah dalam Majmu” Al-Fataawaa (XXXIII/44-46, 58-60, 64-66).<br />
<br />
c. talak Mudhaf adalah talak yang dikaitkan dengan waktu tertentu. Misalnya seorang suami mengatakan kepada istrinya: “Tanggal 1 bulan depan kamu tertalak”. Mayoritas ulama berpendapat bahwa talak yang diucapkan dalam kondisi semacam ini terlaksana jika waktu jatuh temponya sudah datang. Sehingga sang istri tertalak sejak datangnya waktu yang disebutkan dalam kalimat talak. (Mausu’ah Fiqhiyah Kuwaithiyah, XXIX/37)<br />
<br />
3. Dilihat dari sifatnya<br />
<br />
Dari segi ini, talak dibagi menjadi dua, yaitu: talak sunni dan talak bid”i.<br />
<br />
Talak sunni adalah talak yang terjadi manakala seorang suami mentalak istri yang telah dicampurinya dengan sekali talak, yang dia jatuhkan ketika istrinya dalam keadaan suci dari haidh dan pada masa itu dia belum mencampurinya. Jadi, suami menjatuhkan talak ketika istrinya dalam keadaan suci dari haidh dan belum pernah dicampuri sejak masa haidh terakhir istrinya berakhir.<br />
<br />
Allah Ta”ala berfirman,<br />
<br />
الطَّلَقُ مَرَّتَانِ ۖ فَإِمْـسَاكٌ بِمَعْرُوفٍ أَوْ تَسْرِيحٌ بِإِحْسَـنٍ ۗ …<br />
<br />
“Talak (yang dapat dirujuk) itu dua kali. (Setelah itu suami dapat) menahan dengan baik, atau melepaskan dengan baik…” (Qs. Al-Baqarah: 229)<br />
<br />
يَـأَيُّـهَا النَّبِيُّ إِذَا طَلَّقْـتُـمُ النِّسَـآءَ فَطَلِّقُو هُنَّ لِعِدَّ تِهِنَّ …<br />
<br />
“Wahai Nabi! Apabila kamu menceraikan istri-istrimu maka hendaklah kamu ceraikan mereka pada waktu mereka dapat (menghadapi) “iddahnya (yang wajar)…” (Qs. Ath-Thalaq: 1)<br />
<br />
Nabi shallallahu “alaihi wa sallam telah menafsirkan ayat ini, yaitu tatkala Ibnu “Umar radhiyallahu “anhuma mentalak istrinya dalam keadaan haidh. Kemudian “Umar bin Al-Khaththab radhiyallahu “anhu menanyakan hal tersebut kepada Rasulullah shallallahu “alaihi wa sallam, maka beliau bersabda,<br />
<br />
أَمَرَنِي أَنْ أُرَا جِعَهَا، ثُمَّ أُمْسِكَهَا حَتَّى تَحِيْضَ حَيْضَةٌ أُخْرَى، ثُمَّ أُمْهِلَهَا حَتَّى تَطْهُرَ، ثُمَّ أَطَلِّقّهَا قَبْلَ أَنْ أَمَسَّهَا، وَأَمَّا أَنْتَ طَلَّقْتَهَا ثَلاَثًا، فَقَـدْ عَصَيْتَ رَبَّـكَ فِيْمَـا أَمَرَكَ مِنْ طَلاَقِ امْرَأَتِكَ .<br />
<br />
“Perintahkan agar ia kembali kepada (istri)nya, kemudian menahannya hingga masa suci, lalu masa haidh dan suci lagi. Setelah itu bila ia menghendaki ia boleh tetap menahannya menjadi istri atau bila ia menghendaki ia boleh menceraikannya sebelum bersetubuh dengannya. Itu adalah masa “iddah yang diperintahkan Allah untuk menceraikan istri.” [Hadits shahih. Riwayat Bukhari (no. 5332), Muslim (no. 1471), Abu Dawud dalam "Aunul Ma"bud (VI/227 no. 2165) dan An-Nasa"i (VI/138)]<br />
<br />
Sedangkan talak bid”i adalah talak yang menyelisihi ketentuan syari”at, sehingga hukum talak ini adalah haram dan orang yang melakukannya berdosa. Keadaan ini berlaku manakala seorang suami mentalak istrinya dalam keadaan haidh atau dalam masa suci setelah ia mencampuri istrinya, atau seorang suami yang melontarkan tiga talak sekaligus dengan satu lafazh atau dalam satu majelis.<br />
<br />
Misal, perkataan suami, “Engkau saya talak tiga,” atau suami mengatakan : “Engkau tertalak, engkau tertalak, engkau tertalak,” (diulang tiga kali), maka ucapannya itu dihukumi sebagai talak satu. [Lihat pembahasan mengenai masalah ini dalam I"laamul Muwaqqi"iin (IV/377-426), Al-Jaami" fii Ahkaamith Thalaaq wa Fiqhihi wa Adillatihi (hal. 79-85), dan Al-Mughni (VII/98)]<br />
<br />
4. Dilihat dari boleh dan tidaknya rujuk<br />
<br />
Dari segi ini, talak dibagi menjadi dua, yaitu: talak raj”i dan talak ba-’in. Talak ba-’in terbagi lagi menjadi dua, yaitu: talak ba-’in shughra dan talak ba-’in kubra.<br />
<br />
a. Talak raj”i adalah seorang suami yang mentalak istrinya yang sudah dicampuri tanpa menerima pengembalian mahar dari pihak istri dan belum didahului dengan talak sama sekali atau baru didahulu dengan talak satu kali.<br />
<br />
Allah Ta”ala berfirman,<br />
<br />
الطَّلَقُ مَرَّتَانِ ۖ فَإِمْـسَاكٌ بِمَعْرُوفٍ أَوْ تَسْرِيحٌ بِإِحْسَـنٍ ۗ …<br />
<br />
“Talak (yang dapat dirujuk) itu dua kali. (Setelah itu suami dapat) menahan dengan baik, atau melepaskan dengan baik…” (Qs. Al-Baqarah: 229)<br />
<br />
Seorang wanita yang mendapat talak raj”i, maka statusnya masih sebagai istri selama dia masih berada dalam masa “iddah (menunggu) dan suaminya berhak untuk rujuk kepadanya kapan saja suaminya berkehendak selama dia masih berada dalam masa “iddahnya, dan tidak disyaratkan adanya keridhaan istri atau izin dari walinya.<br />
<br />
Allah Ta”ala berfirman,<br />
<br />
وَالْمُـطَلًّـقَـتُ يَتَرَبَّصْنَ بِأَنْفُـسِهِـنَّ ثَلَـثَةَ قُـرُوءٍ ۚوَلاَ يَحِلُّ لَهُنَّ أَنْ يَكْتُـمْنَ مَا خَلَـقَ اللهُ فِى أَرْحَا مِهِنَّ إِنْ كُنَّ يُؤمِنَ بِاللهِ وَالْيَوْمِ الْأَخِرِ ۚ وَبُعُو لَتُهُنَّ أَحَقُّ بِرَدِّهِنَّ فِى ذَا لِكَ إِنْ أَرَادُوا إِصْلَـحًا ۚ…<br />
<br />
“Wanita-wanita yang ditalak hendaklah menahan diri (menunggu) tiga kali quru”. Tidak boleh menyembunyikan apa yang diciptakan Allah dalam rahimnya jika mereka beriman kepada Allah dan hari akhirat. Dan suami-suaminya berhak merujuknya dalam masa menanti, jika mereka (para suami) menghendaki perbaikan…” (Qs. Al-Baqarah: 228)<br />
<br />
b. Talak ba-’in adalah talak yang terjadi setelah masa “iddah istri karena talak raj”i telah selesai. Dan hal ini menjadikan suami tidak dapat merujuk istrinya lagi.<br />
<br />
Talak ba-’in terbagi lagi menjadi dua, yaitu:<br />
<br />
a. Talak ba-’in shughra, yaitu talak yang terjadi di mana suami tidak memiliki hak untuk rujuk kembali dengan istrinya kecuali dengan akad nikah dan mahar yang baru, serta dengan keridhaan istri yang dicerai. Talak ini terjadi pada 3 keadaan berikut:<br />
<br />
Suami tidak merujuk istrinya dari talak raj”i hingga masa “iddah selesai;<br />
Suami mentalak istrinya sebelum mencampurinya (pengantin baru)<br />
Istri minta cerai (khulu”) pada suaminya. Jika telah terjadi cerai maka perceraian tersebut dianggap sebagai talak ba-’in, sehingga apabila suami ingin merujuknya maka suami harus menikahinya lagi dengan akad dan mahar yang baru setelah istri ridha untuk menikah lagi dengan mantan suaminya tersebut. [Lihat uraian mengenai hal ini dalam Shahiih Fiqhis Sunnah (III/274-278)]<br />
<br />
b. Talak ba-’in kubra, yaitu talak yang ketiga kalinya. Allah Ta”ala berfirman,<br />
<br />
الطَّلَقُ مَرَّتَانِۖ فَإِمْسَاكٌ بِمَعْرُوفٍ أَوْ تَسْرِيْحٌ بِإِحْسَنٍۗ وَلاَ يَحِلُّ لَكُمْ أَنْ تَأْخُذُواْ مِمَّآ ءَاتَيْتُمُوهُنَّ شَيْئًا إِلَّآ أَنْ يَخَافَآ أَلَّا يُقِيْمَا حُدُودَاللهِ ۖ فَإِنْ خِفْتُمْ أَلَّا يُقِيْمَا حُدُودَاللهِ فَلَا جُنَاحَ عَلَيْهِمَا فِيْمَا افْتَدَتْ بِهِۗ تِلْكَ حُدُودَاللهِ فِلَا تَعْتَدُوهَاۚ وَمَنْ يَتَعَدَّ حُدُودَاللهِ فَأُوْلَئِكَ هُمُ الظَّلِمُونَ فَإِن طَلَّقَهَا فَلَا تَحِلُّ لَهُ، مِنْ بَعْدُ حَتَّى تَنكِحَ زَوْجًا غَيْرَهُۗ فَإِنْ طَلَّقَهَا فَلَا جُنَاحَ عَلَيْهِمَآ أَنْ يَتَرَأ جَعَآ إِنْ ظَنَّآ أَنْ يُقِيْمَا حُدُودَاللهِۗ وَتِلْكَ حُدُودَاللهِ يَبَيِّنُهَا لِقَوْمٍ يَعْلَمُونَ<br />
<br />
“Talak (yang dapat dirujuk) itu dua kali. (Setelah itu suami dapat) menahan dengan baik, atau melepaskan dengan baik. Tidak halal bagi kamu mengambil kembali sesuatu yang telah kamu berikan kepada mereka, kecuali keduanya (suami dan istri) khawatir tidak mampu menjalankan hukum-hukum Allah, maka keduanya tidak berdosa atas bayaran yang (harus) diberikan (oleh istri) untuk menebus dirinya. Itulah hukum-hukum Allah, maka janganlah kamu melanggarnya. Barang siapa melanggar hukum-hukum Allah, mereka itulah orang-orang zhalim. Kemudian jika dia menceraikannya (setelah talak yang kedua), maka perempuan itu tidak halal lagi baginya sebelum dia menikah dengan suami yang lain. Kemudian jika suami yang lain itu menceraikannya, maka tidak ada dosa bagi keduanya (suami pertama dan mantan istri) untuk menikah kembali jika keduanya berpendapat akan dapat menjalankan hukum-hukum Allah. Itulah ketentuan-ketentuan Allah yang diterangkan-Nya kepada orang-orang yang berpengetahuan.” (Qs. Al-Baqarah: 229-230)<br />
<br />
Setelah talak ba-’in kubro, mantan suami tidak lagi memiliki hak untuk rujuk dengan mantan istrinya, baik ketika dalam masa “iddah maupun sesudahnya. Kecuali syarat berikut:<br />
<br />
a. Istri telah dinikahi laki-laki lain secara alami, artinya bukan nikah tahlil. Nikah tahlil adalah pernikahan seorang laki-laki dengan wanita yang telah ditalak tiga, dengan maksud untuk diceraikan agar suami yang pertama bisa menikah lagi dengan wanita tersebut. Baik sebelumnya ada konspirasi antara suami pertama dengan suami kedua maupun tidak.<br />
<br />
b. Dilaksanakan dengan akad nikah baru, mahar baru, dan atas keridhaan sang istri.<br />
<br />
[Lihat Shahiih Fiqhis Sunnah (III/278-279)]<br />
<br />
Adapun perbedaan antara talak ba-’in sughra dan talak ba-’in kubra adalah ketentuan dalam proses rujuk antara mantan suami dan mantan istri. Untuk talak ba-’in kubra, mantan istri bisa kembali kepada mantan suami, jika dia telah dinikahi laki-laki lain dan sudah terjadi hubungan badan. Sementara talak ba-’in sughra, mantan istri dapat dirujuk kembali mantan suami yang telah menceraikannya, tanpa harus menikah terlebih dahulu dengan laki-laki lain.<br />
<br />
Catatan:<br />
<br />
Hendaknya talak itu disaksikan oleh dua orang saksi, berdasarkan firman Allah Ta”ala,<br />
<br />
وَّاَشْهِدُوْا ذَوَيْ عَدْلٍ مِّنْكُمْ وَاَقِيْمُواالشَّهَـادَةَ لِلهِۗ…<br />
<br />
“…dan persaksikanlah dengan dua orang saksi yang adil di antara kamu dan hendaklah kamu menegakkan kesaksian itu karena Allah…” (Qs. Ath-Thalaq: 2)<br />
<br />
bersambung insyaallah<br />
<br />
***<br />
Artikel muslimah.or.id<br />
Penyusun: Ummu Sufyan Rahmawaty Woly bintu Muhammad<br />
Muraja’ah: Ustadz Ammi Nur Baits<br />
<br />
Maraji’:<br />
<br />
Ahkaam al-Janaaiz wa Bidaa’uha, Syaikh Muhammad Nashiruddin al-Albani, cet. Maktabah al-Ma’arif, Riyadh<br />
Al-Wajiz (Edisi Terjemah), Syaikh ‘Abdul ‘Azhim bin Badawi al-Khalafi, cet. Pustaka as-Sunnah, Jakarta<br />
Do’a dan Wirid, Yazid bin Abdul Qadir Jawas, cet. Pustaka Imam asy-Syafi’i, Jakarta<br />
Ensiklopedi Fiqh Wanita, Abu Malik Kamal bin as-Sayyid Salim, cet. Pustaka Ibnu Katsir, Bogor<br />
Ensiklopedi Islam al-Kamil, Syaikh Muhammad bin Ibrahim at-Tuwaijiri, cet. Darus Sunnah, Jakarta<br />
Ensiklopedi Larangan Menurut al-Qur’an dan as-Sunnah, Syaikh Salim bin ‘Ied al-Hilali, cet. Pustaka Imam asy-Syafi’i, Jakarta<br />
Fatwa-Fatwa Tentang Wanita, Lajnah ad-Daimah lil Ifta’, cet. Darul Haq, Jakarta<br />
Meniru Sabarnya Nabi, Syaikh Salim bin ‘Ied Al-Hilali, cet. Pustaka Darul Ilmi, Jakarta<br />
Panduan Keluarga Sakinah, Yazid bin Abdul Qadir Jawas, cet. Pustaka at-Taqwa, Bogor<br />
Panduan Lengkap Nikah Dari A Sampai Z, Abu Hafsh Usamah bin Kamal bin ‘Abdir Razzaq, cet. Pustaka Ibnu Katsir, Bogor<br />
Penyimpangan Kaum Wanita, Syaikh ‘Abdullah bin ‘Abdurrahman al-Jibrin, cet. Pustaka Darul Haq, Jakarta<br />
Pernikahan dan Hadiah Untuk Pengantin, Abdul Hakim bin Amir Abdat, cet. Maktabah Mu’awiyah bin Abi Sufyan, Jakarta<br />
Shahiih Fiqhis Sunnah, Abu Malik Kamal bin as-Sayyid Salim, cet. Maktabah at-Taufiqiyyah, Kairo<br />
Subulus Salam (Edisi Terjemah), Imam Muhammad bin Ismail al-Amir ash-Shan’ani, cet. Darus Sunnah, Jakarta<br />
Syarah Al-Arba’uun Al-Uswah Min al-Ahaadiits Al-Waaridah fii An-Niswah, Manshur bin Hasan al-Abdullah, cet. Daar al-Furqan, Riyadh<br />
Syarah Riyaadhush Shaalihiin, Syaikh Muhammad bin Shalih al-‘Utsaimin, cet. Daar al-Wathaan, Riyadh<br />
Syarah Riyadhush Shalihin (Edisi Terjemah), Syaikh Salim bin ‘Ied al-Hilali, cet. Pustaka Imam asy-Syafi’i, Bogor<br />
‘Umdatul Ahkaam, Syaikh ‘Abdul Ghani al-Maqdisi, cet. Daar Ibn Khuzaimah, Riyadh<br />
<a href="http://muslimah.or.id/fikih/talak-bagian-2-pembagian-talak.html" target="_blank">http://muslimah.or.id/fikih/talak-bagian-2-pembagian-talak.html</a></div>Unknownnoreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-6058205351850084286.post-59126179607558070022012-04-15T19:29:00.000-07:002012-04-15T19:29:35.035-07:00Talak Tiga Dengan Satu Ucapan, Hukum Menceraikan Isteri Hamil<div style="text-align: justify;">TALAK TIGA DENGAN SATU UCAPAN<br />
<br />
Oleh<br />
Syaikh Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz<br />
<br />
Pertanyaan<br />
Syaikh Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz ditanya : Apa hukumnya suami menceraikan istrinya, talak tiga dengan satu ucapan?<br />
<br />
Jawaban<br />
Apabila seorang suami menceraikan istri, talak tiga dengan satu ucapan seperti perkataan : “Kamu saya ceraikan dengan talak tiga”. Maka mayoritas para ulama berpendapat bahwa talak tiga tersebut sah. Maka suaminya tidak boleh menikahinya lagi sehingga bekas istrinya tersebut menikah dengan orang lain dan berhubungan badan karena cinta bukan hanya untuk menghalalkan (pernikahan dengan suami pertama), kemudian ia berpisah darinya (suami kedua) karena talak atau meninggal. Para ulama tersebut berpendapat demikian karena Umar bin Khaththab Radhiyallahu ‘anhu menetapkan hukum tersebut kepada manusia. Sedangkan ulama yang lain berpendapat bahwa hal tersebut dianggap talak satu, dan suami berhak merujuknya selama dalam masa iddah, apabila keluar dari iddah maka diperbolehkan bagi suami untuk menikahinya dengan akad baru.<br />
<br />
Para ulama tersebut berargumen dengan ketetapan hadits pada kitab Shahih Muslim. Dari Ibnu Abbas Radhiyallahu ‘anhuma berkata : “Dulu, talak di zaman Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan Abu Bakar Radhiyallahu ‘anhu serta dua tahuan di zaman Umar Radhiyallahu ‘anhu talak tiga dengan satu ucapan dianggap talak satu. Maka Umar Radhiyallahu ‘anhu berkata : “Sesungguhnya manusia terlalu terburu-buru di dalam memutuskan masalah yang (mereka diberi kesempatan untuk) pelan-pelan. Niscaya akan kutetapkan hukumnya”. Maka dia menetapkan bahwa talak tiga dengan satu ucapan dianggap talak tiga. Dalam riwayat lain, Muslim mengatakan bahwa Sahba’ berkata kepada Ibnu Abbas Radhiyallahu anhuma bukankah talak tiga dengan satu kata dianggap talak satu pada zaman Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, zaman Abu Bakar Radhiyallahu ‘anhu dan tiga tahun di zaman Umar Radhiyallahu ‘anhu, Ibnu Abbas berkata : “Ya”. Mereka juga berargumen dengan hadits yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad di dalam kitabnya Musnad dengan yang baik. Dari Ibnu Abbas Radhiyallahu ‘anhuma bahwa Abu Rakanah mentalak isterinya dengan talak tiga, lalu ia sedih, maka Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengembalikan isterinya kepadanya seraya berkata : “Sesungguhnya talakmu adalah talk satu. Sebagian ulama menafsirkan hadits ini dan hadits sebelumnya bahwa talak tiga dengan satu kata merupakan perpaduan dua hadits ini dengan firman Allah Subhanahu wa Ta’ala.<br />
<br />
“Talak (yang dapat dirujuki) dua kali” [Al-Baqarah : 229]<br />
<br />
Dan firman Allah Subhanahu wa Ta’ala.<br />
<br />
“Kemudian jika si suami mentalaknya (sesudah talak yang kedua) maka perempuan itu tidak halal lagi baginya hingga dia menikah dengan suami yang lain” [Al-Baqarah : 230]<br />
<br />
Yang berpendapat demikian adalah Ibnu Abbas Radhiyallahu anhuma. Menurut riwayat yang shahih dan dalam riwayat lain ia berpendapat seperti pendapat kebanyakan ulama. Adapun yang berpendapat talak tiga dengan satu kata dianggap talak satu adalah Ali Radhiyallahu ‘anhu, Abdurrahman bin Auf dan Zubair bin Awwam Radhiyallahu ‘anhuma. Pendapat ini juga dianut oleh para tabi’in. Muhammad bin Ishaq yang masyhur, para ulama terdahulu dan sekarang. Pendapat ini juga dipilih oleh Syaikh Islam Ibnu Taimiyyah serta muridnya Ibnu Qayyim –semoga rahmat Allah atas mereka berdua- dan ini yang saya fatwakan untuk mengamalkan nash (Al-Qur’an dan Hadits) dan untuk memberi rahmat dan manfaat bagi manusia.<br />
<br />
HUKUM MENCERAIKAN ISTERI HAMIL<br />
<br />
Pertanyaan<br />
Syaikh Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz ditanya : Bolehkah menceraikan isteri yang sedang hamil?<br />
<br />
Jawaban<br />
Boleh menceraikan isteri yang hamil. Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah bersabda kepada Abdullah bin Umar Radhiyallahu ‘anhuma tatkala ia menceraikan isterinya ketika haid.<br />
<br />
“Artinya : rujuklah kepda isterimu kemudian tangguhkanlah sampai ia suci kemudian haid kemudian suci kemudian ceraikanlah jika kamu mau ketika ia dalam keadaa suci sebelum kamu menyentuhnya atau dalam keadaan hamil”<br />
<br />
[Kitab Fatawa Da’wah Syaikh Ibn Baz, Juz II/239]<br />
<br />
[Disalin dari kitab Al-Fatawa Al-Jami’ah lil Mar’atil Muslimah, Edisi Indonesia Fatwa-Fatwa Tentang Wanita, Penyusun Amin bin Yahya Al-Wazan, Penerjemah Zaenal Abidin Syamsudin Lc, Penerbit Darul Haq] </div><div style="text-align: justify;"><a href="http://almanhaj.or.id/content/894/slash/0" target="_blank">http://almanhaj.or.id/content/894/slash/0</a></div>Unknownnoreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-6058205351850084286.post-40747486579798643742012-04-15T19:21:00.001-07:002012-04-15T19:24:36.848-07:00Ad-dien menurut Al-Qur’an• Dienullah, DienuI Islam [48:28, 61:9] Dienullah dibawa oleh semua Rosul dan nabi untuk keselamatan manusia. Disebut juga dengan dienul haq (dienus samaawi).<br />
• Dienul ghoiru dienullah, bukan dari Allah. Jumlahnya lebih dari satu (QS. 48;28) hasil rekayasa pikiran manusia, biasa disebut agama budaya (dienul ardli)<br />
<br />
Ciri-ciri dienullah/dienus-Samaawi<br />
<br />
• Bukan tumbuh dari masyarakat, tapi diturunkan untuk masyarakat. Disampaikan oleh manusia pilihan Allah (utusan-Nya), utusan itu hanya menyampaikan bukan menciptakan.<br />
• Memiliki kitab suci yang bersih dari campur tangan manusia.<br />
• Konsep tentang Tuhannya adalah Tauhid.<br />
• Pokok-pokok ajarannya tidak pernah berubah dengan perubahan masyarakat penganutnya.<br />
• Kebenarannya universal dan sesuai dengan fitrah manusia<br />
<br />
Ciri-ciri dienul ardli :<br />
<br />
• Tumbuh dalam masyarakat.<br />
• Tidak disampaikan oleh Rosul Allah.<br />
• Umumnya tidak memilki kitab suci, walaupun ada sudah mengalami perubahan-perubahan dalam perjalanan sejarah.<br />
• Konsep Tuhannya dinamisme, animisme, politheisme, dll.<br />
• Ajarannya dapat berubah-ubah sesuai dengan perubahan masyarakat penganutnya .<br />
• Kebenaran ajarannya tidak universal, yaitu tidak berlaku bagi segenap manusia, masa dan keadaan.<br />
<br />
Pengertian Islam secara Ethimologi/ Bahasa :<br />
<br />
• Tunduk patuh, berserah diri (al-istislaam) [3:83].<br />
• Damai (as-silm) .<br />
• Bersih (as-saliim)<br />
• Aturan Illahi yang diberikan kepada manusia yang berakal sehat untuk kebahagiaan hidup mereka di dunia dan akhirat.<br />
• Ajaran lslam :<br />
<br />
- Sesuai fitrah manusia QS. 30;10 Kepentingan seluruh manusia QS 34;28<br />
- Rahmat seluruh alam QS 21;107<br />
- Untuk meningkatkan kualitas hidup manusia QS. 2;179<br />
- Sangat sempurna QS. 5:3<br />
<br />
Referensi<br />
Diktat agama IPB, K.H. Didin Hafidhuddin<br />
<a href="http://materitarbiyah.wordpress.com/" target="_blank">http://materitarbiyah.wordpress.com</a>Unknownnoreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-6058205351850084286.post-72559151859222979802012-04-13T00:01:00.003-07:002012-04-21T22:32:52.144-07:00Halaman DownloadLink Download berikut <br />
<br />
Fiqhiyah :<br />
<a href="http://ges29.files.wordpress.com/2012/04/makalah-pengertian-hutang-piutang-dalam-islam.pdf" target="_blank">Hutang Piutang </a><br />
<a href="http://ges29.files.wordpress.com/2012/04/makalah-pengertian-hutang-piutang-dalam-islam.pdf"><br />
</a><br />
<br />
Al Qur'an :<br />
<a href="http://ges29.files.wordpress.com/2012/04/tugas-al-quran-tentang-pemimpin.pdf" target="_blank">Dalil Al Qur'an Tentang Pemimpin Menurut Islam</a><br />
<br />
Sejarah Peradaban Islam :<br />
<a href="http://ges29.files.wordpress.com/2012/03/01-a_pngantar-spi.pdf">http://ges29.files.wordpress.com/2012/03/01-a_pngantar-spi.pdf</a><br />
<a href="http://ges29.files.wordpress.com/2012/03/01-b_pengantar-spi.pdf">http://ges29.files.wordpress.com/2012/03/01-b_pengantar-spi.pdf</a><br />
<a href="http://ges29.files.wordpress.com/2012/03/02_kebutuhan-manusia-pada-agama.pdf">http://ges29.files.wordpress.com/2012/03/02_kebutuhan-manusia-pada-agama.pdf</a><br />
<br />
Ilmu Kalam :<br />
<a href="http://ges29.files.wordpress.com/2012/04/bab-ii-syiah-ismailiyah.pdf%20" target="_blank">syiah Isma'iliyah </a><br />
<br />
Pengantar Ilmu Tafsir<br />
<a href="http://ges29.files.wordpress.com/2012/04/definisi-ilmu-tafsir.docx" target="_blank">Download</a><br />
<br />
Makalah Sejarah Peradaban Islam<br />
<a href="http://ges29.files.wordpress.com/2012/04/makalah-spi.pdf" target="_blank">Download 1</a> Unknownnoreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-6058205351850084286.post-29504178976999212652012-04-12T23:58:00.000-07:002012-04-13T00:02:13.774-07:00PENGERTIAN HUTANG PIUTANG DALAM ISLAM<div style="text-align: justify;">Dalam masyarakat Indonesia, selain dikenal istilah utang piutang juga dikenal istilah kredit. Utang piutang biasanya digunakan oleh masyarakat dalam kontek pemberian pinjaman pada pihak lain. Seseorang yang meminjamkan hartanya pada orang lain maka ia dapat disebut telah memberikan utang padanya. Sedangkan istilah kredit lebih banyak digunakan oleh masyarakat pada transaksi perbankan dan pembelian yang tidak dibayar secara tunai. Secara esensial, antara utang dan kredit tidak jauh beda dalam pemaknaannya di masyarakat. <br />
Selain itu, utang piutang sangat terkait dengan pemberian pinjaman dari pihak lain sebagai metoda transaksi ekonomi di masyarakat. Sedangkan kredit secara umum lebih mengarah pada pemberian pinjaman dengan penambahan nilai dalam pengembalian. Hal ini dikarenakan istilah kredit lebih banyak digunakan dalam dunia perbankan.<br />
Sedangkan dalam terminologi fiqh mu’amalah, utang piutang disebut dengan “dain” (دين). Istilah “dain” (دين) ini juga sangat terkait dengan istilah “qard” (قرض) yang dalam bahasa Indonesia dikenal dengan pinjaman. Dari sini nampak bahwa tidak ada perbedaan yang signifikan antara “dain” (دين) dan “qard” (قرض) dalam bahasa fiqh mu’amalah dengan istilah utang piutang dan pinjaman dalam bahasa Indonesia. Berdasarkan pemikiran di atas, maka dalam mengkaji masalah utang piutang, kredit, pinjaman, pembiayaan ataupun qard harus dijelaskan satu persatu agar jelas perbedaan dan persamaannya.<br />
Pertama, dalam terminologi fiqh mu’amalah, pinjaman yang mengakibatkan adanya utang disebut dengan “qard” (قرض). Qard (قرض) dalam pengertian fiqh diartikan sebagai perbuatan memberikan hak milik untuk sementara waktu oleh seseorang pada pihak lain dan pihak yang menerima pemilikan itu diperbolehkan memanfaatkan serta mengambil manfaat dari harta yang diberikan tanpa mengambil imbalan, dan pada waktu tertentu penerima harta itu wajib mengembalikan harta yang diterimanya kepada pihak pemberi pinjaman<br />
Kedua, dalam bahasa perbankan pemberian utang atau pembiayaan disebut dengan “kredit”. Kata “kredit” secara kebahasaan berasal dari kata credo yang dalam pengertian keagamaan berarti kepercayaan. Adapun pengertian kata credo yang terkait dengan masalah financial adalah memberikan pinjaman uang atas dasar kepercayaan<br />
Utang dalam pengertian masyarakat berarti menerima pinjaman dari pihak lain yang harus dikembalikan sesuai dengan perjanjian yang dilakukan ketika transaksi. Secara umum, ketiga istilah di atas tidak mempunyai pengertian yang berbeda-beda. Adanya perbedaan istilah antara utang, kerdit, dan dain hanya perbedaan bahasa saja yang dalam pengertian umum masyarakat tidak berbeda. Sedangkan perbedaan antara pinjaman, pembiayaan, dan qard (قرض) juga demikian.<br />
Adanya perbedaan pengertian yang disampaikan oleh para pakar hukum, baik pakar hukum Islam, maupun para pakar perbankan di dunia dan Indonesia tidak menunjukkan adanya perbedaan pemaknaan. Perbedaan yang terjadi biasanya hanya dalam redaksional pemberian definisi saja. Hal ini dapat dilihat dari beberapa pengertian qard yang disampaikan beberapa pakar hukum Islam (fuqaha’) sebagai berikut :<br />
1. Sayyid Sabiq dalam bukunya Fiqh Sunnah memberikan definisi qard sebagai harta yang diberikan oleh pemberi pinjaman kepada penerima dengan syarat penerima pinjaman harus mengembalikan besarnya nilai pinjaman pada saat mampu mengembalikannya <br />
2. Abdullah Abdul Husain at-Tariqi memberikan pengertian qard sebagai pembayaran harta pada orang yang memanfaatkan kemudian ada ganti rugi yang dikembalikan dengan syarat harus sesuai dengan harta yang dibayarkan pertama kali kepada yang menerimanya<br />
3. Berbeda dengan pengertian-pengertian di atas, Hasbi ash-Shiddieqy mengartikan utang piutang dengan akad yang dilakukan oleh dua orang di mana salah satu dari dua orang tersebut mengambil kepemilikan harta dari lainnya dan ia menghabiskan harta tersebut untuk kepentingannya, kemudian ia harus mengembalikan barang tersebut senilai dengan apa yang diambilnya dahulu. Berdasarkan pengertian ini maka “qard” (قرض) memiliki dua pengertian yaitu; “i’arah” (اعارة) yang mengandung arti tabarru’ (تبرع) atau memberikan harta kepada orang dasar akan dikembalikan, dan pengertian mu’awadlah, (معاوضة) karena harga yang diambil bukan sekedar dipakai kemudian dikembalikan, tetapi dihabiskan dan dibayar gantinya </div><div style="text-align: justify;"><br />
</div><div style="text-align: justify;"></div><div style="text-align: justify;"></div><div style="text-align: justify;">selengkapnya <a href="http://ges29.files.wordpress.com/2012/04/makalah-pengertian-hutang-piutang-dalam-islam.pdf" target="_blank">Download disini</a><br />
</div>Unknownnoreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-6058205351850084286.post-25200621207133206432012-04-10T22:20:00.002-07:002012-04-10T22:31:37.814-07:00Paradigma Ilmu Islam<div style="text-align: justify;"><div class="separator" style="clear: both; text-align: center;"><a href="http://4.bp.blogspot.com/-2VwnQjpgH-8/T4UWrmwFt7I/AAAAAAAABrA/JErhxDUoq6A/s1600/ilmu.jpg" imageanchor="1" style="margin-left: 1em; margin-right: 1em;"><img border="0" height="400" src="http://4.bp.blogspot.com/-2VwnQjpgH-8/T4UWrmwFt7I/AAAAAAAABrA/JErhxDUoq6A/s400/ilmu.jpg" width="295" /></a></div>Islamisasi Sains bukan dalam pelabelan ayat-ayat Al-Quran dan hadis. Adaptasi dan asimilasi ke dalam nilai-nilai budaya reigius Islam. Sistem epistemologi saja tak cukup. Teori pengetahuan yang membicarakan tentang sumber dan cara mendapatkan pengetahuan yang dibangun para filosof dan ilmuwan Barat itu betapapun berpengaruh dalam pengembangan peradaban manusia, dianggap mengabaikan nurani dan intusisi manusia.<br />
<br />
Dalam sejarahnya, sistem epistemologi Barat ini bergulir pada pasca Abad Pertengahan dan zaman Renaisans, terutama sejak masa Rene Decrates, yang dipandang sebagai "Bapak Filsafat Barat Modern". Paradigma epistemologi Barat bercorak rasionalistik-positivistik indrawi menempatkan manusia cuma sebagai mahluk fisik-kimia yang tidak peduli nilai-nilai spiritual. Pandangan ini menyingkirikan Tuhan sebagai Pencipta. Seluruh proses alam dipandang hanya kebetulan, tak ada campur tangan Tuhan.<br />
<br />
Dalam bangunan filsafatnya, Decrates menekankan akal itu sebagai sumber ilmu pengetahuan dan menjadikannya sebagai tujuan akhir. Segala hal yang bersifat abstrak dan tidak dapat dipikirkan secara logika bukanlah ilmu pengetahuan.<br />
<br />
Epistemologi barat sebagai sebuah sistem yang sangat mendominasi pada abad ini telah menjadi ancaman bagi kemanusiaan, betatapapun penting posisi akal sebagai sumber ilmu, dia membutuhkan alat bantu yang disebut hati atau intusisi yang dalam bentuk teritingginya disebut wahyu. Intuisi memiliki keunggulan memahami banyak hal yang tak dapat dilakukan akal. Akal tidak mamapu memahami pengalaman-pengalaman eksistensial; akal tidak bisa mengerti mengapa ada tempat atau waktu tertentu yang dianggap sakral oleh orang-orang tertentu. Akal juga tidak bisa menangkap sinyal dari langit. Semua ini hanya dapat dilakukan oleh hati (qalb). Otoritas hati sebagai sumber pengetahuan ini mendapatkan pijakan kukuh dalam Islam.<br />
<br />
Pengalaman mimpi ini amat membantu kita dalam memamahi pengalaman mistik yang sering diklaim para sufi ataupun filosof. Mereka yang telah menembus batas-batas dunia fisik bisa mengalami hal yang tak dapat dipahami oleh akal sebagaimana dalam epistemologi Barat. Pengalaman mistik adalah riil dan sejati bukan ilusi. Pandangan ini amat membantu dalam memahami pengalaman kenabian.<br />
<br />
Akibat lebih luas dari paradigma epistemologi Barat yag rasionalistik-positivistik ini, terjadilah sekularisme ilmu pengetahuan yang memandang ilmu netral. Setidaknya kita dapat menolak pandangan demikian dan menyatakan ilmu tidak bisa berkembang secara mandiri tanpa dipengaruhi nilai-nilai budaya da agama, bahkan oleh situasi politik dan ekonomi.<br />
<br />
Sedikit banyak, orientasi, penekanan, corak, bahkan perkembangan ilmu dipengaruhi keyakinan pribadi ilmuwan-ilmuwannya. Karena perkembangan ilmu kini didominasi orang-orang Barat yang memiliki corak sekular, maka pengembangannya pun terkait erat dengan latar belakang budaya mereka yang sekular tersebut. Ini tantangan epistemologi Islam. Karena itu perkembangan epistemologi Barat tersebut perlu diarahkan dengan melakukan Islamisasi sains. Namun Islamisasi bukan hanya dalam bentuk pelabelan sains dengan ayat-ayat Al-Quran atau hadis, melainkan adaptasi dan asimilasi kembali masuk ke dalam nilai-nilai budaya religius Islam.<br />
<br />
<a href="http://ikhwan-kiri.blogspot.com/" target="_blank">referensi - read more </a></div>Unknownnoreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-6058205351850084286.post-73946728616600663432012-04-10T10:21:00.004-07:002012-04-10T10:24:31.083-07:00Definisi Berpikir Ilmiah<div style="text-align: justify;"><div class="separator" style="clear: both; text-align: center;"><a href="http://4.bp.blogspot.com/-j6tNKrgWvsc/T4RsxQGvZwI/AAAAAAAABms/2Zm7QKwzWcU/s1600/34images+%282%29.jpg" imageanchor="1" style="clear: left; float: left; margin-bottom: 1em; margin-right: 1em;"><img border="0" src="http://4.bp.blogspot.com/-j6tNKrgWvsc/T4RsxQGvZwI/AAAAAAAABms/2Zm7QKwzWcU/s1600/34images+%282%29.jpg" /></a></div>Berfikir ilmiah adalah berfikir yang logis dan empiris. Logis: masuk akal, empiris: Dibahas secara mendalam berdasarkan fakta yang dapat dipertanggung jawabkan. (Hillway,1956).<br />
Berpikir ilmiah adalah menggunakan akal budi untuk mempertimbangkan, memutuskan, mengembangkan dsb. secara ilmu pengetahuan (berdasarkan prinsip-prinsip ilmu pengethuan. Atau menggunakan prinsip-prinsip logis terhadap penemuan, pengesahan dan penjelasan kebenaran. uripsantoso.wordpress.com<br />
(Menurut Salam (1997:139)Pengertian berpikir ilmiah)<br />
<br />
1) Proses atau aktivitas manusia untuk menemukan/ mendapatkan ilmu. <br />
<br />
2) Proses berpikir untuk sampai pada suatu kesimpulan yang berupa pengetahuan.<br />
<br />
3) Sarana berpikir ilmiah.<br />
<br />
4) Sarana berpikir ilmiah merupakan alat yang membantu kegiatan ilmiah dalam berbagai langkah yang harus ditempuh.<br />
<br />
5) Tanpa penguasaan sarana berpikir ilmiah kita tidak akan dapat melaksanakan kegiatan berpikir ilmiah yang baik.<br />
<br />
6) Merupakan alat bagi metode ilmiah dalam melakukan fungsinya dengan baik.<br />
<br />
7) Mempunyai metode tersendiri yang berbeda dengan metode ilmiah dalam mendapatkan pengetahuannya sebab fungsi sarana berpikir ilmiah adalah membantu proses metode ilmiah.<br />
<br />
Berpikir merupakan kegiatan [akal] untuk memperoleh pengetahuan yang benar. Berpikir ilmiah adalah kegiatan [akal] yang menggabungkan induksi dan deduksi.(Jujun S. Suriasumantri, Filsafat Ilmu: Sebuah Pengantar Populer (Jakarta: Pustaka Sinar Harapan,)<br />
<br />
Berpikir ilmiah, yaitu berpikir dalam hubungan yang luas dengan pengertian yang lebih komplek disertai pembuktian-pembuktian.( Menurut Kartono (1996, dalam Khodijah, 2006:118)<br />
<br />
Berfikir ilmiah merupakan proses berfikir/ pengembangan pikiran yang tersusun secara sistematis yang berdasarkan pengetahuan-pengetahuan ilmiah,yang sudah ada (Eman Sulaeman)<br />
<br />
Logika alamiah adalah kinerja akal budi manusia yang berpikir secara tepat dan lurus sebelum dipengaruhi oleh keinginan-keinginan dan kecenderungan-kecenderungan yang subyektif. Kemampuan logika alamiah manusia ada sejak lahir.(wikipedia bahasa indonesia, ensiklopedia bebas)<br />
<br />
Berpikir ilmiah adalah menggunakan akal budi untuk mempertimbangkan, memutuskan, mengembangkan dsb. secara ilmu pengetahuan (berdasarkan prinsip-prinsip ilmu pengethuan. Atau menggunakan prinsip-prinsip logis terhadap penemuan, pengesahan dan penjelasan kebenaran<br />
<br />
Berfikir ilmiah adalah pola penalaran berdasarkan sasaran tertentu secara teratur dan cermat (Jujun S. Suria Sumantri, 1984)<br />
<br />
Berpikir ilmiah adalah metode berpikir yang di dasarkan pada logika deduktif dan induktif (Mumuh mulyana Mubarak, SE)</div>Unknownnoreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-6058205351850084286.post-65536981832349888032012-04-10T10:17:00.002-07:002012-04-10T10:17:45.496-07:00MATEMATIKA DAN STATISTIK SEBAGAI SARANA BERFIKIR ILMIAH<div style="text-align: justify;">Perkembangan ilmu dan filsafat diawali dari rasa ingin tahu , kemudian meningkatnya rasa ingin tahu, lalu kebiasaan penalaran yang radikal dam divergen yang kemudian terbagi dua yaitu berkembangnya logika (Deduktif) dan Induktif, selanjutnya gabungan logika deduktif dan induktif yaitu proses Logika, hipothetico dan verifikasi, terakhir adalah berkembangnya kreativitas.<br />
Berdasarkan perkembangan ilmu abad 20 menjadikan manusia sebagai mahluk istimewa dilihat dari kemajuan berimajinasi. Konsep terbaru filsapat abad 20 di dasarkan atas dasar fungsi berfikir, merasa, cipta talen dan kreativitas. <br />
Ilmu merupakan pengetahuan yang di dapatkan lewat metode ilmiah. Untuk melakukan kegiatan ilmiah secara baik perlu sarana berfikir, yang memungkinkan dilakukannya penelaahan ilmiah secara teratur dan cermat. Sarana ilmiah pada dasarnya merupakan alat membantu kegiatan ilmiah dalam berbagai langkah yang harus ditempuh. Tujuan mempelajari sarana ilmiah adalah untuk memungkinkan kita melakukan penelaahan ilmiah secara baik, sedangkan tujuan mempelajari ilmu dimaksudkan untuk mendapatkan pengehahuan yang memungkinkan untuk bisa memecahkan masalah sehari-hari. <br />
Ditinjau dari pola berfikirnya, maka maka ilmu merupakan gabungan antara pola berfikir deduktif dan berfikir induktif, untuk itu maka penalaran ilmiah menyadarkan diri kepada proses logika deduktif dan logika induktif .Penalaran ilmiah mengharuskan kita menguasai metode penelitian ilmiah yang pada hakekatnya merupakan pengumpulan fakta untuk mendukung atau menolak hipotesis yang diajukan. Kemampuan berfikir ilmiah yang baik harus didukung oleh penguasaan sarana berfikir ini dengan baik pula. Salah satu langkah kea rah penguasaan itu adalah mengetahui dengan benar peranan masing-masing sarana berfikir tersebut dalam keseluruhan berfikir ilmiah tersebut.<br />
Berdasarkan pemikiran ini, maka tidak sukar untuk dimengerti mengapa mutu kegiatan keilmuan tidak mencapai taraf yang memuaskan sekiranya sarana berfikir ilmiahnya memang kurang dikuasai<br />
Untuk dapat melakukan kegiatan ilmiah dengan baik, maka diperlukan sarana yang berupa bahasa, logika, matematika dan statistik.<br />
<br />
<br />
Bagaimana mungkin seorang bisa melakukan penalaran yang cermat, tanpa menguasai struktur bahasa bahasa yang tepat.<br />
Bagaimana seseorang bisa melakukan generalisasi tanpa menguasai statistic?<br />
Memang betul tidak semua masalah membutuhkan analisa statisti, namun hal ini bukan berarti, bahwa kita tidak peduli terhadap statistik sama sekali dan berpaling kepada cara-cara yang justru tidak bersifat ilmiah.<br />
<br />
A. Matematika <br />
1. Matematika sebagai bahasa <br />
Matematika adalah bahasa yang melambangkan serangkaian makna dari <br />
pernyataan yang ingi disampaikan.Lambang-lambang matematika bersifat <br />
“Artifisial” yang baru mempunyai arti setelah sebuah makna diberikan <br />
kepadanya.Bila kita mempelajari kecepatan jalan kaki seseorang anak maka <br />
obyek “kecepatan jalan kaki seorang anak” dapat diberi lambang dengan x. <br />
dalam hal ini x hanya mempunyai satu arti yaitu kecepatan jalan kaki seorang <br />
anak. Bila dihubungkan dengan dengan obyek lain umpanya “jarak yang <br />
ditempuh seoang anak” (y). maka dapat dibuat lambang hubungan tersebut <br />
sebagai z = y/x, di mana z melambangkan waktu berjalan kaki seorang anak.<br />
Pernyataan z = y/x kiranya jelas : Tidak mempunyai konotasi emosional dan <br />
hanya mengemukakan informasi mengenai hubungan x, y dan z, artinya <br />
matematika mempunyai sifat yang jelas, spesifik dan informative dengan tidak <br />
menimbulkan konotasi yang bersifat emosional.<br />
<br />
2. sifat kuantitatif dari matematika<br />
Dengan bahasa verbal bila kita membandingkan dua obyek yang berlainan umpamanya Gajah dan semut, maka hanya bisa mengatakan gajah lebih besar dari semut, kalau ingin menelusuri lebih lanjut berapa besar gajah dibandingkan dengan semut, maka kita mengalami kesukaran dalam mengemukakan hubungan itu, biia ingin mengetahui secara eksak berapa besar gajah bila dibandingkan dengan semut, maka dengan bahasa verbal tidak dapat mengatakan apa-apa.<br />
Matematika mengembangkan konsep pengukuran, lewat pengukuran dapat mengetahui dengan tepat berapa panjang. Bahasa verbal hanya mampu<br />
<br />
<br />
mengemukakan pernyataan yang bersifat kualitatif, kita mengetahui bahwa sebatang logam bila dipanaskan akan memanjang, tetapi tidak bisa mengatakan berapa besar pertambahan panjang logamnya. <br />
Untuk itu matematika mengembangkan konsep pengukuran, lewat pengukuran, maka dapat mengetahui dengan tepat berapa panjang sebatang logam dan berapa pertambahannya bila dipanaskan. dengan mengetahui hal ini maka pernyataan ilmiah yang berupa pernyataan kualitatif seperti sebatang logam bisa dipanaskan akan memanjang: dapat diganti dengan pernyataan matematika yang lebih eksak umpamanya :<br />
P1 = P0 (1 +ñ)<br />
P1 pajang logam pada temperature t. P0 merupalam panjang logam pada <br />
temperature nol dan n merupakan koefesiansi pemuai logam tersebut.<br />
<br />
<br />
3. matematika : Sarana berfikir deduktif.<br />
4. Perkembangan matematika<br />
5. Beberapa aliran dalam filsafat matematika<br />
6. Matematika dan poradabannya.<br />
<br />
B. Statistik :<br />
Dengan memasyarakatnya berfikir ilmiah, memungkinkan suatu hari berfikir statistik akan merupakan keharusan bagi manusia seperti membaca dan menulis.<br />
1. Statistik dan cara berfikir induktif.<br />
Ilmu secara sederhana dapat didefinisikan sebagai pengetahuan yang telah teruji kebenarannya. Semua penyataan ilmiah adalah bersifat faktual, di mana konsekuensinya dapat diuji dengan baik dengan jalan mempergunakan panca indera, meupun dengan mempergunakan alat-alat yang membantu panca indera tersebut. Pengujian secara empiris merupakan salah satu mata rantai dalam metode ilmiah yang membedakan ilmu dari pengetahuan pengetahuna lainnya. Pengujian merupakan suatu proses pengumpulan fakta yang relevan dengan hipitesa yang diajukan. Sekiranya hipotesa itu didukung oleh fakta-fakta empiris maka pernyataan hipotesis tersebut diterima atau disahkan kebenarannya. Sebaliknya jika hipotesis tersebut bertentangan dengan kenyataan maka hipotesa itu ditolak.<br />
<br />
<br />
Pengujian mengharuskan untuk menarik kesimpulan yang bersifat <br />
umum dari kasus-kasus yang bersifat individual. Umpamanya jika kita ingin mengetahui berapa tinggi rata-rata anak umur 10 tahun di sebuah tempat, maka nilai tinggi rata-rata anak yang dimaksud itu merupakan suatu kesimpulan umum yang ditarik dalam kasus-kasus anak umum 10 tahun di <br />
tempat itu. Jadi dalam hal ini kita menarik kesimpulan berdasarkan logika induktif. Di pihak lain maka penyusunan hipotesis merupakan penarikan kesimpulan yang bersifat khas dari pernyataan yang bersifat umum dengan mempergunakan deduksi.<br />
Penarikan kesimpulan tidak sama dan tidak boleh dicampur adukan, Logika deduktif berpaling kepada matematika sebagai sarana penalaran penarikan kesimpulan, sedangkan logika induktif berpaling kepada statistik. Statistik merupakan pengetahuan untuk melakukan penarikan kesimpulan induktif secara lebih seksama. <br />
<br />
</div>Unknownnoreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-6058205351850084286.post-71238757447209656202012-04-10T10:15:00.000-07:002012-04-10T10:15:23.586-07:00ILMU, FILSAFAT DAN TEOLOGI<div style="text-align: right;">“Aku datang - entah dari mana,<br />
aku ini - entah siapa,<br />
aku pergi - entah kemana,<br />
aku akan mati - entah kapan,<br />
aku heran bahwa aku gembira”.<br />
(Martinus dari Biberach,<br />
tokoh abad pertengahan).</div><div style="text-align: justify;"><br />
1. Manusia bertanya<br />
<br />
Menghadapi seluruh kenyataan dalam hidupnya, manusia kagum atas apa yang dilihatnya, manusia ragu-ragu apakah ia tidak ditipu oleh panca-inderanya, dan mulai menyadari keterbatasannya. Dalam situasi itu banyak yang berpaling kepada agama:<br />
<br />
“Manusia mengharapkan dari berbagai agama jawaban terhadap rahasia yang tersembunyi sekitar keadaan hidup manusia. Sama seperti dulu, sekarang pun rahasia tersebut menggelisahkan hati manusia secara mendalam: apa makna dan tujuan hidup kita, apa itu kebaikan apa itu dosa, apa asal mula dan apa tujuan derita, mana kiranya jalan untuk mencapai kebahagiaan sejati, apa itu kematian, apa pengadilan dan ganjaran sesudah maut, akhirnya apa itu misteri terakhir dan tak terungkapkan, yang menyelimuti keberadaan kita, darinya kita berasal dan kepadanya kita menuju?” -- Zaman Kita (no.1), Deklarasi Konsili Vatikan II tentang Sikap Gereja Katolik terhadap Agama-agama bukan Kristen, 1965.<br />
<br />
Salah satu hasil renungan mengenai hal itu, yang berangkat dari sikap iman yang penuh taqwa kepada Allah, terdapat dalam Mazmur 8:<br />
<br />
“Ya Tuhan, Allah kami, betapa mulianya namaMu diseluruh bumi! <br />
KeagunganMu yang mengatasi langit dinyanyikan.<br />
Mulut bayi-bayi dan anak-anak yang menyusu berbicara bagiMu, membungkam musuh dan lawanMu.<br />
Jika aku melihat langitMu, buatan jariMu, bulan dan bintang yang Kautempatkan;<br />
apakah manusia, sehingga Engkau mengingatnya? <br />
Siapakah dia sehingga Engkau mengindahkannya? -- Namun Engkau telah membuatnya hampir sama seperti Allah, dan telah memahkotainya dengan kemuliaan dan hormat.<br />
Engkau membuat dia berkuasa atas buatan tanganMu; segalanya telah Kauletakkan dibawah kakinya:<br />
kambing domba dan lembu sapi sekalian, <br />
juga binatang-binatang di padang;<br />
burung-burung di udara dan ikan-ikan di laut,<br />
dan apa yang melintasi arus lautan.<br />
Ya Tuhan, Allah kami, betapa mulia namaMu di seluruh bumi!”<br />
<br />
2. Manusia berfilsafat<br />
<br />
Tetapi sudah sejak awal sejarah ternyata sikap iman penuh taqwa itu tidak menahan manusia menggunakan akal budi dan fikirannya untuk mencari tahu apa sebenarnya yang ada dibalik segala kenyataan (realitas) itu. Proses itu mencari tahu itu menghasilkan kesadaran, yang disebut pengetahuan. Jika proses itu memiliki ciri-ciri metodis, sistematis dan koheren, dan cara mendapatkannya dapat dipertanggung-jawabkan, maka lahirlah ilmu pengetahuan.<br />
<br />
Ilmu pengetahuan adalah pengetahuan yang (1) disusun metodis, sistematis dan koheren (“bertalian”) tentang suatu bidang tertentu dari kenyataan (realitas), dan yang (2) dapat digunakan untuk menerangkan gejala-gejala tertentu di bidang (pengetahuan) tersebut.<br />
<br />
Makin ilmu pengetahuan menggali dan menekuni hal-hal yang khusus dari kenyataan (realitas), makin nyatalah tuntutan untuk mencari tahu tentang seluruh kenyataan (realitas). <br />
<br />
Filsafat adalah pengetahuan metodis, sistematis dan koheren tentang seluruh kenyataan (realitas). Filsafat merupakan refleksi rasional (fikir) atas keseluruhan realitas untuk mencapai hakikat (= kebenaran) dan memperoleh hikmat (= kebijaksanaan). <br />
<br />
Al-Kindi (801 - 873 M) : "Kegiatan manusia yang bertingkat tertinggi adalah filsafat yang merupakan pengetahuan benar mengenai hakikat segala yang ada sejauh mungkin bagi manusia ... Bagian filsafat yang paling mulia adalah filsafat pertama, yaitu pengetahuan kebenaran pertama yang merupakan sebab dari segala kebenaran".<br />
<br />
Unsur "rasional" (penggunaan akal budi) dalam kegiatan ini merupakan syarat mutlak, dalam upaya untuk mempelajari dan mengungkapkan "secara mendasar" pengembaraan manusia di dunianya menuju akhirat. Disebut "secara mendasar" karena upaya itu dimaksudkan menuju kepada rumusan dari sebab-musabab pertama, atau sebab-musabab terakhir, atau bahkan sebab-musabab terdalam dari obyek yang dipelajari ("obyek material"), yaitu "manusia di dunia dalam mengembara menuju akhirat". Itulah scientia rerum per causas ultimas -- pengetahuan mengenai hal ikhwal berdasarkan sebab-musabab yang paling dalam.<br />
<br />
Karl Popper (1902-?) menulis "semua orang adalah filsuf, karena semua mempunyai salah satu sikap terhadap hidup dan kematian. Ada yang berpendapat bahwa hidup itu tanpa harga, karena hidup itu akan berakhir. Mereka tidak menyadari bahwa argumen yang terbalik juga dapat dikemukakan, yaitu bahwa kalau hidup tidak akan berakhir, maka hidup adalah tanpa harga; bahwa bahaya yang selalu hadir yang membuat kita dapat kehilangan hidup sekurang-kuran gnya ikut menolong kita untuk menyadari nilai dari hidup". Mengingat berfilsafat adalah berfikir tentang hidup, dan "berfikir" = "to think" (Inggeris) = "denken" (Jerman), maka - menurut Heidegger (1889-1976 ), dalam "berfikir" sebenarnya kita "berterimakasih" = "to thank" (Inggeris) = "danken" (Jerman) kepada Sang Pemberi hidup atas segala anugerah kehidupan yang diberikan kepada kita.<br />
<br />
Menarik juga untuk dicatat bahwa kata "hikmat" bahasa Inggerisnya adalah "wisdom", dengan akar kata "wise" atau "wissen" (bahasa Jerman) yang artinya mengetahui. Dalam bahasa Norwegia itulah "viten", yang memiliki akar sama dengan kata bahasa Sansekerta "vidya" yang diindonesiakan menjadi "widya". Kata itu dekat dengan kata "widi" dalam "Hyang Widi" = Tuhan. Kata "vidya" pun dekat dengan kata Yunani "idea", yang dilontarkan pertama kali oleh Socrates/Plato dan digali terus-menerus oleh para filsuf sepanjang segala abad.<br />
<br />
Menurut Aristoteles (384-322 sM), pemikiran kita melewati 3 jenis abstraksi (abstrahere = menjauhkan diri dari, mengambil dari). Tiap jenis abstraksi melahirkan satu jenis ilmu pengetahuan dalam bangunan pengetahuan yang pada waktu itu disebut filsafat:<br />
<br />
Aras abstraksi pertama - fisika. Kita mulai berfikir kalau kita mengamati. Dalam berfikir, akal dan budi kita “melepaskan diri” dari pengamatan inderawi segi-segi tertentu, yaitu “materi yang dapat dirasakan” (“hyle aistete”). Dari hal-hal yang partikular dan nyata, ditarik daripadanya hal-hal yang bersifat umum: itulah proses abstraksi dari ciri-ciri individual. Akal budi manusia, bersama materi yang “abstrak” itu, menghasilan ilmu pengetahuan yang disebut “fisika” (“physos” = alam).<br />
<br />
Aras abstraksi kedua - matesis. Dalam proses abstraksi selanjutnya, kita dapat melepaskan diri dari materi yang kelihatan. Itu terjadi kalau akal budi melepaskan dari materi hanya segi yang dapat dimengerti (“hyle noete”). Ilmu pengetahuan yang dihasilkan oleh jenis abstraksi dari semua ciri material ini disebut “matesis” (“matematika” – mathesis = pengetahuan, ilmu).<br />
<br />
Aras abstraksi ketiga - teologi atau “filsafat pertama”. Kita dapat meng-"abstrahere" dari semua materi dan berfikir tentang seluruh kenyataan, tentang asal dan tujuannya, tentang asas pembentukannya, dsb. Aras fisika dan aras matematika jelas telah kita tinggalkan. Pemikiran pada aras ini menghasilkan ilmu pengetahuan yang oleh Aristoteles disebut teologi atau “filsafat pertama”. Akan tetapi karena ilmu pengetahuan ini “datang sesudah” fisika, maka dalam tradisi selanjutnya disebut metafisika.<br />
<br />
Secara singkat, filsafat mencakup “segalanya”. Filsafat datang sebelum dan sesudah ilmu pengetahuan; disebut “sebelum” karena semua ilmu pengetahuan khusus mulai sebagai bagian dari filsafat dan disebut “sesudah” karena ilmu pengetahuan khusus pasti menghadapi pertanyaan tentang batas-batas dari kekhususannya.<br />
<br />
3. Manusia berteologi<br />
<br />
Teologi adalah: pengetahuan metodis, sistematis dan koheren tentang seluruh kenyataan berdasarkan iman. Secara sederhana, iman dapat didefinisikan sebagai sikap manusia dihadapan Allah, Yang mutlak dan Yang kudus, yang diakui sebagai Sumber segala kehidupan di alam semesta ini. Iman itu ada dalam diri seseorang antara lain melalui pendidikan (misalnya oleh orang tua), tetapi dapat juga melalui usaha sendiri, misalnya dengan cermat merenungkan hidupnya di hadapan Sang pemberi hidup itu. Dalam hal ini Allah dimengerti sebagai Realitas yang paling mengagumkan dan mendebarkan. Tentulah dalam arti terakhir itu berteologi adalah berfilsafat juga.<br />
<br />
Iman adalah sikap batin. Iman seseorang terwujud dalam sikap, perilaku dan perbuatannya, terhadap sesamanya dan terhadap lingkungan hidupnya. Jika iman yang sama (apapun makna kata "sama" itu) ada pada dan dimiliki oleh sejumlah atau sekelompok orang, maka yang terjadi adalah proses pelembagaan. Pelembagaan itu misalnya berupa (1) tatacara bagaimana kelompok itu ingin mengungkapkan imannya dalam doa dan ibadat, (2) tatanilai dan aturan yang menjadi pedoman bagi penghayatan dan pengamalan iman dalam kegiatan sehari-hari, dan (3) tatanan ajaran atau isi iman untuk dikomunikasikan (disiarkan) dan dilestarikan. Jika pelembagaan itu terjadi, lahirlah agama. Karena itu agama adalah wujud sosial dari iman.<br />
<br />
Catatan.<br />
<br />
(1) Proses yang disebut pelembagaan itu adalah usaha yang sifatnya metodis, sistematis dan koheren atas kenyataan yang berupa kesadaran akan kehadiran Sang Realitas yang mengatasi hidup. Dalam konteks inilah kiranya kata akal ("'aql") dan kata ilmu ("'ilm") telah digunakan dalam teks Al Qur'an. Kedekatan kata 'ilm dengan kata sifat 'alim kata ulama kiranya juga dapat dimengerti. Periksalah pula buku Yusuf Qardhawi, "Al-Qur'an berbicara tentang akal dan ilmu pengetahuan", Gema Insani Press, 1998. Namun sekaligus juga harus dikatakan, bahwa kata "ilmu" itu dalam pengertian umum dewasa ini meski serupa namun tetap tak sama dengan makna kata "ilmu" dalam teks dan konteks Al-Qur'an itu.<br />
(2) Proses terbentuknya agama sebagaimana diungkapkan disini pantas disebut sebagai pendekatan "dari bawah". Inisiatif seakan-akan berasal dari manusia, yang ingin menemukan hakekat hidupnya di dunia ini dikaitkan dengan Sang sumber hidup dan kehidupan. Manusia meniti dan menata hidupnya sesuai dengan hasil penemuannya. Pendekatan "dari atas" nyata pada agama-agama samawi: Allah mengambil inisiatif mewahyukan kehendakNya kepada manusia, dan oleh karena itu iman adalah tanggapan manusia atas "sapaan" Allah itu.<br />
<br />
Sebagai ilmu, teologi merefleksikan hubungan Allah dan manusia. Manusia berteologi karena ingin memahami imannya dengan cara lebih baik, dan ingin mempertanggungjawabkannya: "aku tahu kepada siapa aku percaya" (2Tim 1:12). Teologi bukan agama dan tidak sama dengan Ajaran Agama. Dalam teologi, adanya unsur "intellectus quaerens fidem" (akal menyelidiki isi iman) diharapkan memberi sumbangan substansial untuk integrasi akal dan iman, iptek dan imtaq, yang pada gilirannya sangat bermanfaat bagi hidup manusia masa kini.<br />
<br />
4. Obyek material dan obyek formal<br />
<br />
Ilmu filsafat memiliki obyek material dan obyek formal. Obyek material adalah apa yang dipelajari dan dikupas sebagai bahan (materi) pembicaraan, yaitu gejala "manusia di dunia yang mengembara menuju akhirat". Dalam gejala ini jelas ada tiga hal menonjol, yaitu manusia, dunia, dan akhirat. Maka ada filsafat tentang manusia (antropologi), filsafat tentang alam (kosmologi), dan filsafat tentang akhirat (teologi - filsafat ketuhanan; kata "akhirat" dalam konteks hidup beriman dapat dengan mudah diganti dengan kata Tuhan). Antropologi, kosmologi dan teologi, sekalipun kelihatan terpisah, saling berkaitan juga, sebab pembicaraan tentang yang satu pastilah tidak dapat dilepaskan dari yang lain. Juga pembicaraan filsafat tentang akhirat atau Tuhan hanya sejauh yang dikenal manusia dalam dunianya.<br />
<br />
Obyek formal adalah cara pendekatan yang dipakai atas obyek material, yang sedemikian khas sehingga mencirikan atau mengkhususkan bidang kegiatan yang bersangkutan. Jika cara pendekatan itu logis, konsisten dan efisien, maka dihasilkanlah sistem filsafat.<br />
<br />
Filsafat berangkat dari pengalaman konkret manusia dalam dunianya. Pengalaman manusia yang sungguh kaya dengan segala sesuatu yang tersirat ingin dinyatakan secara tersurat. Dalam proses itu intuisi (merupakan hal yang ada dalam setiap pengalaman) menjadi basis bagi proses abstraksi, sehingga yang tersirat dapat diungkapkan menjadi tersurat.<br />
<br />
Dalam filsafat, ada filsafat pengetahuan. "Segala manusia ingin mengetahui", itu kalimat pertama Aristoteles dalam Metaphysica. Obyek materialnya adalah gejala "manusia tahu". Tugas filsafat ini adalah menyoroti gejala itu berdasarkan sebab-musabab pertamanya. Filsafat menggali "kebenaran" (versus "kepalsuan"), "kepastian" (versus "ketidakpastian"), "obyektivitas" (versus "subyektivitas"), "abstraksi", "intuisi", dari mana asal pengetahuan dan kemana arah pengetahuan. Pada gilirannya gejala ilmu-ilmu pengetahuan menjadi obyek material juga, dan kegiatan berfikir itu (sejauh dilakukan menurut sebab-musabab pertama) menghasilkan filsafat ilmu pengetahuan. Kekhususan gejala ilmu pengetahuan terhadap gejala pengetahuan dicermati dengan teliti. Kekhususan itu terletak dalam cara kerja atau metode yang terdapat dalam ilmu-ilmu pengetahuan.<br />
<br />
5. Cabang-cabang filsafat<br />
<br />
5.1. Sekalipun bertanya tentang seluruh realitas, filsafat selalu bersifat "filsafat tentang" sesuatu: tentang manusia, tentang alam, tentang akhirat, tentang kebudayaan, kesenian, bahasa, hukum, agama, sejarah, ... Semua selalu dikembalikan ke empat bidang induk:<br />
<br />
1. filsafat tentang pengetahuan:<br />
obyek material : pengetahuan ("episteme") dan kebenaran<br />
epistemologi;<br />
logika;<br />
kritik ilmu-ilmu;<br />
2. filsafat tentang seluruh keseluruhan kenyataan:<br />
obyek material : eksistensi (keberadaan) dan esensi (hakekat)<br />
metafisika umum (ontologi);<br />
metafisika khusus:<br />
antropologi (tentang manusia);<br />
kosmologi (tentang alam semesta);<br />
teodise (tentang tuhan);<br />
3. filsafat tentang nilai-nilai yang terdapat dalam sebuah tindakan:<br />
obyek material : kebaikan dan keindahan<br />
etika;<br />
estetika;<br />
4. sejarah filsafat.<br />
<br />
5.2. Beberapa penjelasan diberikan disini khusus mengenai filsafat tentang pengetahuan. Dipertanyakan: Apa itu pengetahuan? Dari mana asalnya? Apa ada kepastian dalam pengetahuan, atau semua hanya hipotesis atau dugaan belaka?<br />
<br />
Pertanyaan tentang kemungkinan-kemungkinan pengetahuan, batas-batas pengetahuan, asal dan jenis-jenis pengetahuan dibahas dalam epistemologi. Logika ("logikos") "berhubungan dengan pengetahuan", "berhubungan dengan bahasa". Disini bahasa dimengerti sebagai cara bagaimana pengetahuan itu dikomunikasikan dan dinyatakan. Maka logika merupakan cabang filsafat yang menyelidiki kesehatan cara berfikir serta aturan-aturan yang harus dihormati supaya pernyataan-pernyataan sah adanya.<br />
<br />
Ada banyak ilmu, ada pohon ilmu-ilmu, yaitu tentang bagaimana ilmu yang satu berkait dengan ilmu lain. Disebut pohon karena dimengerti pastilah ada ibu (akar) dari semua ilmu. Kritik ilmu-ilmu mempertanyakan teori-teori dalam membagi ilmu-ilmu, metode-metode dalam ilmu-ilmu, dasar kepastian dan jenis keterangan yang diberikan. <br />
<br />
5.3. Menurut cara pendekatannya, dalam filsafat dikenal ada banyak aliran filsafat: eksistensialisme, fenomenologi, nihilisme, materialisme, ... dan sebaginya.<br />
<br />
5.4. Pastilah ada filsafat tentang agama, yaitu pemikiran filsafati (kritis, analitis, rasional) tentang gejala agama: hakekat agama sebagai wujud dari pengalaman religius manusia, hakikat hubungan manusia dengan Yang Kudus (Numen): adanya kenyataan trans-empiris, yang begitu mempengaruhi dan menentukan, tetapi sekaligus membentuk dan menjadi dasar tingkah-laku manusia. Yang Kudus itu dimengerti sebagai Mysterium Tremendum et Fascinosum; kepadaNya manusia hanya beriman, yang dapat diamati (oleh seorang pengamat) dalam perilaku hidup yang penuh dengan sikap "takut-dan-taqwa", wedi-lan-asih ing Panjenengane. <br />
<br />
Sebegitu, maka tidak ada filsafat agama X; yang ada adalah filsafat dalam agama X, yaitu pemikiran menuju pembentukan infrastruktur rasional bagi ajaran agama X. Hubungan antara filsafat dengan agama X dapat diibaratkan sebagai hubungan antara jemaah haji dengan kendaraan yang ditumpangi untuk pergi haji ke Tanah Suci, dan bukan hubungan antara jemaah haji dengan iman yang ada dalam hati jemaah itu.<br />
<br />
Catatan lain. <br />
<br />
1. Iman dapat digambarkan mirip dengan gunung es di lautan. Yang tampak hanya sekitar sepersepuluh saja dari keseluruhannya. Karena iman adalah suasana hati, maka berlakulah peribahasa: "dalam laut dapat diduga, dalam hati siapa yang tahu". Tahukah saudara akan kadar keimanan saya?<br />
<br />
2. Sekaligus juga patut ditanyakan "dimanakah letak hati yang dimaksudkan disini? Pastilah "hati" itu (misalnya dalam kata "sakit hati" jika seorang pemudi dibuat kecewa oleh sang pemuda yang menjadi pacarnya) bukan organ hati (dan kata "sakit hati" karena liver anda membengkak) yang diurus oleh para dokter di rumah sakit. Periksa pula apa yang tersirat dalam kata "batin", "kalbu", "berhati-hatilah", "jantung hati", "jatuh hati", "hati nurani", dan "suara hati".<br />
<br />
3. Menurut Paul A Samuelson tirani kata merupakan gejala umum dalam masyarakat. Sering ada banyak kata dipakai untuk menyampaikan makna yang sama dan ada pula banyak makna terkait dalam satu kata. Manusia ditantang untuk berfikir dan berbicara dengan jelas dan terpilah-pilah ("clearly and distinctly"), sekurang-kurangnya untuk menghindarkan miskomunikasi dan menegakkan kebenaran. Itulah nasehat dari Rene Descrates. Bahkan kedewasaan seseorang dalam menghadapi persoalan (termasuk persoalan-persoalan dalam hidupnya) erat hubungannya dengan kemampuannya untuk berfikir dan berbicara dengan jelas dan terpilah-pilah tersebut.<br />
<br />
6. Refleksi rasional dan refleksi imani<br />
<br />
Ketika bangsa Yunani mulai membuat refleksi atas persoalan-persoalan yang sekarang menjadi obyek material dalam filsafat dan bahkan ketika hasil-hasil refleksi itu dibukukan dalam naskah-naskah yang sekarang menjadi klasik, bangsa Israel telah memiliki sejumlah naskah (yang sekarang dikenal sebagai bagian dari Alkitab yang disebut Perjanjian Lama). Naskah-naskah itu pada hakekatnya merupakan hasil refleksi juga, oleh para bapa bangsa itu tentang nasib dan keberuntungan bangsa Israel -- bagaimana dalam perjalanan sejarah sebagai "bangsa terpilih", mereka sungguh dituntun (bahkan sering pula dihardik dengan keras serta dihukum) oleh YHWH (dibaca: Yahwe), Allah mereka. Ikatan erat dengan tradisi dan ibadat telah menjadikan naskah-naskah itu Kitab Suci agama mereka (Agama Yahudi). Pada gilirannya, Kitab Suci itu pun memiliki posisi unik dalam Agama Kristiani.<br />
<br />
Catatan. <br />
Bangsa Israel (dan Israel dalam Alkitab) sebagaimana dimaksudkan diatas tidak harus dimengerti sama dengan bangsa Israel yang sekarang ada di wilayah geografis yang sekarang disebut "negara Israel".<br />
<br />
Kedua refleksi itu berbeda dalam banyak hal. Refleksi tokoh-tokoh Yunani itu (misal Plato dan Aristoteles) mengandalkan akal dan merupakan cetusan penolakan mereka atas mitologi (faham yang menggambarkan dunia sebagai senantiasa dikuasai oleh para dewa dan dewi). Sebaliknya, refleksi para bapa bangsa Israel itu (misal: Musa yang umumnya diterima sebagai penulis 5 kitab pertama Perjanjian Lama) merupakan ditopang oleh kalbu karena merupakan cetusan penerimaan bangsa Israel atas peran Sang YHWH dalam keseluruhan nasib dan sejarah bangsa itu. Refleksi imani itu sungguh merupakan pernyataan universal pengakuan yang tulus, barangkali yang pertama dalam sejarah umat manusia, akan kemahakuasaan Allah dalam hidup dan sejarah manusia.<br />
<br />
Sekarang ada yang berpendirian, bahwa hasil refleksi rasional para tokoh Yunani itu, berasimilasi dengan tradisi refleksi hidup keagamaan yang monoteistis, ternyata menjadi bibit bagi lahirnya ilmu-ilmu pengetahuan yang dikenal dewasa ini. Oleh karena itu sering filsafat dikatakan mengatasi setiap ilmu.<br />
<br />
Sementara itu, harus dicatat bahwa dalam lingkungan kebudayaan India dan Cina berkembang pula refleksi bernuansa lain: wajah Asia. Refleksi itu nyata dalam buah pengetahuan yang terkumpul (misalnya dalam wujud "ilmu kedokteran alternatif" tusuk jarum), dan dalam karya-karya sastra "kaliber dunia" dari anak benua India. Karya-karya sastra itu sering diperlakukan sebagai kitab suci, atau dihormati sebagai Kitab Suci, karena diterima sebagai kitab yang penuh dengan hal-hal yang bernilai suci untuk menjadi pedoman hidup sehari-hari. <br />
<br />
Misalnya saja Bhagavadgita (abad 4 seb Masehi). Bhagawadgita (atau Gita) diangkat dari epik Mahabharata, dari posisi sekunder (bagian dari sebuah cerita) ke posisi primer (sumber segala inspirasi untuk hidup). Pada abad 8 Masehi, Sankara (seorang guru) menginterpretasi Gita bukan sebagai pedoman untuk aksi, tetapi sebagai pedoman untuk "mokhsa", pembebasan dari keterikatan kepada dunia ini. Ramanuja (abad 12 Masehi) melihatnya sebagai sumber devosi atas kerahiman Tuhan yang hanya bisa dihayati melalui cinta. Pada masa perjuangan kemerdekaan sekitar tahun 40-an, Gita dilihat sebagai pedoman untuk ber-"dharma yuddha", perang penuh semangat menegakkan kebenaran terhadap penjajah yang tak adil. Bagi Tilak, Arjuna adalah "a man of action" ("karma yogin"), dan Gita mendorong seseorang untuk bertindak sedemikian sehingga ia menjadi "mokhsa" melalui "perjuangan" yang ditempuhnya. Aurobindo, Mahatma Gandhi, Bhave, Radhakrishnan, dan tokoh-tokoh lain membuat komentar yang kurang lebih sama. Tanpa interpretasi Tilak, misalnya, pergolakan di India pada waktu itu mudah dinilai sebagai bersifat politis murni (atau kriminal murni?), yaitu tanpa landasan ideal, spiritual, teologis dan etis.<br />
<br />
Sesungguhnya, berefleksi merupakan ciri khas manusia sebagai pribadi dan dalam kelompok. Refleksi merupakan sarana untuk mengembangkan spiritualitas dan aktualisasi menjadi manusia yang utuh, dewasa dan mandiri. Melalui refleksi pula, manusia dan kelompok-kelompok manusia (yaitu suku dan bangsa) menemukan jati dirinya, menyadari tempatnya dalam dimensi ruang dan waktu (dalam sejarah), serta melaksanakan panggilannya untuk membuat sejarah bagi masa depan. <br />
<br />
Catatan. <br />
Adakah refleksi tentang realitas yang khas Indonesia? Suatu kajian berdasar naskah-naskah sastra Jawa masa lalu terdapat dalam disertasi doktor P J Zoetmulter SJ: "Manunggaling Kawula Gusti" (1935), yang telah diterjemahkan oleh Dick Hartoko SJ dan diterbitkan oleh PT Gramedia.<br />
<br />
</div>Unknownnoreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-6058205351850084286.post-46962808774635514602012-04-09T02:28:00.004-07:002012-04-09T02:32:47.269-07:00Syiah Ismailiyah Bab 1-3<div style="text-align: center;"><b>BAB I</b></div><div style="text-align: center;"><b>PENDAHULUAN</b></div><div style="text-align: justify;"><b>A. LATAR BELAKANG MASALAH</b></div><div style="text-align: justify;">Ismailiyah (bahasa Arab: الإسماعيليون al-Ismā'īliyyūn; bahasa Urdu: Ismā'īlī, bahasa Persia: Esmā'īliyān) adalah mazhab dengan jumlah penganut kedua terbesar dalam Islam Syi'ah, setelah mazhab Dua Belas Imam (Itsna 'Asyariah). Sebutan Ismailiyah diperoleh pengikut mazhab ini karena penerimaan mereka atas keimaman Isma'il bin Ja'far sebagai penerus dari Ja'far ash-Shadiq. Pengikut mazhab Itsna 'Asyariah, di lain pihak menerima Musa al-Kadzim sebagai Imam mereka. Baik Ismailiyah maupun Itsna 'Asyariah sama-sama menerima keenam Imam Syi'ah terdahulu, sehingga memiliki banyak kesamaan pandangan atas sejarah awal mazhabnya.</div><div style="text-align: justify;"><br />
</div><div style="text-align: justify;">Teologi Ismailiyah pernah menjadi yang terbesar di antara mazhab-mazhab Islam Syi'ah, dan mencapai puncak kekuasaan politiknya pada masa kekuasaan Dinasti Fatimiyah pada abad ke-10 sampai dengan ke-12 Masehi.</div><div style="text-align: justify;">Ajaran Ismailiyah, yang juga dikenal dengan nama mazhab Tujuh Imam, berkembang menjadi sistem kepercayaannya sekarang setelah Imam Muhammad bin Ismail meninggal; atau "menghilang" sebagaimana kepercayaan pengikut Ismailiyah. Ajaran Ismailiyah memiliki ciri penekanan pada aspek batiniah (esoterik) dari agama Islam. Dibandingkan dengan perkembangan ajaran Dua Belas Imam yang pemikirannya berorientasi pada aspek lahiriah (eksoterik), yaitu akhbar dan ushul, maka dapat dikatakan ajaran Syi'ah berkembang ke dua arah yang berbeda: ajaran Ismailiyah yang lebih menekankan kemistisan sifat sang Imam dan kemistisan jalan menuju Allah, dan ajaran Dua Belas Imam yang lebih menekankan pemahaman atas syariah dan sunnah dari Ahlul Bait.</div><div style="text-align: justify;"><br />
</div><div style="text-align: justify;">Meskipun terdapat beberapa kelompok pecahan dalam Ismailiyah, sekarang istilah ini umumnya digunakan untuk menyebut komunitas Nizari. Mereka adalah pengikut dari Aga Khan, yang merupakan kelompok Ismailiyah dengan jumlah penganut terbesar. Di antara kelompok-kelompok yang ada memang terdapat perbedaan dalam hal kebiasaan ibadah lahiriah, akan tetapi umumnya secara teologi spiritual tetap sesuai dengan kepercayaan imam-imam awal Ismailiyah. Kaum penganut Ismailiyah umumnya dapat ditemukan di India, Pakistan, Suriah, Lebanon, Israel, Arab Saudi, Yaman, Tiongkok, Yordania, Uzbekistan, Tajikistan, Afganistan, Afrika Timur, dan Afrika Selatan. Pada beberapa tahun terakhir, sebagian di antara mereka juga beremigrasi ke Eropa, Australia, Selandia Baru</div><div style="text-align: justify;"><br />
</div><div style="text-align: justify;"><b>B. RUMUSAN MASALAH</b></div><div style="text-align: justify;">Setiap mazhab memiliki ajaran-ajaran pokok sebagai pondasi mazhab tersebut. Dengan bergulirnya masa, akan ditemukan beberapa ajaran baru yang berbeda dengan dengan ajaran-ajaran tersebut dari segi kurus dan gemuknya. Sebagai contoh, satu mazhab meyakini bahwa harus ada sistem imamah yang ditentukan oleh pembawa Syari’at sebagai penerus keberlangsungan dakwah Rasulullah SAWW. Ini adalah sebuah ajaran pokok yang harus dimiliki oleh mazhabnya. Akan tetapi, kadang-kadang terjadi perbedaan pendapat di antara para pemeluknya dalam menentukan siapakah yang berhak menjadi imam sebagai penerusnya. Dengan demikian, akan muncul aliran baru yang merupakan cabang dari mazhab itu. Mayoritas agama langit seperti agama Yahudi, Kristen, Majusi dan Islam mengalami realita tersebut di atas. </div><div style="text-align: justify;">Mazhab Syi’ah pun tidak terkecualikan dari realita ini. Pada masa hidupnya Imam Ali a.s., Imam Hasan a.s. dan Imam Husein a.s. tidak terjadi perpecahan dalam tubuh mazhab Syi’ah. Setelah Imam Husein a.s. syahid, mayoritas pengikut Syi’ah menjadikan Imam Ali As-Sajjad a.s. sebagai imam keempat dan kelompok minoritas yang dikenal dengan sebutan “Kaisaniyah” menjadikan putra ketiga Imam Ali a.s. yang bernama Muhammad bin Hanafiah sebagai imam keempat dan mereka meyakini bahwa ia adalah Imam Mahdi a.s. yang ghaib di gunung Ridhawi. Di akhir zaman ia akan muncul kembali.</div><div style="text-align: justify;"><br />
</div><div style="text-align: justify;">Setelah Imam Sajjad a.s. syahid, mayoritas pengikut Syi’ah mengakui Imam Baqir a.s., putranya sebagai imam Syi’ah dan kelompok minoritas meyakini Zaid, putranya yang lain sebagai penggantinya. Kelompok ini akhirnya dikenal dengan nama Syi’ah Zaidiyah. </div><div style="text-align: justify;">Pasca syahadah Imam Baqir a.s., para pengikut Syi’ah menjadikan Imam Ja’far Ash-Shadiq a.s., putranya sebagai imam keenam Syi’ah. Dan setelah Imam Shadiq a.s. syahid, para pengikut Syi’ah terpecah menjadi lima golongan:</div><div style="text-align: justify;">a. Mayoritas pengikut Syi’ah yang meyakini Imam Musa Al-Kazhim a.s., putranya sebagai imam Syi’ah yang ketujuh.</div><div style="text-align: justify;">b. Kelompok kedua menjadikan putra sulungnya yang bernama Ismail sebagai imam Syi’ah yang ketujuh. Kelompok ini akhirnya dikenal dengan nama “Syi’ah Ismailiyah”.</div><div style="text-align: justify;">c. Kelompok ketiga menjadikan putranya yang bernama Abdullah Al-Afthah sebagai imam Syi’ah yang ketujuh. Kelompok ini akhirnya dikenal dengan nama “Syi’ah Fathahiyah”.</div><div style="text-align: justify;">d. Kelompok keempat menjadikan putranya yang bernama Muhammad sebagai imam Syi’ah yang ketujuh.</div><div style="text-align: justify;">e. Kelompok kelima menganggap bahwa Imam Shadiq a.s. adalah imam Syi’ah terakhir dan tidak ada imam lagi sepeningalnya.</div><div style="text-align: justify;">Setelah Imam Musa Al-Kazhim a.s. syahid, mayoritas pengikut Syi’ah meyakini Imam Ridha a.s., putranya sebagai imam Syi’ah yang kedelapan dan kelompok minoritas dari mereka mengingkari imamahnya dan menjadikan Imam Kazhim a.s. sebagai imam Syi’ah terakhir. Kelompok ini akhirnya dikenal dengan nama “Syi’ah Waqifiyah”.</div><div style="text-align: justify;">Setelah Imam Ridha a.s. syahid hingga lahirnya Imam Mahdi a.s., di dalam tubuh Syi’ah tidak terjadi perpecahan yang berarti. Jika terjadi perpecahan pun, itu hanya berlangsung beberapa hari dan setelah itu sirna dengan sendirinya. Seperti peristiwa Ja’far bin Imam Ali Al-Hadi a.s., saudara Imam Hasan Al-Askari a.s. yang mengaku dirinya sebagai imam Syi’ah setelah saudaranya syahid.</div><div style="text-align: justify;">Semua kelompok dan aliran cabang di atas telah sirna dengan bergulirnya masa kecuali tiga aliran yang hingga sekarang masih memiliki pengikut yang tidak sedikit. Tiga aliran Syi’ah tersebut adalah Syi’ah Zaidiyah, Syi’ah Ismailiyah dan Syi’ah Imamiah Itsna ‘Asyariyah.</div><div style="text-align: justify;"><br />
</div><div style="text-align: center;"><b>BAB II</b></div><div style="text-align: center;"><b>PEMBAHASAN</b></div><div style="text-align: justify;"><br />
</div><div style="text-align: justify;"><b>A. SYI’AH ISMAILIYAH</b></div><div style="text-align: justify;">Syi’ah Ismailiyah adalah kelompok Syiah yang terbesar kedua setelah Itsna ‘Asyariyah. Kelompok ini kurang mendapat perhatian bahkan informasi mengenainya tidak luas. Bahkan selama berabad-abad informasi yang benar dan dapat dipercaya untuk para peneliti boleh dikata hampir tidak ada. Penelitian terbaru pada abad dua puluh sangat membantu mengenal Ismailiyah. Kelompok Ismailiyah adalah pendiri negara yang bermazhab Syiah di Afrika Utara. Artikel ini berusaha untuk menjelaskan sejarah Ismailiyah namun, beberapa akidah dan pandangan keagamaan mereka tidak luput juga dari perhatian.</div><div style="text-align: justify;"><br />
</div><div style="text-align: justify;"><b>B. SEJARAH ISMAILIYAH </b></div><div style="text-align: justify;">Terbentuknya kelompok Syiah Ismailiyah lebih dikarenakan perbedaan penetapan pelanjut Imam Ja’far Shadiq as. Pada tahun 148 H/765 M, di kota Kufah sebagian orang-orang Syiah memisahkan dirinya. Pemisahan ini terkait erat dengan perjuangan melawan dinasti Abbasiyah. Ide mereka dibalik perjuangan tersebut adalah keyakinan bahwa pemerintahan yang berdasarkan keadilan hanya dapat dibenarkan bila dilakukan di belakang kepemimpinan Ismail bin Ja’far (anak laki tertua Imam Ja’far Shadiq AS.). Semboyan ini menarik perhatian orang-orang Syiah di Iran, Irak, Syiria, Yaman, Bahrain dan Afrika Utara. Gerakan ini biasa disebut As-Da’wah Al-Hadiyah (Dakwah Hidayah).</div><div style="text-align: justify;"><br />
</div><div style="text-align: justify;"><b>C. ISMAILIYAH DAN ALIRAN-ALIRAN CABANGNYA</b></div><div style="text-align: justify;">1. Bathiniyah</div><div style="text-align: justify;">Imam Shadiq a.s. mempunyai seorang putra sulung yang bernama Ismail. Ia meninggal dunia ketika ayahnya masih hidup. Imam Shadiq a.s. mempersaksikan kepada seluruh khalayak bahwa putranya yang bernama Islma’il telah meninggal dunia. Ia pun telah mengundang gubernur Madinah kala itu untuk menjadi saksi bahwa putranya itu telah meninggal dunia. Meskipun demikian, sebagian orang meyakini bahwa ia tidak meninggal dunia. Ia ghaib dan akan muncul kembali. Ia adalah Imam Mahdi a.s. yang sedang dinanti-nantikan kedatangannya. Mereka meyakini bahwa persaksian Imam Shadiq a.s. di atas hanyalah sebuah taktik yang dilakukannya untuk mengelabuhi Manshur Dawaniqi karena khawatir ia akan membunuhnya. </div><div style="text-align: justify;">Sebagian kelompok meyakini bahwa imamah adalah hak mutlak Ismail yang setelah kematiannya, hak itu berpindah kepada putranya yang bernama Muhammad. Akan tetapi, sebagian kelompok yang lain meyakini bahwa meskipun Ismail telah meninggal dunia ketika ayahnya hidup, ia adalah imam yang harus ditaati. Setelah masanya berlalu, imamah itu berpindah kepada putranya yang bernama Muhammad bin Ismail dan akan diteruskan oleh para anak cucunya. </div><div style="text-align: justify;"><br />
</div><div style="text-align: justify;">Dua kelompok pertama telah punah ditelan masa. Kelompok ketiga hingga sekarang masih memiliki pengikut dan mengalami perpecahan internal juga.</div><div style="text-align: justify;">Secara global, Ismailiyah memiliki ajaran-ajaran filsafat yang mirip dengan filsafat para penyembah bintang dan dicampuri oleh ajaran irfan India. </div><div style="text-align: justify;">Mereka meyakini bahwa setiap hukum Islam memiliki sisi lahiriah dan sisi batiniah. Sisi lahiriah hukum hanya dikhususkan bagi orang-orang awam yang belum berhasil sampai kepada strata spiritual yang tinggi. Oleh karena itu, mereka harus melaksanakan hukum tersebut dengan praktik rutin sehari-hari. Mereka juga meyakini bahwa hujjah Allah ada dua macam : nathiq (berbicara) dan shaamit (diam). Hujjah yang pertama adalah Rasulullah SAWW dan hujjah yang kedua adalah imam sebagai washinya.</div><div style="text-align: justify;"><br />
</div><div style="text-align: justify;">2. Nazzariyah dan Musta’liyah</div><div style="text-align: justify;">Ubaidillah Al-Mahdi berkuasa di benua Afrika (tepatnya di Mesir) pada tahun 296 H. dan ia adalah pendiri dinasti Fathimiyah. Mazhab yang dianutnya adalah Syi’ah Ismailiyah. Setelah ia meninggal dunia, tujuh orang dari keturunannya meneruskan dinastinya tanpa terjadi perpecahan di dalam tubuh mazhab Ismailiyah. Perpecahan di dalam tubuh mazhab Ismailiyah terjadi setelah raja ketujuh dinasti Fathimiyah, Mustanshir Billah Sa’d bin Ali meninggal dunia. Ia memiliki dua orang putra yang masing-masing bernama Nazzar dan Musta’li. Setelah ayah mereka meninggal dunia, terjadi persengketaan di antara kakak dan adik tersebut berkenaan dengan urusan khilafah. Setelah terjadi peperangan di antara mereka yang memakan banyak korban, Musta’li dapat mengalahkan Nazzar. Ia mengangkap Nazzar dan menghukumnya hingga ajal menjemputnya.</div><div style="text-align: justify;">Setelah persengketaan tersebut, dinasti Fathimiyah yang bermazhab Ismailiyah terpecah menjadi dua golongan : Nazzariyah dann Musta’liyah. </div><div style="text-align: justify;"> Nazzariyah adalah para pengikut Hasan Ash-Shabaah, seseorang yang pernah memiliki hubungan dekat dengan Mustanshir Billah. Setelah Mustanshir Billah meninggal dunia, ia diusir dari Mesir oleh Musta’li karena dukungannya terhadap Nazzar. Ia lari ke Iran, dan akhirnya muncul di benteng “Al-Maut” yang berada di sebuah daerah dekat kota Qazvin. Ia berhasil menaklukkan benteng tersebut dan benteng-benteng yang berada di sekitarnya. Kemudian, ia memerintah di situ. Sejak pertama kali memerintah, ia mengajak penduduk sekitar untuk menghidupkan kembali nama baik Nazzar dan mengikuti ajaran-ajarannya. </div><div style="text-align: justify;"><br />
</div><div style="text-align: justify;">Setelah Hasan Ash-Shabaah meninggal dunia pada tahun 518 H., Buzurg Oumid Rudbari menggantikan kedudukannya dan setalah ia meninggal dunia, putranya yang bernama Kiyaa Muhammad mengganti kedudukannya. Keduanya memerintah dengan mengikuti cara dan metode Hasan Ash-Shabaah. Sepeninggal Kiyaa Muhammad, putranya yang bernama Hasan Ali Dzikruhus Salam menggantikan kedudukannya. Ia menghapus semua cara dan ajaran Hasan Ash-Shabaah dan mengikuti ajaran-ajaran aliran Bathiniyah.</div><div style="text-align: justify;"><br />
</div><div style="text-align: justify;"> Musta’liyah adalah para pengikut Musta’li, salah seorang raja dinasti Fathimiyah yang pernah berkuasa di Mesir. Aliran ini akhirnya musnah pada tahun 557 H. Setelah beberapa tahun berlalu, sebuah aliran baru muncul di India yang bernama “Buhreh” (Buhreh adalah bahasa Gujarat yang berarti pedagang) dan meneruskan ajaran-ajaran Musta’liyah yang hingga sekarang masih memiliki pengikut. </div><div style="text-align: justify;">• Duruziyah</div><div style="text-align: justify;">Pada mulanya Duruziyah adalah para pengikut setia para kahlifah dinasti Fathimiyah. Akan tetapi, ketika Khalifah keenam dinasti Fathimiyah memegang tampuk kekuasaan, atas ajakan Neshtegin Duruzi mereka memeluk aliran Bathiniyah. Mereka meyakini bahwa Al-Hakim Billah ghaib dan naik ke atas langit. Ia akan muncul kembali di tengah-tengah masyarakat.</div><div style="text-align: justify;">• Muqanni’iyah</div><div style="text-align: justify;">Pada mulanya Muqanni’iyah adalah pengikut ‘Atha` Al-Marvi yang lebih dikenal dengan sebutan Muqanni’.Ia adalah salah seorang pengikut Abu Muslim Al-Khurasani. Setelah Abu Muslim meninggal dunia, ia mengaku bahwa ruhnya menjelma dalam dirinya. Tidak lama setelah itu, ia mengaku nabi dan kemudian mengaku dirinya Tuhan. Pada tahun 163 H., ia dikepung di benteng Kish yang berada di salah satu negara-negara Maa Wara`annahr. Karena yakin dirinya akan tertangkap dan akhirnya terbunuh, ia menyalakan api unggun lalu terjun ke dalamnya bersama beberapa orang pengikutnya. Para pengikutnya akhirnya menganut mazhab Ismailiyah yang beraliran faham Bathiniyah.<br />
</div><div style="text-align: justify;"><b>D. NAMA PARA IMAM ISMAILIYAH :</b></div><div style="text-align: justify;">Ja’far bin Muhammad Shadiq (83-148 H)</div><div style="text-align: justify;">Ismail bin Ja’far (101-159 H)</div><div style="text-align: justify;">Muhammad bin Ismail (dikenal dengan nama Maimun qaddah) (141-192 H)</div><div style="text-align: justify;">Abdulah bin Muhammad (179-212 H)</div><div style="text-align: justify;">Ahmad bin Abdulah (198-265 H)</div><div style="text-align: justify;">Husein bin Ahad (219-287 H)</div><div style="text-align: justify;">Muhammad bin Husein (Ubaidulah Al-Mahdi) (260-323 H)</div><div style="text-align: justify;">Muhammad Al-Qaim bi Amrilah (280-334 H)</div><div style="text-align: justify;">Al-Manshur bi Alah (303-343 H)</div><div style="text-align: justify;">Mu’izzun li Dinilah (317-365 H)</div><div style="text-align: justify;">‘Azizun bi Alah (344-486 H)</div><div style="text-align: justify;">Al-Hakim bi Alah (386-411 H)</div><div style="text-align: justify;">Al-Zhahir li ‘Izaz Dinilah (411-428 H)</div><div style="text-align: justify;">Al-Mustanshir bi Alah, ia selama enam puluh tahun memerintah (427-487 H)</div><div style="text-align: justify;"><br />
</div><div style="text-align: justify;">Periode Ismailiyah Pertama Dapat Dipetakan Menjadi 3 Bagian (Menurut Henry Corben). Ketiga Periode Itu Sebagai Berikut :</div><div style="text-align: justify;">1. Periode Pembentukan</div><div style="text-align: justify;">Periode pembentukan adalah periode pertama. Periode ini dimulai dari meninggalnya Imam Shadiq AS. Periode ini berlanjut hingga Muhammad bin Ismail menyembunyikan dirinya. Pada masa ini persangkaan menyembunyikan segalanya. Hal ini lebih dikarenakan Kelompok Itsna ‘Asyariyah dan Ismailiyah sebagai dua kelompok asli Syiah sedang dalam pembentukan. Di sisi lain, pemerintahan Bani Abbasiyah tidak setuju dengan mereka. Pengejaran dan siksaan dilakukan untuk mengontrol mereka. Kondisi ini membuat mereka memilih bersembunyi. Sejumlah karya-karya yang mereka hasilkan sangat sedikit karena kondisi sa yang sulit dan akidah mereka lebih sering disampaikan dari mulut ke mulut bukan dengan tulisan.</div><div style="text-align: justify;"><br />
</div><div style="text-align: justify;">2. Periode Tertutup</div><div style="text-align: justify;">Periode ini dimulai setelah Muhammad bin Ismail menjadi Imam Ismailiyah hingga terbentuknya pemerintahan Ismailiyah di Maroko. Kecintaan dan penghormatan masyarakat Madinah kepada Imam Kazhim AS. membuat pengaruh Muhammad bin Ismailiyah berkurang. Keadaan ini membuat pengikut Muhammad bin Ismail melakukan eksodus ke Irak dan Iran. Di sana mereka memulai kehidupan tertutup. Untuk memberi petunjuk kepada para pengikutnya di manapun berada dikirimkan penyeru (Da’i). Tidak ketinggalan anak keturunannya pergi ke Salmaniyah sebuah kota di Syiria. Kehidupan tertutup pun dilakoni di sana. Hubungan dengan masyarakat Ismailiyah dilakukan lewat penyeru mereka.</div><div style="text-align: justify;"><br />
</div><div style="text-align: justify;">3. Periode Kemunculan</div><div style="text-align: justify;">Setelah terbentuknya pemerintahan Ismailiyah di Maroko, pemerintahan Fathimiyyun, para Imam Ismailiyah tidak lagi bersembunyi. Secara terbuka mereka mendakwahkan ajarannya. Pada masa-masa inilah pemikiran Syiah Ismailiyah dibukukan.</div><div style="text-align: justify;"><br />
</div><div style="text-align: justify;">Ismailiyah Fathimiyah (Fathimiyyun)</div><div style="text-align: justify;">Periode Ismailiyah Fathimiyyun dimulai dari tahun 297 H (909 M), yang ditandai dengan kekhalifahan Ubaidilah Al-Mahdi dilanjutkan sampai delapan khalifah setelahnya hingga tahun 487 H (1094 M). Para khalifah Fathimiyyun sebagaimana telah disebutkan di atas adalah sebagai berikut : Ubaidilah Al-Mahdi, Al-Qa’im bi Amrilah, Al-Manshur bi Alah, Mu’izzun li Dinilah, ‘Azizun bi Alah, Al-Hakim Bi Alah, Az-Zhahir li ‘Izazidinilah dan yang terakhir Al-Mustanshir bi Alah. Mereka memerintah selama 185 tahun. Selama 185 tahun ini dapat dikatakan sebagai masa keemasan Ismailiyah. Sastra Ismailiyah juga berkembang dengan pesat. Ilmuwan-ilmuwan seperti Abu Hatim, Ar-Razi, Nashir Khasru dan lain-lain hidup di masa keemasan ini. luas kekuasaan pemerintahan mereka dimulai dari Maroko hingga Mesir. Setelahnya, sebagian besar daerah-daerah kekuasaan pemerintahan Islam dikuasainya. Masiniun bahkan menamakan abad keempat hijriah (abad kesepuluh masehi) sebagai abad Ismailiyah Islam.</div><div style="text-align: justify;"><br />
</div><div style="text-align: justify;">Periode Fathimiyyun dapat dibagi menjadi dua bagian :</div><div style="text-align: justify;">1. Periode Awal</div><div style="text-align: justify;">Periode ini selama 65 tahun. Dimulai dari tahun 297 hingga 362. Periode ini dihitung mulai dari Ubaidilah Al-Mahdi menjadi khalifah di Maroko sampai ekspansi mereka ke Mesir oleh Al-Mu’izzu bi Alah sekaligus dijadikannya Mesir sebagai ibu kotanya.</div><div style="text-align: justify;"><br />
</div><div style="text-align: justify;">Pada tahun 290 ketika Zakarawiyah bin Mahriyah melakukan pemberontakan dan menguasai banyak daerah, Ubaidilah Al-Mahdi kemudian lari ke Salmaniiyah Di Syiria. Dari Salmiyah ia pergi ke Ramulah Palestina. Dari Ramulah ia kemudian pergi ke Mesir. Di Mesir ia baru mengetahui kalau kelompok Qaramithah banyak membunuh masyarakat Salmaniyah. Oleh sebab itu, dari pada memilih Yaman ia kemudian pergi menuju Maroko. Di Maroko ia membangun sebuah kerajaan kecil. Pada akhirnya, setelah melakukan peperangan-peperangan pada bulan Rabi’u At-Tsani tahun 297 di kota Raqqadah ia menjadi khalifah. Setelah menjadi khalifah ia memilih sebutan ‘Al-Mahdi bi Alah’ dan ‘Amirul Mukminin’. Dikarenakan nama Sayyidah Fathimah, putri Rasululah, di mana Ubaidilah dan pengganti setelahnya menganggap Fathimah sebagai nenek mereka (hal ini juga dikarenakan keyakinan mereka bahwa Mahdi adalah keturunan Fathimah). Ia juga memberi gelar dirinya dengan ‘Fathimiyah’. Dengan menyebut dirinya sebagai Imam, dimulailah periode keterbukaan. Untuk menyebarkan pemikiran Syiah mereka berkeyakinan bahwa yang paling pokok untuk dilakukan adalah menghancurkan pemerintahan Bani Abbasiyah. Dan itu harus dimulai dari Mesir. Namun, mereka tidak pernah menguasai Mesir akan tetapi, Ubaidilah dengan membangun kota Mahdiyah dan ekspansinya ke Selatan Eropa yang menghasilkan rampasan perang yang banyak membuat ia mampu membangun imperiumnya yang kokoh.</div><div style="text-align: justify;"><br />
</div><div style="text-align: justify;">2. Periode Perkembangan</div><div style="text-align: justify;">Periode ini berlangsung selama 125 tahun dan dimulai dari tahun 362 hingga 487 H. Periode ini dikenal dengan masa keemasan Syiah Ismailiyah. Pemerintahan yang dibangun sangat tangguh. Hal ini membuat mereka menulis dan membenahi akidah mereka yang selama ini disebarkan secara sembunyi-sembunyi. Al-Mu’izzu bi Alah dengan menguasai Mesir dan dengan dibantu oleh perdana menterinya Jauhar bin Abdilah pada tahun 358 menjadikan Kairo sebagai pusat pemerintahannya. Pada tahun 359 mereka membangun universitas Islam Al-Azhar. Pada tahun 361 secara resmi pemerintahannya dipindah dari Maroko ke Mesir. Al-Mu’izzu bi Alah berusaha keras untuk menyatukan semua daerah Islam. Dan itu dimulai dengan memperbaharui pondasi pemikiran keagaman dan keinginannya adalah kembali kepada pemikiran orang-orang sebelumnya. Setelah Al-Mu’izzu bi Alah wafat, ia digantikan oleh anaknya Abu Manshur Ranzar yang dikenal sebagai Al-‘Azizu bi Alah. Semasa pemerintahannya Al-‘Azizu bi Alah banyak memanfaatkan orang-orang Yahudi dan Masehi. Ia sangat menunjukkan sikap toleransinya dengan agama lain. Pada perayaan ‘Asyura dan Hadir ia mengadakannya secara besar-besaran. Menurut sumber-sumber sejarah Al-‘Azizu bi Alah dianggap sebagai khalifah Fathimiyyun yang memiliki wawasan keilmuan paling luas dibandingkan dengan yang selainnya.</div><div style="text-align: justify;"><br />
</div><div style="text-align: justify;">Sepeninggal Al-‘Azizu bi Alah, Abu Ali Manshur anaknya memegang tampuk kepemimpinan. Ia bergelar Al-Hakim Bi Alah. Ia berkuasa dari tahun 386 hingga 411. Al-Hakim berbeda dengan ayahnya dalam memerintah berkaitan dengan orang Yahudi dan Masehi. Bahkan dengan Ahli Sunnah pun ia bersikap keras Ia bahkan sempat memerintahkan untuk melaknat khulafa Ar-Rasyidin (tanpa Imam Ali AS. tentunya). Usahanya ini untuk menarik hati kaum Syiah lainnya.</div><div style="text-align: justify;"><br />
</div><div style="text-align: justify;">Al-Hakim pada tahun 403 memilih menjadi seorang zahid. Ia melarang orang-orang bersujud kepadanya. Ia senantiasa memakai baju para zahid. Setiap malam ia pergi ke Fustat dan Kairo. Pada tahun 411 dalam sebuah perjalanan yang dilakukannya ia tidak pernah pulang. Setelah itu anaknya Abul Hasan Ali menjadi khalifah dengan gelar Az-Zhahir li ‘Izazidinilah.</div><div style="text-align: justify;"><br />
</div><div style="text-align: justify;">Abu Tanin anak Az-Zhahir menjadi khalifah menggantikan ayahnya. Ia bergelar Al-Mustanshir bi Alah. Ketika menjadi khalifah umurnya baru tujuh tahun. lama masa pemerintahannya 60 tahun. Ia juga adalah akhir khalifah dari dinasti Fathimiyyun. Mengingat ia menjadi khalifah pada umur tujuh tahun kekuasaan yang sebenarnya dipegang oleh menteri-menterinya. Pengaruh mereka membawa dampak yang buruk. Pemerintah menjadi sangat rasialis, partai-partai oposisi semakin banyak bahkan roda pemerintahan dilandaskan kolusi. Kenyataan ini sangat melemahkan pasukan Al-Mustanshir. Nashir Ad-Daulah kemudian menguasai Mesir. Bahkan Ketika di Mesir khutbah yang dibacakan atas nama kekhalifahan bani Abbasiyah. Mesir mengalami masa paceklik yang parah dari tahun 457 hingga 462. Al-Mustanshir untuk kedua kalinya menjadi khalifah menggulingkan Nashir Ad-Daulah dengan bantuan Badr Al-Jamali. Setelah itu ia membangun kembali ekonomi Mesir. Semua penentangnya dibunuh dan setelah itu Badr Al-Jamali dijadikannya sebagai perdana menterinya. Dua puluh tahun masa akhir dari pemerintahannya sangat menyenangkan masyarakat Mesir. Untuk kedua kalinya mesir dikuasai oleh dinasti Fathimiyyun. Setiap khutbah yang dibacakan atas nama Al-Maustanshir. Serbuan tentara Mongol ke Iran, Irak dan Syiria membuat kekuasaan fathimiyyun atas daerah-daerah ini terputus.</div><div style="text-align: justify;"><br />
</div><div style="text-align: justify;">Pada tahun 487 Al-Muatanshir wafat. Perselisihan muncul dalam penentuan siapa yang akan menjadi khalifah di antara kedua anaknya Nizar dan Musta’la. Perselisihan yang cukup sengit ini menyebabkan pecahnya Fathimiyyun menjadi dua kelompok besar, Nizariyah dan Musta’lawiyah. Perpecahan ini juga sebagai akhir dari kekuasaan dinasti Fathimiyyun.</div><div style="text-align: justify;"><br />
</div><div style="text-align: justify;">Ismailiyah Musta’lawi (Musta’lawiyah)</div><div style="text-align: justify;">Musta’lawiyah adalah kelompok Ismailiyah yang mengikuti Musta’la bi Alah sepeninggal ayahnya Al-Mustanshir. Dan sepeninggal Musta’la mereka adalah pengikut Amir. Sepeninggal Amir kelompok Musta’lawiyah ini terbagi lagi menjadi dua kelompok. Pertama, Al-Hafizhiyah orang-orang yang mengikuti Hafiz anak paman Amir yang juga kemudian terkenal dengan Al-Majidiyah. Pada tahun 567 berbarengan dengan musnahnya dinasti Fathimiyyun kelompok inipun musnah. Kedua, At-Thibiyah adalah orang-orang yang mengikuti cucu Amir yang namanya At-Thib. Kelompok ini sesuai dengan perjalanan waktu di ikuti oleh masyarakat Buhrah Gujarat India. At-Thibiyah juga terbagi menjadi dua kelompok. Pertama, At-Thibiyah periode Yaman yang pada abad kesepuluh Hijriah terbagi menjadi dua kelompok; Ad-Dawudiyah di India dan Sulaimaniyah di Yaman. Kedua, At-Thibiyah periode India yang dimulai dari abad kesepuluh Hijriah.</div><div style="text-align: justify;">Ismailiyah Nizariyah yang pada tahun 487 karena meninggalnya Al-Mustanshir berselisih masalah kekhilafahan dengan Musta’lawiyah. Pengikut mereka banyak dari orang-orang Iran dan Syiria. Kelompok Nizariyah juga memiliki dua periode.</div><div style="text-align: justify;"><br />
</div><div style="text-align: justify;">Ismailiyah Nizariyah pada periode Alamut (483-654)</div><div style="text-align: justify;">Pemerintahan Nizari yang berada di Iran dipimpin oleh Hassan Sabah dan tujuh khalifah sepeninggalnya (mereka dikenal dengan penguasa-penguasa Alamut). Tujuan Hassan Sabah dengan mendirikan pemerintahan Nizari untuk berhadap-hadapan dengan pemerintahan Saljuqi. Sementara pemerintahan Fathimiyyun di Mesir di bawah perdana menteri Badr Al-Jamali tidak mampu membela pengikut Ismailiyah kawasan timur.</div><div style="text-align: justify;"><br />
</div><div style="text-align: justify;">Ismailiyah Periode Alamut Dapat Dibagi Menjadi Tiga Bagian :</div><div style="text-align: justify;">1. Dari tahun 483-557 pembentukan negara Ismailiyah Nizari oleh Hassan Sabah (W. 518) dan dilanjutkan oleh Hassan Sabah sendiri dengan menguatkan kekuatannya yang diteruskan oleh dua penggantinya, Kiya Buzurg Unik (W. 532) dan Muhammad bin Buzurg Unik (w. 557).</div><div style="text-align: justify;"><br />
</div><div style="text-align: justify;">2. Dari tahun 557-607. Khalifah keempat dan kelima pemerintahan Alamut di samping mengaku sebagai Imam mereka juga melakukan aktivitas politiknya sebagai simbol. Keduanya adalah Hassan kedua (W. 561) dan anaknya ‘Ala Nuruddin Muhammad kedua yang berkuasa selama 44 tahun hingga tahun 607.</div><div style="text-align: justify;">3. Dari tahun 607-654 dengan tetap berusaha menjaga ajaran aslinya mereka melakukan pendekatan dengan Ahli Sunnah. Masalah pendekatan ini semasa dengan tiga khalifah Nizariyah terakhir; Jalaluddin Hassan (Hassan ketiga) (W. 618), “Alauddin Muhammad ketiga (W. 653) dan Khur Shah (W. 654).</div><div style="text-align: justify;"><br />
</div><div style="text-align: justify;">Ismailiyah Nizariyah setelah periode Alamut</div><div style="text-align: justify;">Setelah penyerangan tentara Mongol banyak sekali orang-orang pengikut Ismailiyah yang terbunuh namun pengganti Khur Shah berhasil disembunyikan dan selamat. Mereka yang selamat benar-benar melakukan taqiyyah untuk dapat mempertahankan hidupnya. Selama dua tahun mereka tidak pernah melakukan hubungan dengan Imam mereka. Pelaksanaan taqiyyah yang berkepanjangan ini mengambil bentuk yang beragam yang dampaknya sangat merugikan karena banyak tradisi bahkan identitas keagamaan mereka yang benar-benar terlupakan.</div><div style="text-align: justify;"><br />
</div><div style="text-align: center;"><b>BAB III</b></div><div style="text-align: center;"><b>PENUTUP</b></div><div style="text-align: justify;"><br />
</div><div style="text-align: justify;"><b>A. KESIMPULAN</b></div><div style="text-align: justify;">Syiah Isma’iliyyah merupakan salah satu sekte Syi’ah yang banyak menyimpang dari ajaran Islam. Dia adalah sekte yang dinisbahkan kepada Imam Isma’il ibn Ja’far al-Shadiq, yang wafat pada tahun 143 H., bertepatan dengan tahun 765 M. Sekte ini berbeda dengan sekte Itsna’ Asyariah, yang berkeyakinan bahwa Ja’far al-Shadiq, Imam keenam, telah memberikan imamah kepada anaknya, Musa al-Kazim, kemudian selanjutnya kepada keturunannya.</div><div style="text-align: justify;"><br />
</div><div style="text-align: justify;">Menurut Syiah Isma’iliyyah, hal itu dilakukannya karena di dalam riwayat dikatakan bahwa Isma’il, kakak Musa al-Kazim, adalah seorang pemabuk berat. Tidaklah masuk akal, jika Ja’far al-Shadiq yang dikenal taqwa, alim serta wara’, memberikan wasiat kepada anaknya yang pemabuk. Namun demikian, pengikut Isma’il menolak keputusan Ja’far tersebut, dengan alasan bahwa Isma’il adalah seorang yang ma’sh¬m (terbebas dari kesalahan dan dosa) sekalipun dia pemabuk berat. Kesenangannya meminum minuman keras adalah atas sepengetahuan Allah. Atas dasar inilah, mereka mengakuinya sebagai imam, dan sebaliknya seringkali imamah saudaranya, Musa al-Kazim.</div><div style="text-align: justify;"><br />
</div><div style="text-align: justify;">Isma’il adalah anak sulung Ja’far al-Shadiq yang dikatakan telah meninggal terlebih dahulu dari pada ayahnya. Tentang berita tersebut, di kalangan Syiah Isma’iliyyah sendiri terjadi perbedaan tersebut, di kalangan Isma’iliyah sendiri terjadi perbedaan pendapat. Ada yang mengatakan bahwa dia benar-benar telah minggal sebelum ayahnya, ada juga yang beranggapan bahwa sebenarnya dia masih hidup sampai ayahnya wafat, namun sengaja dikabarkan telah meninggal guna untuk menjaga keselamatannya dari penganiayaan penguasa Bani Abbas. Bahkan mereka beranggapan bahwa Isma’il tidak meninggal, melainkan sekedar bersembunyi dan akan muncul kembali sebagai al-Mahdi yang dijanjikan.</div><div style="text-align: justify;"><br />
</div><div style="text-align: justify;">Akibat dari perbedaan pendapat itu di kalangan mereka mengenai maaslah kematian Isma’il, maka sekte Isma’iliyah ini terpecah lagi ke dalam dua sub sekte lagi, yakni:</div><div style="text-align: justify;">1. Qaramitha, yang dinisbahkan kepada Hamdan ibn Qatmath yang terbentuk menjelang akhir abad ketiga hijriah. Kelompok ini terbetuk karena menghentikan imamah pada diri Muhammad ibn Isma’il. Mereka berpendapat bahwa Isma’il benar-benar telah meninggal dan digantikan oleh putranya, Muhammad ibn Isma’il, yang menghilang dan akan muncul kembali sebagai al-Mahdi yang dijanjikan. Karena mereka hanya mengakui tujuh imam, maka mereka juga dikenal dengan nama Syi’ah Sa’iyah.</div><div style="text-align: justify;">2. Druz atau Hakimiy, yang masih mengakui terus imamah anak-anak dan keturunan Muhammad ibn Isma’il (Imam ketujuh mereka). Mereka berkeyakinan bahwa walaupun Isma’il betul telah meninggal di masa hidup ayahnya, namun dia tetap sebagai imam yang sah, kemudian imamahnya itu berpindah kepada anaknya, Muhammad ibn Isma’il, dan keturunannya. Tokoh yang mendirikan sub sekte ini adalah al-Hasan ibn Muhammad al-Shabbah, yang mulai ajarannya pada tahun 483 H. Kemudian, dia pindah ke Mesir pada masa kekuasaan Dinasti Fatimiyah, yang didirikan oleh salah seorang keturunan Muhammad ibn Isma’il, yakni Ubaidillah al-Mahdiy. </div><div style="text-align: justify;">Dalam perkembangan selanjutnya, golongan inipun terpecah lagi menjadi dua kelompok, sebagai akibat perselisihan mereka dalam masalah imamah. Selama tujuh generasi, imamah Dinasti Fatimiyah di Mesir ini berlangsung dengan mulus tanpa ada pertentangan. Namun, setelah imam ketuju, al-Muntashir Billah, putra-putranya. Nazir dan Musta’liy, mempertengkarkan masalah imamah. Setelah terjadi pertempuran, Musta’liy menang dan menangkap kakaknya. Nazir, untuk selanjutnya dipenjarakan hingga wafat.</div><div style="text-align: justify;">Setelah peristiwa ini, maka mereka terpecah menjadi dua kelompok lagi, yakni kelompok Naziriyah yang merupakan pengikut al-Hasan ibn Muhammad al-Shabbah, Kelompok lainnya adalah pengikut Musta’liy yang dikenal dengan nama kelompok Musta’liyah. Imamah mereka berlangsung selama kekuasaan Dinasti Fatimiyah di Mesir sampai berakhir tahun 567 H./1171 M. Pengikut kelompok ini masih ada sampai sekarang di India dan Yaman.</div><div style="text-align: justify;"><br />
</div><div style="text-align: justify;">Ismailiyah Disebut juga Tujuh Imam; dinamakan demikian sebab mereka percaya bahwa imam hanya tujuh orang dari ‘Ali bin Abi Thalib, dan mereka percaya bahwa imam ketujuh ialah Isma’il. Urutan imam mereka yaitu:</div><div style="text-align: justify;">1. Ali bin Abi Thalib (600–661), juga dikenal dengan Amirul Mukminin</div><div style="text-align: justify;">2. Hasan bin Ali (625–669), juga dikenal dengan Hasan al-Mujtaba</div><div style="text-align: justify;">3. Husain bin Ali (626–680), juga dikenal dengan Husain asy-Syahid</div><div style="text-align: justify;">4. Ali bin Husain (658–713), juga dikenal dengan Ali Zainal Abidin</div><div style="text-align: justify;">5. Muhammad bin Ali (676–743), juga dikenal dengan Muhammad al-Baqir</div><div style="text-align: justify;">6. Ja’far bin Muhammad bin Ali (703–765), juga dikenal dengan Ja’far ash-Shadiq</div><div style="text-align: justify;">7. Ismail bin Ja’far (721 – 755), adalah anak pertama Ja’far ash-Shadiq dan kakak Musa al-Kadzim.</div><div style="text-align: justify;"><br />
</div><div style="text-align: justify;"><b>B. SARAN</b></div><div style="text-align: justify;">1. Kapada para pembaca yang ingin Mengetahui tentang aliran syi’ah utamanya syi’ah ismailiyah, maka perbanyaklah membaca buku-buku sejarah yang berkaitan dengan syi’ah ismailiyah tersebut</div><div style="text-align: justify;">2. Kepada Dosen pengampu dalam mata kuliah “Ilmu Kalam” apabila ada kesalahan mohon bimbingan untuk kesempurnaan dalam pembuatan makalah selanjutnya</div><div style="text-align: justify;">3. Dalam penyunan makalah ini kami menyadari bahwa masih banyak terdapat kekurangan dan kesalahan, untuk itu kami sangat mengharapkan kritik dan saran yang membangun dari para pembaca sekaligus demi tercapainya kesempurnaa dalam makalah ini.</div><div style="text-align: justify;"><br />
</div><div style="text-align: justify;"><br />
</div><div style="text-align: justify;"><br />
</div><div style="text-align: justify;"><b>DAFTAR PUSTAKA</b></div><div style="text-align: justify;"><br />
</div><div style="text-align: justify;">Tarekh va ‘Aghayed-e Esma’iliyah, Farhad Daftari, tarjumeh Feridun Badreh-i.</div><div style="text-align: justify;"><br />
</div><div style="text-align: justify;">Esma’iliyah va Gharameteh dar Tarekh, ‘Aref Tamer, tarjumeh Hamira Zamurrudi.</div><div style="text-align: justify;"><br />
</div><div style="text-align: justify;">Tarikh Ad-Da’wah Al-Isma’iliyah, Musthafa Ghalib.</div><div style="text-align: justify;"><br />
</div><div style="text-align: justify;">Al-Isma’iliyah bina Al-Haqaiq wa Al-Abathil, Hasyim ‘Utsman.</div>Unknownnoreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-6058205351850084286.post-88523090719461285202012-04-09T02:26:00.002-07:002012-04-09T02:30:05.610-07:00Syiah Ismailiyah<h1 align="center" style="line-height: normal; text-align: center;"><span style="color: windowtext; font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12pt;"> </span></h1><h1 align="center" style="margin-left: 0cm; text-align: center; text-indent: 0cm;"><b style="mso-bidi-font-weight: normal;"><span style="color: windowtext; font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 26pt; line-height: 150%;">MAKALAH</span></b></h1><h1 align="center" style="margin-left: 0cm; text-align: center; text-indent: 0cm;"><b style="mso-bidi-font-weight: normal;"><span style="color: windowtext; font-family: "Times New Roman","serif"; line-height: 150%;">ILMU KALAM</span></b></h1><h1 align="center" style="margin-left: 0cm; text-align: center; text-indent: 0cm;"><b style="mso-bidi-font-weight: normal;"><span style="color: windowtext; font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12pt; line-height: 150%;">ALIRAN SYI’AH ISMA’ILIYAH</span></b></h1><h1 align="center" style="margin-left: 0cm; text-align: center; text-indent: 0cm;"><span style="color: windowtext; font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12pt; line-height: 150%;">Diajukan Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah</span></h1><div align="center" class="MsoBodyTextIndent3" style="margin-left: 0cm; text-align: center;"><br />
</div><div align="center" class="MsoBodyTextIndent3" style="margin-left: 0cm; text-align: center;"><br />
</div><div align="center" class="MsoBodyTextIndent3" style="margin-left: 0cm; text-align: center;"><br />
</div><div align="center" class="MsoBodyTextIndent3" style="margin-left: 0cm; text-align: center;"><br />
</div><div align="center" class="MsoBodyTextIndent3" style="line-height: normal; margin-left: 0cm; text-align: center; text-indent: 0cm;"><b><span lang="X-NONE" style="font-size: 12pt;">Oleh : Kelompok </span></b><b><span style="font-size: 12pt;">1</span></b></div><div class="MsoBodyTextIndent3" style="line-height: normal; margin-bottom: .0001pt; margin-bottom: 0cm; margin-left: 219.75pt; margin-right: 0cm; margin-top: 0cm; mso-list: l0 level1 lfo1; tab-stops: 0cm; text-indent: -18.0pt;"><b><span lang="X-NONE" style="font-size: 12pt;">1.<span style="font: 7pt "Times New Roman";"> </span></span></b><span dir="LTR"></span><b><span lang="X-NONE" style="font-size: 12pt;">Marsudi</span></b></div><div class="MsoBodyTextIndent3" style="line-height: normal; margin-bottom: .0001pt; margin-bottom: 0cm; margin-left: 219.75pt; margin-right: 0cm; margin-top: 0cm; mso-list: l0 level1 lfo1; tab-stops: 0cm; text-indent: -18.0pt;"><b><span lang="X-NONE" style="font-size: 12pt;">2.<span style="font: 7pt "Times New Roman";"> </span></span></b><span dir="LTR"></span><b><span style="font-size: 12pt;">Abd. Aziz</span></b><b><span lang="X-NONE" style="font-size: 12pt;"></span></b></div><div class="MsoBodyTextIndent3" style="line-height: normal; margin-bottom: .0001pt; margin-bottom: 0cm; margin-left: 219.75pt; margin-right: 0cm; margin-top: 0cm; mso-list: l0 level1 lfo1; tab-stops: 0cm; text-indent: -18.0pt;"><b><span lang="X-NONE" style="font-size: 12pt;">3.<span style="font: 7pt "Times New Roman";"> </span></span></b><span dir="LTR"></span><b><span style="font-size: 12pt;">Muniri</span></b><b><span lang="X-NONE" style="font-size: 12pt;"></span></b></div><div class="MsoBodyTextIndent3" style="line-height: normal; margin-bottom: .0001pt; margin-bottom: 0cm; margin-left: 219.75pt; margin-right: 0cm; margin-top: 0cm; mso-list: l0 level1 lfo1; tab-stops: 0cm; text-indent: -18.0pt;"><b><span lang="X-NONE" style="font-size: 12pt;">4.<span style="font: 7pt "Times New Roman";"> </span></span></b><span dir="LTR"></span><b><span style="font-size: 12pt;">Supandi</span></b><b><span lang="X-NONE" style="font-size: 12pt;"></span></b></div><div class="MsoBodyTextIndent3" style="line-height: normal; margin-left: 180.0pt;"><br />
</div><div class="MsoBodyTextIndent3" style="line-height: normal; margin-left: 180.0pt;"><br />
</div><div align="center" class="MsoBodyTextIndent3" style="line-height: normal; margin-left: 0cm; text-align: center; text-indent: 0cm;"><b><span lang="X-NONE" style="font-size: 12pt;">Dosen Peng</span></b><b><span style="font-size: 12pt;">ampu</span></b><b><span lang="X-NONE" style="font-size: 12pt;"> : </span></b><b><span style="font-size: 12pt;">Irdon Sahil, Lc</span></b></div><div align="center" class="MsoBodyTextIndent3" style="margin-left: 0cm; text-align: center;"><br />
</div><div align="center" class="MsoBodyTextIndent3" style="margin-left: 0cm; text-align: center;"><br />
</div><div align="center" class="MsoBodyTextIndent3" style="line-height: normal; margin-left: 0cm; text-align: center; text-indent: 0cm;"><b><span lang="X-NONE" style="font-size: 14pt;">SEKOLAH TINGGI ILMU TARBIYAH AL-IBROHIMI</span></b></div><div align="center" class="MsoBodyTextIndent3" style="line-height: normal; margin-left: 0cm; text-align: center; text-indent: 0cm;"><b><span lang="X-NONE" style="font-size: 16pt;">( S T I T A L )</span></b></div><div align="center" class="MsoBodyTextIndent3" style="line-height: normal; margin-left: 0cm; text-align: center; text-indent: 0cm;"><b><span lang="X-NONE" style="font-size: 14pt;">TANJUNGBUMI, BANGKALAN</span></b></div><div align="center" class="MsoBodyTextIndent3" style="line-height: normal; margin-left: 0cm; text-align: center; text-indent: 0cm;"><b><span lang="X-NONE" style="font-size: 14pt;">2012</span></b><br />
<br />
<b><span lang="X-NONE" style="font-size: 14pt;"><a href="http://alhidayah-online.blogspot.com/2012/04/syiah-ismailiyah-bab-1-3.html">Bab I -III</a></span></b></div>Unknownnoreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-6058205351850084286.post-91824874657819307182012-04-09T01:48:00.000-07:002012-04-09T02:28:02.705-07:00ILMU KALAMA. DASAR-DASAR QUR’AN DAN SEJARAH TIMBULNYA ILMU KALAM<br />
1. Pengertian Ilmu Kalam<br />
a) Menurut syekh Muhammad Abdul (1849-1905) Ilmu Tauhid juga disebut Ilmu Kalam yang membahas tentang wujud Allah dan sifat-sifatnya, dan juga membahas tentang rasul-rasul Allah untuk menetapkan risalahnya dan sifat-sifatnya.<br />
b) Sayiid Husen Afandl Al-Jisr At Tarabulisie (1845-1909) menerangkan bahwa ilmu Tauhid ialah ilmu yang membahas tentang menetapkan kepercayaan agama dengan dalil-dalil yang meyakinkan kepercayaan agama dengan dalil-dalil yang meyakinkan engetahui sifat-sifat Allah Ta’ala dan Rasul–rasulnya dengan bukti-bukti yang pasti.<br />
<br />
<br />
a) Ibnu Khaldun (1333-1406) menerangkan bahwa ilmu kalam ialah ilmu yang berisi alasan mempertahankan kepercayaan iman dengan menggunakan dan pikiran dan berisi bantahan terhadap orang menyeleng dari kepercayaan salat dan ahli sunnah.<br />
Ilmu kalam dikenal sebagai ilmu keislaman yang berdiri sendiri yakni pada masa kalifah Al-Ma’mun (813-833) dari bani Abbasiyah, sebelum itu pembahasan terhadap kepercayaan islam di sebut Al-Fiqhu Fiddin sebagai lawan dari Al-Fidu Fil Ilmi . ilmu ini kadang-kadang juga disebut: ilmu tauhid, ilmu usuluddin dan ilmu aqidah atau aqo’id.<br />
1. Pertumbuhan dan perkembangan ilmu Tauhid ini telah melalui beberapa phase yaitu:<br />
a) Phase Rasulullah Saw<br />
b) Phase Bani Umayah<br />
c) Phase Sesudah Bani Abbas<br />
d) Phase Khulafa Rasyidin<br />
e) Phase Bani’Abbas<br />
Yang melatar belakangi keberadaan Tauhid sebagai ilmu yang berdiri sendiri sebenarnya banyak sekali faktor yang mendorong kehadiran Tauhid namun jika di kaji secara keseluruhan dapat dikelompokkan menjadi dua faktor yaitu:<br />
a. Faktor intern masalah Al-Quran, filsafat, dan politik<br />
b. Faktor ekstern ialah faktor yang datang dari luar islam<br />
Antara lain ialah pola pikir ajaran agama lain yang dibawa oleh orang tertentu termasuk umat islam yang dahulunya menganut agama lain kedalam ajaran islam.<br />
<br />
A. Kerangka Berpikir Aliran-Aliran Ilmu Kalam<br />
Kaum khawarij pecah menjadi beberapa sekte konsep kafir turut pula mengalami perubahan yang dipandang kafir bukan lagi hanya orang yang tidak menentukan hukum dengan al-Qur’an, tetapi orang yang berbuat dosa besar yaitu murtakib al-kaba’ir atau capital sinners juga dipandang kafir.<br />
Persoalan ni menimbulkan tiga aliran teologi dalam islam:<br />
1. Aliran khawarij<br />
2. Aliran murji’ah<br />
3. Kaum mu’tazilah<br />
Dalam pada itu timbul pula dalam kislam dua aliran dalam teologi yang terkenal dengan nama Al-Qadariah dan Al-Jabariah.<br />
<br />
B. Nama-Nama Filosof Islam Dibangun Timur yaitu:<br />
1. Al-Kindi<br />
2. AL-Farabi<br />
3. Ibnu Sina<br />
4. Al-Ghazali<br />
Kemudian filosof islam di bagian barat yaitu:<br />
1. Ibn Tufail<br />
2. Ibnu Bajjah<br />
3. Ibnu Risyad<br />
<br />
C. Pemikiran Kalam Al-Khawarij Dan Al-Murji’ah<br />
Khawarij adalah salah satu nama aliran didalam ilmu kalam dalam hal ini ada beberapa alasan yaitu:<br />
1. Golongan ini keluar dari barisan Ali bin abi thalib<br />
2. Khawarij berasal dari kata kharaja yang diartikan keluar<br />
3. Adanya nama khawarij di dasarkan pada An-Nisa ayat 100.<br />
Kaum murji’ah dapat dibagi dalam dua golongan besar yaitu: golongan moderat dan golongan ekstrim.<br />
Golongan moderat berpendapat: orang yang berdosa besar bukanlah kafir dan tidak kekal dalam neraka, tetapi akan di hukum dalam neraka sesuai dengan besarnya dosa yang dilakukannya dan ada kemungkinan bahwa Tuhan akan mengampuni dosanya dan oleh karena itu tidak akan masuk neraka sama sekali.<br />
Paham yang sama diberikan oleh Al-Baghdadi ketika ia menerangkan bahwa ada tiga macam iman.<br />
1. Iman yang membuat orang keluar dari golongan kafir dan tidak kekal dalam neraka<br />
2. Iman yang mewajibkan adanya keadilan dan yang melenyapkan nama fasik dari seseorang serta yang melepaskannya dari neraka.<br />
3. Iman yang membuat seseorang memperoleh prioritas untuk langsung masuk surga tana perhitungan<br />
<br />
D. Pemikiran Kalamu A-Jabariah Dan Al-Qadariah<br />
- Kaum qadariah berpendapat bahwa manusia mempunyai kemerdekaan dan kebebasan dalam menentukan perjalanan hidupnya.<br />
- Kaum jabariah berpendapat sebaliknya, manusia tidak memiliki kemerdekaan dalam menentukan kehendak dan perbuatannya manusia dalam paham ini terikat pada kehendak tuhan semata.<br />
Kaum mu’tasilah membagi sifat-sifat tuhan kedalam dua golongan<br />
1. Sifat-sifat yang merupakan esensi tuhan dan di sebut sifat zariah<br />
2. Sifat-sifat yang merupakan perbuatan-perbuatan tuhan yang disebut sifat fi’liah<br />
<br />
E. Pemikiran Kalam Ahlussunnah Salaf (Ibnu Hanbal Ibnu Taimiyah.<br />
Ahli sunnah dan jam’ah ini kelihatannya timbul sebagai reaksi terhadap paham-paham golongan mu’tazilah. Menurut al-bagdadi (wafat 429 H) yang termasuk aqidah dan golongan ahlussunah wal jama’ah ialah:<br />
1. Orang yang mengetahui bear-benar soal-soal ketauhidan kenabian<br />
2. Imam-imam dalam fiqih baik dari Ahlurra’ji maupun dari ahlulhadis<br />
3. Mereka yang mengetahui jalan-jalan hadut dan atsar yang datang dari nabi<br />
4. Mereka yang mengetahui kebanyakan persoalan kesastraan<br />
5. Mereka yang mengetahui macam-macam qiraat ruqan dan tafsir ayat-ayatnya serta pena’wilanya yang sesuai dengan aliran ahlussunnah wal jamaah bukan ta’wilan orang-orang bid’ah.<br />
6. Ahli sunnah dan golongan tasawuf yang giat beramal dengan tidak banyak bicara menepati ketauhidan dan meniadakan tasybih serta menyerahkan diri kepada Tuhan.<br />
7. Mereka yang bertempat di pos-pos pertahanan kaum muslimin untuk menjaga keamanan negara islam dan mempertahankan yang serta melahirkan mazhab Ahlussunnah wal jama’ah.<br />
Ibnu Taimiah membagi metode ulama-ulama islam dalam lapangan aqidah menjadi empat yaitu:<br />
1. Aliran filsafat<br />
2. Aliran mu’tazillah terlebih dahulu memegang dalil akal yang rasional<br />
3. Golongan yang mempercayai aqidah dan dalil-dalilnya yang disebut dalam Al-Qur’an, tetapi mereka juga menggunakan dalil akal pikiran disamping dalil Qur’an seperti aliran Asy’ariah.Unknownnoreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-6058205351850084286.post-16305376754728111262012-04-08T19:17:00.000-07:002012-04-08T19:17:15.898-07:00Definisi Ahlus Sunnah wal Jama’ah. Sejarah Munculnya Istilah Ahlus Sunnah wal Jama’ahPENGERTIAN AQIDAH AHLUS SUNNAH WAL JAMA'AH<br />
<br />
Oleh : Al-Ustadz Yazid bin Abdul Qadir Jawas<br />
<br />
<br />
D. Definisi Ahlus Sunnah wal Jama’ah<br />
Ahlus Sunnah wal Jama’ah adalah:<br />
Mereka yang menempuh seperti apa yang pernah ditempuh oleh Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam dan para Sahabatnya Radhiyallahu anhum. Disebut Ahlus Sunnah, karena kuatnya (mereka) berpegang dan berittiba’ (mengikuti) Sunnah Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam dan para Sahabatnya Radhiyallahu anhum.<br />
<br />
As-Sunnah menurut bahasa (etimologi) adalah jalan/cara, apakah jalan itu baik atau buruk.[1]<br />
<br />
Sedangkan menurut ulama ‘aqidah (terminologi), As-Sunnah adalah petunjuk yang telah dilakukan oleh Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam dan para Sahabatnya, baik tentang ilmu, i’tiqad (keyakinan), perkataan maupun perbuatan. Dan ini adalah As-Sunnah yang wajib diikuti, orang yang mengikutinya akan dipuji dan orang yang menyalahinya akan dicela.[2]<br />
<br />
Pengertian As-Sunnah menurut Ibnu Rajab al-Hanbali rahimahullah (wafat 795 H): “As-Sunnah ialah jalan yang ditempuh, mencakup di dalamnya berpegang teguh kepada apa yang dilaksanakan Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam dan para khalifahnya yang terpimpin dan lurus berupa i’tiqad (keyakinan), perkataan dan perbuatan. Itulah As-Sunnah yang sempurna. Oleh karena itu generasi Salaf terdahulu tidak menamakan As-Sunnah kecuali kepada apa saja yang mencakup ketiga aspek tersebut. Hal ini diriwayatkan dari Imam Hasan al-Bashri (wafat th. 110 H), Imam al-Auza’i (wafat th. 157 H) dan Imam Fudhail bin ‘Iyadh (wafat th. 187 H).”[3]<br />
<br />
Disebut al-Jama’ah, karena mereka bersatu di atas kebenaran, tidak mau berpecah-belah dalam urusan agama, berkumpul di bawah kepemimpinan para Imam (yang berpegang kepada) al-haqq (kebenaran), tidak mau keluar dari jama’ah mereka dan mengikuti apa yang telah menjadi kesepakatan Salaful Ummah. [4]<br />
<br />
Jama’ah menurut ulama ‘aqidah (terminologi) adalah generasi pertama dari ummat ini, yaitu kalangan Sahabat, Tabi’ut Tabi’in serta orang-orang yang mengikuti dalam kebaikan hingga hari Kiamat, karena berkumpul di atas kebenaran. [5]<br />
<br />
Imam Abu Syammah asy-Syafi’i rahimahullah (wafat th. 665 H) berkata: “Perintah untuk berpegang kepada jama’ah, maksudnya adalah berpegang kepada kebenaran dan mengikutinya. Meskipun yang melaksanakan Sunnah itu sedikit dan yang menyalahinya banyak. Karena kebenaran itu apa yang dilaksanakan oleh jama’ah yang pertama, yaitu yang dilaksanakan Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam dan para Sahabatnya tanpa melihat kepada orang-orang yang menyimpang (melakukan kebathilan) sesudah mereka.”<br />
<br />
Sebagaimana dikatakan oleh Ibnu Mas’ud Radhiyallahu anhu:[6]<br />
<br />
اَلْجَمَاعَةُ مَا وَافَقَ الْحَقَّ وَإِنْ كُنْتَ وَحْدَكَ.<br />
<br />
“Al-Jama’ah adalah yang mengikuti kebenaran walaupun engkau sendirian.” [7]<br />
<br />
Jadi, Ahlus Sunnah wal Jama’ah adalah orang yang mempunyai sifat dan karakter mengikuti Sunnah Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam dan menjauhi perkara-perkara yang baru dan bid’ah dalam agama.<br />
<br />
Karena mereka adalah orang-orang yang ittiba’ (mengikuti) kepada Sunnah Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam dan mengikuti Atsar (jejak Salaful Ummah), maka mereka juga disebut Ahlul Hadits, Ahlul Atsar dan Ahlul Ittiba’. Di samping itu, mereka juga dikatakan sebagai ath-Thaa-ifatul Manshuurah (golongan yang mendapatkan per-tolongan Allah), al-Firqatun Naajiyah (golongan yang selamat), Ghurabaa' (orang asing).<br />
<br />
Tentang ath-Thaa-ifatul Manshuurah, Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:<br />
<br />
لاَتَزَالُ مِنْ أُمَّتِيْ أُمَّةٌ قَائِمَةٌ بِأَمْرِ اللهِ لاَ يَضُرُّهُمْ مَنْ خَذَلَهُمْ وَلاَ مَنْ خَالَفَهُمْ حَتَّى يَأْتِيَهُمْ أَمْرُ اللهِ وَهُمْ عَلَى ذَلِكَ.<br />
<br />
“Senantiasa ada segolongan dari ummatku yang selalu menegakkan perintah Allah, tidak akan mencelakai mereka orang yang tidak menolong mereka dan orang yang menyelisihi mereka sampai datang perintah Allah dan mereka tetap di atas yang demikian itu.” [8]<br />
<br />
Tentang al-Ghurabaa’, Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:<br />
<br />
بَدَأَ اْلإِسْلاَمُ غَرِيْباً، وَسَيَعُوْدُ كَمَا بَدَأَ غَرِيْباً، فَطُوْبَى لِلْغُرَبَاءِ.<br />
<br />
“Islam awalnya asing, dan kelak akan kembali asing sebagaimana awalnya, maka beruntunglah bagi al-Ghurabaa' (orang-orang asing).”[9]<br />
<br />
Sedangkan makna al-Ghurabaa' adalah sebagaimana yang diriwayatkan oleh ‘Abdullah bin ‘Amr bin al-‘Ash Radhiyallahu anhuma ketika suatu hari Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam menerangkan tentang makna dari al-Ghurabaa', beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:<br />
<br />
أُنَاسٌ صَالِحُوْنَ فِيْ أُنَاسِ سُوْءٍ كَثِيْرٍ مَنْ يَعْصِيْهِمْ أَكْثَرُ مِمَّنْ يُطِيْعُهُمْ.<br />
<br />
“Orang-orang yang shalih yang berada di tengah banyaknya orang-orang yang jelek, orang yang mendurhakai mereka lebih banyak daripada yang mentaati mereka.” [10]<br />
<br />
Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam juga bersabda mengenai makna al-Ghurabaa':<br />
<br />
اَلَّذِيْنَ يُصْلِحُوْنَ عِنْدَ فَسَادِ النَّاسِ.<br />
<br />
“Yaitu, orang-orang yang senantiasa memperbaiki (ummat) di tengah-tengah rusaknya manusia.”[11]<br />
<br />
Dalam riwayat yang lain disebutkan:<br />
<br />
...الَّذِيْنَ يُصْلِحُوْنَ مَا أَفْسَدَ النَّاسُ مِنْ بَعْدِي مِنْ سُنَّتِي.<br />
<br />
“Yaitu orang-orang yang memperbaiki Sunnahku (Sunnah Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam) sesudah dirusak oleh manusia.”[12]<br />
<br />
Ahlus Sunnah, ath-Tha-ifah al-Manshurah dan al-Firqatun Najiyah semuanya disebut juga Ahlul Hadits. Penyebutan Ahlus Sunnah, ath-Thaifah al-Manshurah dan al-Firqatun Najiyah dengan Ahlul Hadits suatu hal yang masyhur dan dikenal sejak generasi Salaf, karena penyebutan itu merupakan tuntutan nash dan sesuai dengan kondisi dan realitas yang ada. Hal ini diriwayatkan dengan sanad yang shahih dari para Imam seperti: ‘Abdullah Ibnul Mubarak: ‘Ali Ibnul Madini, Ahmad bin Hanbal, al-Bukhari, Ahmad bin Sinan [13] dan yang lainnya, رحمهم الله.<br />
<br />
Imam asy-Syafi’i [14] (wafat th. 204 H) rahimahullah berkata: “Apabila aku melihat seorang ahli hadits, seolah-olah aku melihat seorang dari Sahabat Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam, mudah-mudahan Allah memberikan ganjaran yang terbaik kepada mereka. Mereka telah menjaga pokok-pokok agama untuk kita dan wajib atas kita berterima kasih atas usaha mereka.”[15]<br />
<br />
Imam Ibnu Hazm azh-Zhahiri (wafat th. 456 H) rahimahullah menjelaskan mengenai Ahlus Sunnah: “Ahlus Sunnah yang kami sebutkan itu adalah ahlul haqq, sedangkan selain mereka adalah Ahlul Bid’ah. Karena sesungguhnya Ahlus Sunnah itu adalah para Sahabat Radhiyallahu anhum dan setiap orang yang mengikuti manhaj mereka dari para Tabi’in yang terpilih, kemudian ash-haabul hadits dan yang mengikuti mereka dari ahli fiqih dari setiap generasi sampai pada masa kita ini serta orang-orang awam yang mengikuti mereka baik di timur maupun di barat.” [16]<br />
<br />
E. Sejarah Munculnya Istilah Ahlus Sunnah wal Jama’ah<br />
Penamaan istilah Ahlus Sunnah ini sudah ada sejak generasi pertama Islam pada kurun yang dimuliakan Allah, yaitu generasi Sahabat, Tabi’in dan Tabiut Tabi’in.<br />
<br />
‘Abdullah bin ‘Abbas Radhiyallahu anhuma [17] berkata ketika menafsirkan firman Allah Subhanahu wa Ta'ala:<br />
<br />
يَوْمَ تَبْيَضُّ وُجُوهٌ وَتَسْوَدُّ وُجُوهٌ ۚ فَأَمَّا الَّذِينَ اسْوَدَّتْ وُجُوهُهُمْ أَكَفَرْتُمْ بَعْدَ إِيمَانِكُمْ فَذُوقُوا الْعَذَابَ بِمَا كُنْتُمْ تَكْفُرُونَ<br />
<br />
“Pada hari yang di waktu itu ada wajah yang putih berseri, dan ada pula wajah yang hitam muram. Adapun orang-orang yang hitam muram mukanya (kepada mereka dikatakan): ‘Kenapa kamu kafir sesudah kamu beriman? Karena itu rasakanlah adzab disebabkan kekafiranmu itu.’” [Ali ‘Imran: 106]<br />
<br />
“Adapun orang yang putih wajahnya mereka adalah Ahlus Sunnah wal Jama’ah, adapun orang yang hitam wajahnya mereka adalah Ahlul Bid’ah dan sesat.”[18]<br />
<br />
Kemudian istilah Ahlus Sunnah ini diikuti oleh kebanyakan ulama Salaf رحمهم الله, di antaranya:<br />
<br />
1.Ayyub as-Sikhtiyani rahimahullah (wafat th. 131 H), ia berkata: “Apabila aku dikabarkan tentang meninggalnya seorang dari Ahlus Sunnah seolah-olah hilang salah satu anggota tubuhku.”<br />
<br />
2. Sufyan ats-Tsaury rahimahullah (wafat th. 161 H) berkata: “Aku wasiatkan kalian untuk tetap berpegang kepada Ahlus Sunnah dengan baik, karena mereka adalah al-ghurabaa’. Alangkah sedikitnya Ahlus Sunnah wal Jama’ah.”[19]<br />
<br />
3. Fudhail bin ‘Iyadh rahimahullah [20] (wafat th. 187 H) berkata: “...Berkata Ahlus Sunnah: Iman itu keyakinan, perkataan dan perbuatan.”<br />
<br />
4. Abu ‘Ubaid al-Qasim bin Sallam rahimahullah (hidup th. 157-224 H) berkata dalam muqaddimah kitabnya, al-Iimaan [21]: “...Maka sesungguhnya apabila engkau bertanya kepadaku tentang iman, perselisihan umat tentang kesempurnaan iman, bertambah dan berkurangnya iman dan engkau menyebutkan seolah-olah engkau berkeinginan sekali untuk mengetahui tentang iman menurut Ahlus Sunnah dari yang demikian...”<br />
<br />
5. Imam Ahmad bin Hanbal rahimahullah [22] (hidup th. 164-241 H), beliau berkata dalam muqaddimah kitabnya, As-Sunnah: “Inilah madzhab ahlul ‘ilmi, ash-haabul atsar dan Ahlus Sunnah, yang mereka dikenal sebagai pengikut Sunnah Rasul Shallallahu 'alaihi wa sallam dan para Sahabatnya, dari semenjak zaman para Sahabat Radhiyallahu anhum hingga pada masa sekarang ini...”<br />
<br />
6. Imam Ibnu Jarir ath-Thabari rahimahullah (wafat th. 310 H) berkata: “...Adapun yang benar dari perkataan tentang keyakinan bahwa kaum Mukminin akan melihat Allah pada hari Kiamat, maka itu merupakan agama yang kami beragama dengannya, dan kami mengetahui bahwa Ahlus Sunnah wal Jama’ah berpendapat bahwa penghuni Surga akan melihat Allah sesuai dengan berita yang shahih dari Rasulullah Shaallallahu 'alaihi wa sallam.” [23]<br />
<br />
7. Imam Abu Ja’far Ahmad bin Muhammad ath-Thahawi rahimahullah (hidup th. 239-321 H). Beliau berkata dalam muqaddimah kitab ‘aqidahnya yang masyhur (al-‘Aqiidatuth Thahaawiyyah): “...Ini adalah penjelasan tentang ‘aqidah Ahlus Sunnah wal Jama’ah.”<br />
<br />
Dengan penukilan tersebut, maka jelaslah bagi kita bahwa lafazh Ahlus Sunnah sudah dikenal di kalangan Salaf (generasi awal ummat ini) dan para ulama sesudahnya. Istilah Ahlus Sunnah merupakan istilah yang mutlak sebagai lawan kata Ahlul Bid’ah. Para ulama Ahlus Sunnah menulis penjelasan tentang ‘aqidah Ahlus Sunnah agar ummat faham tentang ‘aqidah yang benar dan untuk membedakan antara mereka dengan Ahlul Bid’ah. Sebagaimana telah dilakukan oleh Imam Ahmad bin Hanbal, Imam al-Barbahari, Imam ath-Thahawi serta yang lainnya.<br />
<br />
Dan ini juga sebagai bantahan kepada orang yang berpendapat bahwa istilah Ahlus Sunnah pertama kali dipakai oleh golongan Asy’ariyyah, padahal Asy’ariyyah timbul pada abad ke-3 dan ke-4 Hijriyyah. [24]<br />
<br />
Pada hakikatnya, Asy’ariyyah tidak dapat dinisbatkan kepada Ahlus Sunnah, karena beberapa perbedaan prinsip yang mendasar, di antaranya:<br />
<br />
1. Golongan Asy’ariyyah menta’-wil sifat-sifat Allah Ta’ala, sedangkan Ahlus Sunnah menetapkan sifat-sifat Allah sebagaimana yang telah ditetapkan oleh Allah dan Rasul-Nya, seperti sifat istiwa’ , wajah, tangan, Al-Qur-an Kalamullah, dan lainnya.<br />
<br />
2. Golongan Asy’ariyyah menyibukkan diri mereka dengan ilmu kalam, sedangkan ulama Ahlus Sunnah justru mencela ilmu kalam, sebagaimana penjelasan Imam asy-Syafi’i rahimahullah ketika mencela ilmu kalam.<br />
<br />
3. Golongan Asy’ariyyah menolak kabar-kabar yang shahih tentang sifat-sifat Allah, mereka menolaknya dengan akal dan qiyas (analogi) mereka.[25]<br />
<br />
[Disalin dari kitab Syarah Aqidah Ahlus Sunnah Wal Jama'ah, Penulis Yazid bin Abdul Qadir Jawas, Penerbit Pustaka Imam Asy-Syafi'i, Po Box 7803/JACC 13340A Jakarta, Cetakan Ketiga 1427H/Juni 2006M]Unknownnoreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-6058205351850084286.post-91231125762041850062012-04-01T19:22:00.002-07:002012-04-01T19:22:46.447-07:00Tafsir Surat al-Baqarah Ayat 257<div style="text-align: justify;">اللهُ وَلِيُّ الَّذِينَ ءَامَنُوا يُخْرِجُهُم مِّنَ الظُّلُمَاتِ إِلَى النُّورِ وَالَّذِينَ كَفَرُوا أَوْلِيَآؤُهُمُ الطَّاغُوتُ يُخْرِجُونَهُم مِّنَ النُّورِ إِلَى الظُّلُمَاتِ أُوْلَئِكَ أَصْحَابُ النَّارِ هُمْ فِيهَا خَالِدُونَ.<br />
<br />
"Allah Pelindung orang-orang yang beriman, Dia mengeluarkan mereka dari kegelapan (kekafiran) kepada cahaya (Iman). Dan orang-orang yang kafir, pelindung-pelindungnya ialah setan, yang mengeluarkan mereka daripada cahaya kepada kegelapan (kekafiran). Mereka itu adalah penghuni neraka; mereka kekal di dalamnya." (َQS. al-Baqarah: 257)<br />
<br />
Tafsir Ayat :<br />
<br />
Ayat ini merupakan rangkaian dari ayat sebelumnya. Ayat yang sebelumnya itu merupakan dasar sedangkan ayat ini adalah manifestasinya. Allah Ta’ala mengabarkan bahwasanya orang-orang yang beriman kepadaNya dan mereka membenarkan keimanan mereka dengan menunaikan kewajiban-kewajiban keimanan dan meninggalkan segala perkara yang meniadakannya, bahwasanya Allah adalah wali mereka dan menjadikan mereka sebagai orang-orang yang dicintai dengan kecintaanNya yang istimewa, dan Dia menangani pendidikan mereka. Maka Allah mengeluarkan mereka dari kegelapan kejahilan, kekufuran, kemaksiatan, kelalaian dan keberpalingan menuju kepada cahaya ilmu, keyakinan, keimanan, ketaatan dan penerimaan yang total terhadap Rabb mereka, dan Allah menerangi hati mereka dengan apa yang dipancarkanNya kedalamnya dari cahaya wahyu dan keimanan, memudahkan mereka kepada kemudahan, dan menjauhkan mereka dari perkara yang sulit.<br />
<br />
Adapun orang-orang yang kafir, Tatkala mereka loyal (berwala') kepada Rabb mereka maka Allah menyerahkan urusan mereka kepada apa yang telah mereka sendiri jadikan wali untuk diri mereka, menghinakan mereka, mewakilkan pemeliharaan mereka kepada wali yang mereka pilih, yang sama sekali tidak memiliki manfaat dan mudharat. Maka ia menyesatkan dan menyengsarakan mereka serta menghalangi mereka dari petunjuk ilmu yang bermanfaat dan amal shalih dan juga menghalangi mereka mendapatkan kebahagiaan hingga nerakalah yang menjadi tempat peraduan mereka, mereka kekal di dalamnya selamanya. Ya Allah, jadikanlah wali kami termasuk mereka yang Engkau menjadi wali mereka.<br />
<br />
Pelajaran berharga yang kita ambil dari ayat ini di antaranya adalah :<br />
<br />
1. Keutamaan iman, yang dengannya kita mendapatkan perlindungan dari Allah Ta’ala (اللهُ وَلِيُّ الَّذِينَ ءَامَنُوا) : Allah pelindung bagi orang-orang yang beriman.<br />
<br />
2. Penetapan perlindungan (di antara sifat-sifat –red) Allah Ta’ala, yaitu bahwa Allah Ta’ala melindungi para hambaNya. Dan perlindungan Allah Ta’ala ada dua macam: 1. Perlindungan yang umum, yaitu bahwa Allah Ta’ala menjamin urusan dan kebutuhan hamba-hambaNya. Ini tidak khusus bagi orang-orang beriman saja, sebagaimana yang difirmankan Allah Ta’ala: “وَرُدُّوا إِلَى اللِه مَوْلاَهُمُ الْحَقِّ وَضَلَّ عَنْهُم مَّاكَانُوا يَفْتَرُونَ” : dan mereka dikembalikan kepada Allah Pelindung mereka yang sebenarnya dan lenyaplah dari mereka apa yang mereka ada-adakan (QS. Yunus: 30) mereka itu adalah orang-orang kafir.<br />
<br />
3. Perlindugan yang khusus di peruntukan bagi orang yang beriman, sebagaimana yang di firmankan oleh Allah Ta’ala: “ذَلِكَ بِأَنَّ اللهَ مَوْلَى الَّذِينَ ءَامَنُوا وَأَنَّ الْكَافِرِينَ لاَمَوْلَى لَهُمْ” : "Yang demikian itu karena sesungguhnya Allah adalah pelindung orang-orang yang beriman dan karena sesungguhnya orang-orang kafir itu tiada mempunyai pelindung" (QS. Muhammad:11).Atau seperti dalam ayat ini (اللهُ وَلِيُّ الَّذِينَ ءَامَنُوا): Allah pelindung orang-orang yang beriman. Pada jenis perlindungan yang pertama menunjukan bahwasanya kesempurnaan kekuasaan dan pengaturan pada semua mahluknya. Adapun jenis perlindungan yang kedua menunjukan akan kasih sayang Allah, rahmat dan taufikNya.<br />
<br />
4. Bahwa buah dari keimanan adalah hidayah Allah bagi orang yang beriman, sebagaimana firaman Allah Ta’ala: “يُخْرِجُهُم مِّنَ الظُّلُمَاتِ إِلَى النُّورِ” : Dia mengeluarkan mereka dari kegelapan (kekafiran) kepada cahaya (Iman).<br />
<br />
5. Bahwa perlindung orang-orang kafir adalah para thogut baik mereka itu orang-orang yang di ikuti (seperti tukang sihir, dll -red), atau yang disembah (seperti patung, kuburan, dll -red), maupun yang ditaati (seperti para pemimpin yang dhalim -red).<br />
<br />
6. Bahwa jeleknya buah dari kekafiran, dan dia menunjukan kepada kesesatan –kita berlindung kepada Allah darinya-, ini sebagaimana firman Allah Ta’ala: “يُخْرِجُونَهُم مِّنَ النُّورِ إِلَى الظُّلُمَاتِ”: "yang mengeluarkan mereka daripada cahaya kepada kegelapan (kekafiran).<br />
<br />
7. Penetapan Neraka, ini sebagaimana firman Allah Ta’ala: “أُوْلَئِكَ أَصْحَابُ النَّار”: mereka itu penghuni Neraka”. Neraka telah di cipatakan bagi orang yang durhaka, sebagaimana firman Allah Ta’ala: “وَاتَّقُوا النَّارَ الَّتِي أُعِدَّتْ لِلْكَافِرِينَ”: Dan peliharalah dirimu dari api neraka, yang (telah)disediakan untuk orang-orang kafir”. (QS. al-Imron:131). Allah berfirman menggunakan lafadh (أُعِدَّتْ): “Di siapkan” kata lampau, dan di dalam hadis yang shahih bahwa Nabi shallahu 'alaihi wa sallam melihat Neraka, yaitu pada shalat gerhana, di perlihatkan kepada Nabi shallallohu 'alaihi wa sallam Neraka, beliau melihat padanya ‘Amru bin Luhai menyeret ususnya. (HR. Bukhari). Neraka bersifat kekal sesuai kehedak Allah Ta’ala sebagaimana Firmannya: “وَالَّذِينَ كَفَرُوا لَهُمْ نَارُ جَهَنَّمَ لاَيُقْضَى عَلَيْهِمْ فَيَمُوتُوا وَلاَيُخَفَّفُ عَنْهُم مِّنْ عَذَابِهَا كَذَلِكَ نَجْزِي كُلَّ كَفُورٍ” : Dan orang-orang kafir bagi mereka neraka Jahannam.Mereka tidak dibinasakan sehingga mereka mati dan tidak (pula) diringankan dari mereka azabnya.Demikianlah Kami membalas setiap orang yang sangat kafir. (QS. Faatir:36). Disebutkan di dalam al-Qur an tentang kekekalan penduduknya pada tiga tempat, oleh sebab itu maka jelaslah kesalahan orang yang mengatakan bahwa Neraka itu tidak kekal, karena perkataan tersebut bertentangan dengan dalil-dalil syar’i.<br />
<br />
8. Bahawasanya orang-orang kafir kekal abadi di neraka: “أُوْلَئِكَ أَصْحَابُ النَّارِ”: mereka itulah penghuni neraka”, dan penghuni sesutu mengharuskan kebersamaannya dengannya.<br />
<br />
9. Bahwasanya kekekalan di neraka khusus bagi orang-orang kafir, adapun orang-orang yang beriman yang masuk ke dalam Neraka, maka mereka tidak kekal di dalamnya, ini berdasarkan firman Allah Ta’ala: “هُمْ فِيهَا خَالِدُونَ”: Mereka(orang-orang kafir) kekal di dalamnya”. Maka artinya selain mereka tidak kekal, dan ini juga didasarkan kepada hadis yang menyebutkan tentang hal tersebut.<br />
<br />
[Sumber: Tafsir al-Qur-an al-Karim, oleh Syaikh Muhammad bin Shaleh al-Utsaimin jilid 3, dan Tafsir as-Sa'di, oleh syaikh Abdur Rahman bin Nashir as-Sa'di, semoga Allah merahmati keduanya. Diposting oleh Sufiyani] </div><div style="text-align: justify;">http://www.alsofwah.or.id/</div>Unknownnoreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-6058205351850084286.post-20535222394653985292012-04-01T19:11:00.001-07:002012-04-01T19:18:09.267-07:00NAMA-NAMA QURRA’ (Imam Ahli Qira’at)<div style="text-align: justify;">Al-Qurraa’ as-Sab’ah (Tujuh Ahli Qira’at) yang terkenal, yang disebutkan oleh Abu Bakr bin Mujahid rahimahullah, dan dikhususkan penyebutan dikarenakan mereka –menurut Abu Bakr bin Mujahid- terkenal dengan ketelitian, amanah, dan lamanya mereka dalam menggeluti ilmu Qira’at, dan kesepakatan pendapat para Ulama untuk mengambil Qira’at dari mereka. Mereka itu adalah sebagai berikut:</div><div style="text-align: justify;"><br />
</div><div style="text-align: justify;">Pertama: Abu ‘Amr bin al-‘Alaa’, gurunya para perawi. Dia adalah Ziyad bin al-‘Alaa’ bin ‘Ammar al-Mazini al-Bashri rahimahullah. Ada yang mengatakan bahwa namanya adalah Yahya, ada lagi yang mengatakan bahwa namannya adalah kunyahnya (Kunyah: nama yang didahului dengan kata Abu atau Ibnu). Dia wafat di Kufah pada tahun 154 H. Dan dua orang yang meriwayatkan Qira’at darinya adalah:ad-Duuriyy dan as-Suusiyy. Adapun ad-Duuriyy dia adalah Abu ‘Umar Hafsh bin ‘Umar bin ‘Abdil ‘Aziz ad-Duuriyy an-Nahwi rahimahullah. Ad-Duur adalah nama sebuah tempat di Baghdad. Dia wafat pada tahun 246 H. Sedangkan as-Suusiyy adalah Abu Syu’aib Shalih bin Ziyad bin ‘Abdillah as-Suusiyy rahimahullah, wafat tahun 261 H.</div><div style="text-align: justify;"><br />
</div><div style="text-align: justify;">Kedua: Ibnu Katsir (bukan Ibnu Katsir ahli tafsir), beliau adalah ‘Abdullah bin Katsir al-Makkiy, dia adalah salah seorang Tabi’in, dan wafat di Makkah tahun 120 H. Dua orang yang meriwayatkan Qira’at darinya adalah:al-Bazziy dan Qunbul. Adapun al-Bazziyy dia adalah Ahmad bin Muhammad bin ‘Abdillah bin Abi Bazzah al-Muadzin al-Makkiy rahimahullah, dan memiliki nama kunyah Abul Hasan, wafat du Makkah tahun 250 H.</div><div style="text-align: justify;"><br />
</div><div style="text-align: justify;">Adapun Qunbul dia adalah Muhammad bin ‘Abdirrahman bin Muhammad bin Khalid bin Sa’id al-Makkiy al-Makhzumi rahimahullah, dan memiliki nama kunyah Abu ‘Amr, dan dijuluki Qunbul. Ada yang mengatakan:”Mereka adalah Ahlul Bait di Makkah yang dikenal dengan al-Qanabilah.”. Dia (Qunbul) wafat di Mekah tahun 291H.</div><div style="text-align: justify;"><br />
</div><div style="text-align: justify;">Ketiga: Nafi’ al-Madaniy rahimahullah, dia adalah Abu Ruwaim Nafi’ bin ‘Abdirrhaman bin Abi Nu’aim al-Laitsiy, berasal dari Ashfahan, dan wafat di Madinah tahun 169 H. Dua orang yang meriwayatkan Qira’at darinya adalah:Qaaluun dan Warasy. Adapun Qaaluun dia adalah ‘Isa bin Mainaa al-Madaniy rahimahullah seorang pengajar bahasa Arab, dan memiliki nama kunyah Abu Musa, dan Qaaluun adalah julukannya. Dan diriwayatkan bahwa Nafi’ menjulukinya dengan julukan tersebut karena bagusnya bacaannya. Karena kata “Qaaluun” dalam bahasa Romawi berarti bagus. Dia wafat di Madinah tahun 220 H.</div><div style="text-align: justify;"><br />
</div><div style="text-align: justify;">Sedangkan Warasy dia adalah ‘Utsman bin Sa’id bin al-Mishriy rahimahullah, memiliki nama kunyah Abu Sa’id, dan Warasy adalah nama julukannya. Dia dijuluki dengan julukan tersebut ada yang mengatakan karena kulitnya yang sangat putih. Dia wafat di Mesir tahun 197 H.</div><div style="text-align: justify;"><br />
</div><div style="text-align: justify;">Kempat: Ibnu ‘Amir asy-Syaami dia adalah ‘Abdullah bin ‘Amir al-Yahshubiy, seorang hakim di Dimasyq (Damaskus) pada masa kekhalifahan al-Walid bin ‘Abdil Malik. Dia diberi nama kunyah Abu ‘Imraan, dan dia termasuk salah seorang Tabi’in. Dia wafat di Dimasyq tahun 118 H. Dua orang yang meriwayatkan Qira’at darinya adalah:Hisyam dan Ibnu Dzakwan. Adapun Hisyam dia adalah Hisyam bin ‘Ammaar bin Nashir al-Qaadhiy ad-Dimasyqiy rahimahullah diberi nama kunyah Abul Walid, dan dia wafat di sana pada tahun 240 H.</div><div style="text-align: justify;"><br />
</div><div style="text-align: justify;">Sedangkan Ibnu Dzakwan dia adalah ‘Abdullah bin Ahmad bin Basyir bin Zakwan al-Qurasiy ad-Dimasyqiy rahimahullah, dan diberi nama kunyah Abu ‘Amr. Dia lahir tahun 173 dan wafat di Dimasyq (Damaskus) tahun 242 H.</div><div style="text-align: justify;"><br />
</div><div style="text-align: justify;">Kelima: ‘Ashim al-Kuufiy dia adalah ‘Ashim bin Abi an-Najuud, ada yang menamainya Ibnu Bahdalah, Abu Bakr dan dia adalah salah seorang Tabi’in. Wafat di Kufah tahun 128 H. Dua orang yang meriwayatkan Qira’at darinya adalah:Syu’bah dan Hafsh. Adapun Syu’bah dia adalah Abu Bakr bin Syu’bah bin ‘Abbas bin Salim al-Kuufiy rahimahullah, wafat di Kufah pada tahun 193 H.</div><div style="text-align: justify;"><br />
</div><div style="text-align: justify;">Sedangkan Hafsh dia adalah Hafsh Sulaiman bin al-Mughirah al-Bazzaz al-Kuufiy rahimahullah, diberi nama kunyah Abu ‘Amr, dan dia adalah orang yang tsiqah (kredibel). Ibnu Ma’in rahimahullah berkata:”Dia lebih menguasai qira’at dibandingkan dengan Abu Bakr”. Dia wafat tahun 180 H.</div><div style="text-align: justify;"><br />
</div><div style="text-align: justify;">Keenam: Hamzah al-Kuufiy dia adalah Hamzah bin Habib bin ‘Imarah az-Zayyat al-Faradhiy at-Taimiy, diberi nama kunyah Abu ‘Imarah. Dia wafat di Bahlawan pada masa kekhilafahan Abu Ja’far al-Manshur tahun 156 H. Dua orang yang meriwayatkan Qira’at darinya adalah:Khalaf dan Khalad. Adapun Khalaf dia adalah Khalaf bin Hisyam al-Bazzaz rahimahullah, diberi nama kunyah Abu Muhammad, wafat di Baghdad pada tahun 229 H.</div><div style="text-align: justify;"><br />
</div><div style="text-align: justify;">Sedangkan Khallad dia adalah Khallad bin Khalid ash-Shairafiy al-Kuufiy rahimahullah, diberi nama kunyah Abu ‘Isa, dan wafat di sana tahun 220 H.</div><div style="text-align: justify;"><br />
</div><div style="text-align: justify;">Ketujuh: al-Kisaa’i al-Kuufiy dia adalah ‘Ali bin Hamzah, Imam ahli Nahwu (tata bahasa Arab) kalangan Kufiyun, diberi nama kunyah Abul Hasan. Dinamakan al-Kissaa’i karena dia ihram memakai Kisaa’ (kain penutup Ka’bah). Dia wafat di Ranbawaih salah satu daerah di perkampungan ar-Ray, ketika hendak menuju ke Khurasan bersama ar-Rasyid tahun 189 H. Dua orang yang meriwayatkan Qira’at darinya adalah:Abul Harits dan Hafsh ad-Duuriy. Adapun Abul Harits dia adalah al-Laits bin Khalid al-Baghdadi rahimahullah, wafat pada tahun 240 H.</div><div style="text-align: justify;"><br />
</div><div style="text-align: justify;">Sedangkan Hafsh ad-Duuriy dia adalah perawi (yang meriwayatkan Qira’at) dari Abi ‘Amr dan telah berlalu penjelasannya.</div><div style="text-align: justify;"><br />
</div><div style="text-align: justify;">Adapun tiga imam Qira’at sebagai pelengkap (yang menggenapkan) Qira’at sepuluh adalah:</div><div style="text-align: justify;"><br />
</div><div style="text-align: justify;">Kedelapan: Abu Ja’far al-Madaniy, dia adalah Yazid bin al-Qa’qa’, wafat di Madinah pada tahun 128, dan ada yang mengatakan tahun 132 H. Dua orang yang meriwayatkan Qira’at darinya adalah:Wardan dan Ibnu Jammaaz. Adapun Wardan dia adalah Abul Harits ‘Isa bin Wardan al-Madaniy rahimahullah, wafat di Madinah sekitar tahun 160 H.</div><div style="text-align: justify;"><br />
</div><div style="text-align: justify;">Sedangkan Ibnu Jammaaz dia adalah Abu ar-Rabi’ Sulaiman bin Muslim bin Jammaaz al-Madaniy, wafat di sana (Madinah) tidak lama setelah tahun 170 H..</div><div style="text-align: justify;"><br />
</div><div style="text-align: justify;">Kesembilan: Ya’qub al-Bashriy, dia adalah Abu Muhammad Ya’qub bin Ishaq bin Zaid al-Hadrami, wafat di Bashrah pada tahun 205 H, dan ada yang mengatakan tahun 185. Dua orang yang meriwayatkan Qira’at darinya adalah:Ruwais dan Rauh. Adapun Ruwais dia adalah Abul ‘Abdillah Muhammad bin al-Mutawakkil al-Lu’lu al-Bashriy rahimahullah, dan Ruwais adalah julukannya. Dia wafat di Bashrah pada tahun 238 H.</div><div style="text-align: justify;"><br />
</div><div style="text-align: justify;">Sedangkan Rauh dia adalah Abul Hasan Rauh bin ‘Abdil Mu’min al-Bashriy an-Nahwiy, wafat tahun 234 H atau 235 H.</div><div style="text-align: justify;"><br />
</div><div style="text-align: justify;">Kesepuluh: Khalaf, dia adalah Abu Muhammad Khalaf bin Hisyam bin Tsa’lab al-Bazzaar al-Baghdadiy, wafat tahun 229 H, dan ada yang mengatakan bahwa tahun kematiannya tidak diketahui. Dua orang yang meriwayatkan Qira’at darinya adalah: Ishaq dan Idris. Adapun Ishaq dia adalah Abu Ya’qub Ishaq bin Ibrahim bin’Utsman al-Warraq al-Marwaziy al-Baghdadiy, wafat pada tahun 286 H.</div><div style="text-align: justify;"><br />
</div><div style="text-align: justify;">Sedangkan Idris dia adalah Abul Hasan Idris bin ‘Abdil Karim al-Baghdadiy al-Haddaad. Dia wafat pada hari ‘Idul Adha tahun 292 H.</div><div style="text-align: justify;"><br />
</div><div style="text-align: justify;">Dan sebagian mereka (para Ulama) menambahkan empat Qira’at lagi di samping kesepuluh Qira’at di atas, yaitu:</div><div style="text-align: justify;"><br />
</div><div style="text-align: justify;">Pertama:Qira’at al-Hasan al-Bashriy, mantan budak kaum Anshar, salah seorang Tabi’in senior yang terkenal dengan kezuhudannya. Dia wafat tahun 110 H.</div><div style="text-align: justify;"><br />
</div><div style="text-align: justify;">Kedua:Qira’at Muhammad bin ‘Abdirrahman yang dikenal dengan nama Ibnu Muhaishin wafat tahun 123 H. Dan dia adalah salah satu guru dari Abi ‘Amr.</div><div style="text-align: justify;"><br />
</div><div style="text-align: justify;">Ketiga:Qira’at Yahya bin al-Mubarak al-Yazidi an-Nahwiy, dari Baghdad, dan ia mengambil (belajar Qira’at) dari Abi ‘Amr dan Hamzah. Ia adalah salah satu guru dari ad-Duuriy dan as-Suusiy. Ia wafat tahun 202 H.</div><div style="text-align: justify;"><br />
</div><div style="text-align: justify;">Keempat:Qira’at Abil Farj Muhammad bin Ahmad asy-Syanbuudziy wafat tahun 388 H.</div><div style="text-align: justify;"><br />
</div><div style="text-align: justify;">(Sumber:مباحث في علوم القرآن karya Syaikh Manna’ al-Qaththan, Maktabah al-Ma’arif Riyadh hal 182-186. Diposting oleh Abu Yusuf Sujono)</div>Unknownnoreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-6058205351850084286.post-62095099741696600342012-04-01T19:09:00.003-07:002012-04-01T19:17:58.993-07:00TURUNNYA AL-QUR’AN DENGAN TUJUH HURUF<div style="text-align: justify;">Bangsa Arab memiliki lahjah (dialek) yang bermacam-macam yang muncul dari kebiasaan fitrah mereka pada iramanya (pengucapan kata), suaranya dan huruf-hurufnya yang mana kitab-kitab sastra berusaha untuk mengkajinya dengan penjelasan dan pembandingan. Maka setiap kabilah memiliki dialek pada sebagian besar kalimatnya yang tidak dimiliki oleh kabilah lain. Hanya saja kabilah Quraisy telah memiliki faktor-faktor yang menjadikan bahsanya menjadi panutan (pelopor) di antara cabang-cabang bahasa Arab yang lain. Faktor-faktor itu berupa kedekatannya dengan Baitullah, pemberian minum bagi para jama’ah haji, pemakmuran Masjidil Haram, dan penguasaannya terhadap perdagangan. Maka seluruh bangsa Arab memposisikannya layaknya seorang bapak bagi bahasa mereka disebabkan kekhususan-kekhususan dan yang lainnya. Maka sudah menjadi hal yang wajar ketika al-Qur’an turun dengan bahasa Quraiys kepada Rasul dari suku Quraisy, dalam rangka mempersatukan bangsa Arab dan merealisasikan kemukjizatan al-Qur’an yang mana mereka tidak mampu untuk mendatangkan yang seperti al-Qur’an atau seperti satu surat saja dari al-Qur’an.</div><div style="text-align: justify;"><br />
</div><div style="text-align: justify;">Dan jika bangsa Arab bertingkat-tingkat dialek mereka dari beberapa sisi dalam menagungkapkan satu makna, maka al-Qur’an yang diwahyukan oleh Allah kepada Rasul-Nya Muhammad shallallahu 'alaihi wasallam menyempurnakan makna kemukjizatan, jika ia mengandung huruf-hurufnya, dan ragam Qira’ah yang masih murni darinya. Dan, hal itulah yang memudahkan mereka untuk membaca, menghafal dan memahami.</div><div style="text-align: justify;"><br />
</div><div style="text-align: justify;">Nash-nash (teks) hadits secara mutawatir menunjukkan tentang turunnya al-Qur’an, dalam tujuh huruf, di antara teks-teks tersebut adalah:</div><div style="text-align: justify;"><br />
</div><div style="text-align: justify;">1 Hadits dari Ibnu ‘Abbas radhiyallahu 'anhuma, bahwasanya dia berkata, Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda:</div><div style="text-align: justify;"><br />
</div><div style="text-align: justify;"><br />
</div><div style="text-align: justify;">«أقرأَني جبريلُ على حرفٍ ، فراجَعْتُهُ ، فلم أزلْ أسْتَزِيدُه وَيَزيِدُني ، حتى انتَهى إلى سبعه أحرفٍ »</div><div style="text-align: justify;"><br />
</div><div style="text-align: justify;">”Jibril 'alaihissalam membacakan (al-Qur’an) kepadaku dengan satu huruf, lalu aku berulang kali meminta agar huruf itu ditambah dan ia menambahkan kepadaku sampai tujuh huruf.” (HR. al-Bukhari dan Muslim)</div><div style="text-align: justify;"><br />
</div><div style="text-align: justify;">2. Hadits dari Ubay bin Ka’ab radhiyallahu 'anhu berkata:</div><div style="text-align: justify;"><br />
</div><div style="text-align: justify;"><br />
</div><div style="text-align: justify;">أَنَّ النَّبِىَّ -صلى الله عليه وسلم- كَانَ عِنْدَ أَضَاةِ بَنِى غِفَارٍ - قَالَ - فَأَتَاهُ جِبْرِيلُ عَلَيْهِ السَّلاَمُ فَقَالَ إِنَّ اللَّهَ يَأْمُرُكَ أَنْ تَقْرَأَ أُمَّتُكَ الْقُرْآنَ عَلَى حَرْفٍ. فَقَالَ « أَسْأَلُ اللَّهَ مُعَافَاتَهُ وَمَغْفِرَتَهُ وَإِنَّ أُمَّتِى لاَ تُطِيقُ ذَلِكَ ». ثُمَّ أَتَاهُ الثَّانِيَةَ فَقَالَ إِنَّ اللَّهَ يَأْمُرُكَ أَنْ تَقْرَأَ أُمَّتُكَ الْقُرْآنَ عَلَى حَرْفَيْنِ فَقَالَ « أَسْأَلُ اللَّهَ مُعَافَاتَهُ وَمَغْفِرَتَهُ وَإِنَّ أُمَّتِى لاَ تُطِيقُ ذَلِكَ ». ثُمَّ جَاءَهُ الثَّالِثَةَ فَقَالَ إِنَّ اللَّهَ يَأْمُرُكَ أَنْ تَقْرَأَ أُمَّتُكَ الْقُرْآنَ عَلَى ثَلاَثَةِ أَحْرُفٍ. فَقَالَ « أَسْأَلُ اللَّهَ مُعَافَاتَهُ وَمَغْفِرَتَهُ وَإِنَّ أُمَّتِى لاَ تُطِيقُ ذَلِكَ ». ثُمَّ جَاءَهُ الرَّابِعَةَ فَقَالَ إِنَّ اللَّهَ يَأْمُرُكَ أَنْ تَقْرَأَ أُمَّتُكَ الْقُرْآنَ عَلَى سَبْعَةِ أَحْرُفٍ فَأَيُّمَا حَرْفٍ قَرَءُوا عَلَيْهِ فَقَدْ أَصَابُوا.</div><div style="text-align: justify;"><br />
</div><div style="text-align: justify;">”Ketika Nabi shallallahu 'alaihi wasallam sedang berada di penampungan air milik Bani Ghifar, tiba-tiba datanglah Jibril 'alaihissalam seraya berkata:”Allah memerintahkanmu agar membacakan al-Qur’an kepada umatmu dengan satu huruf.” Beliau shallallahu 'alaihi wasallam berkata:”Aku memohon kepada Allah maaf dan ampunan-Nya, sesungguhnya umatku merasa berat melakukannya.” Kemdudian Jibril 'alaihissalam datang lagi untuk kedua kalinya dan berkata: :”Allah memerintahkanmu agar membacakan al-Qur’an kepada umatmu dengan dua huruf.”. Nabi shallallahu 'alaihi wasallam menjawab:”Aku memohon kepada Allah maaf dan ampunan-Nya, sesungguhnya umatku merasa berat melakukannya.” Jibril 'alaihissalam lalu datang lagi untuk ketiga kalinya dan berkata:”Allah memerintahkanmu agar membacakan al-Qur’an kepada umatmu dengan tiga huruf.”. Nabi shallallahu 'alaihi wasallam menjawab:”Aku memohon kepada Allah maaf dan ampunan-Nya, sesungguhnya umatku merasa berat melakukannya.” Jibril 'alaihissalam lalu datang lagi untuk keempat kalinya dan berkata:”Allah memerintahkanmu agar membacakan al-Qur’an kepada umatmu dengan tujuh huruf, dengan huruf mana saja mereka membaca, mereka tetap benar.” (HR. Muslim)</div><div style="text-align: justify;"><br />
</div><div style="text-align: justify;">3. Hadits dari Dari ‘Umar bin al-Khaththab radhiyallahu 'anhu bekata:</div><div style="text-align: justify;"><br />
</div><div style="text-align: justify;"><br />
</div><div style="text-align: justify;">سَمِعْتُ هِشَامَ بْنَ حَكِيمٍ يَقْرَأُ سُورَةَ الْفُرْقَانِ فِي حَيَاةِ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَاسْتَمَعْتُ لِقِرَاءَتِهِ فَإِذَا هُوَ يَقْرَؤُهَا عَلَى حُرُوفٍ كَثِيرَةٍ لَمْ يُقْرِئْنِيهَا رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَكِدْتُ أُسَاوِرُهُ فِي الصَّلَاةِ فَتَصَبَّرْتُ حَتَّى سَلَّمَ فَلَمَّا سَلَّمَ لَبَّبْتُهُ بِرِدَائِهِ فَقُلْتُ مَنْ أَقْرَأَكَ هَذِهِ السُّورَةَ الَّتِي سَمِعْتُكَ تَقْرَؤُهَا فَقَالَ أَقْرَأَنِيهَا رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقُلْتُ كَذَبْتَ فَوَاللَّهِ إِنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ هُوَ أَقْرَأَنِي هَذِهِ السُّورَةَ الَّتِي سَمِعْتُكَ تَقْرَؤُهَا فَانْطَلَقْتُ بِهِ أَقُودُهُ إِلَى رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقُلْتُ يَا رَسُولَ اللَّهِ إِنِّي سَمِعْتُ هَذَا يَقْرَأُ سُورَةَ الْفُرْقَانِ عَلَى حُرُوفٍ لَمْ تُقْرِئْنِيهَا وَأَنْتَ أَقْرَأْتَنِي سُورَةَ الْفُرْقَانِ فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَرْسِلْهُ يَا عُمَرُ اقْرَأْ يَا هِشَامُ فَقَرَأَ عَلَيْهِ الْقِرَاءَةَ الَّتِي سَمِعْتُهُ يَقْرَؤُهَا قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ هَكَذَا أُنْزِلَتْ ثُمَّ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ اقْرَأْ يَا عُمَرُ فَقَرَأْتُ الْقِرَاءَةَ الَّتِي أَقْرَأَنِي قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ هَكَذَا أُنْزِلَتْ ثُمَّ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِنَّ هَذَا الْقُرْآنَ أُنْزِلَ عَلَى سَبْعَةِ أَحْرُفٍ فَاقْرَءُوا مَا تَيَسَّرَ مِنْهُ</div><div style="text-align: justify;"><br />
</div><div style="text-align: justify;">”Aku mendengar Hisyam bin Hakim membaca surat al-Furqan di masa hidup Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam. Aku perhatikan bacaannya. Tiba-tiba ia membacanya dengan banyak huruf yang belum pernah aku dibacakan Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam kepadaku, sehingga hampir saja aku melabraknya saat dia shalat, tetapi aku urungkan. Lalu aku menunggunya sampai salam. Begitu selesai, aku tarik pakaiannya dan aku katakan kepadanya:”Siapakah yang mengajarkan bacaan surat itu kepadamu?” Ia menjawab:”Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam yang membacakannya kepadaku” Lalu aku katakan kepadanya:”Kamu dusta! Demi Allah, Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam telah membacakan juga kepadaku surat yang sama, tetapi tidak seperti bacaanmu.”</div><div style="text-align: justify;"><br />
</div><div style="text-align: justify;">Kemudian aku bawa dia menghadap Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam, dan aku ceritakan kepada beliau bahwa aku telah mendengar orang ini membaca surat al-Furqan dengan huruf-huruf (bacaan) yang tidak pernah engkau bacakan kepadaku, padahal engaku sendiri telah membacakan surat al-Furqan kepadaku. Maka Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda:”Lepaskan dia, wahai ‘Umar! Bacalah surat tadi wahai Hisyam!” Hisyam pun kemudian membacanya dengan bacaan seperti yang kudengar tadi. Maka kata Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam””Begitulah surat itu diturunkan.”. Beliau shallallahu 'alaihi wasallam bersabda lagi:”Bacalah wahai ‘Umar!” Lalu aku membacanya dengan bacaan sebagaimana diajarkan Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam kepadaku. Maka kata Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam:”Begitulah surat itu diturunkan. Sesungguhnya al-Qur’an itu diturunkan dengan tujuh huruf, maka bacalah dengan huruf yang mudah bagimu .”(HR. al-Bukhari[ 4706 ، 4754 ، 6537 ، 7111 ] dan imam yang lainnya)</div><div style="text-align: justify;"><br />
</div><div style="text-align: justify;">Hadits-hadits yang berkenaan dengan hal itu amat banyak jumlahnya dan sebagian besar telah diteliti/dikaji oleh Imam Ibnu Jarir ath-Thabari rahimahullah dalam pengantar Tafsirnya. As-Suyuthi rahimahullah menyebutkan bahwa hadits-hadits tersebut diriwayatkan dari dua puluh satu orang Shahabat. Abu ‘Ubaid al-Qasim bin Salam menetapkan kemutawatiran hadits hadits mengenai turunnya al-Qur’an dengan tujuh huruf. (Al-Itqaan)</div><div style="text-align: justify;"><br />
</div><div style="text-align: justify;">Lalu apa makna turun dengan tujuh huruf? Simak pembahsan berikutnya Insyaa Allah…</div><div style="text-align: justify;"><br />
</div><div style="text-align: justify;">(Sumber:Pengantar Studi Ilmu Al-Qur’an, Syaikh Manna al-Qaththan. Edisi terjemahan, Pustaka al-Kautsar hal 194-196. Dipsoting dengan sedikit pengabahan oleh Abu Yusuf Sujono)</div>Unknownnoreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-6058205351850084286.post-79128142811258025472012-04-01T19:04:00.001-07:002012-04-01T19:17:47.036-07:00HIKMAH TURUNNYA AL-QUR’AN DENGAN TUJUH HURUF (TUJUH DIALEK)<div style="text-align: justify;">Hikmah turunnya al-Qur’an dengan tujuh huruf bisa disimpulkan dalam beberapa perkara:</div><div style="text-align: justify;"><br />
</div><div style="text-align: justify;">1. Memeberikan kemudahan dalam membaca dan menghafal bagi kaum yang masih umi (tidak bisa membaca dan menulis), yang masing-masing Kabilah (suku) dari mereka memiliki bahasa (dialek) tersendiri, dan mereka tidak terbiasa untuk menghafal syar’iat, terlebih lagi untuk menjadikan hal itu sebagai kebiasaannya. Hikmah ini ditunjukkan dengan jelas dalam beberapa hadits dengan bermacam-macam redaksi.</div><div style="text-align: justify;"><br />
</div><div style="text-align: justify;">Dari Ubay radhiyallahu 'anhu berkata:</div><div style="text-align: justify;">لقي رسول الله صلى الله عليه وسلم جبريل عند أحجار المِرَاءِ فقال: إني بُعثتُ إلى أمة أمِّيِّين، منهم الغلامُ والخادمُ والشيخ العاسِي والعجوز، فقال جبريل: فليقرأوا القرآن على سبعة أحرف</div><div style="text-align: justify;"><br />
</div><div style="text-align: justify;">Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bertemu dengan Jibril 'alaihissalam di Ahajaril Miraa’ (sebuah daerah di Quba, di luar Madinah) lalu beliau shallallahu 'alaihi wasallam berkata:”Sesungguhnya aku diutus (menjadi Nabi) kepada kaum yang ummi, di antara mereka ada anak-anak, pembantu, lelaki tua dan perempuan tua.” Maka Jibril 'alaihissalam berkata:”Maka boleh bagi mereka membaca al-Qur’an dengan menggunakan tujuh huruf/dialek (sesuai dengan dialek mereka agar mudah)” (HR. ath-Thabari dalam Tafsirnya, Ahmad dalam Musnadnya, Abu Dawud ath-Thayalisi, at-Tirmidzi dan dinyatakan hasan shahih oleh beliau)</div><div style="text-align: justify;"><br />
</div><div style="text-align: justify;">Hadits lain, yaitu sabda beliau shallallahu 'alaihi wasallam:</div><div style="text-align: justify;"><br />
</div><div style="text-align: justify;"><br />
</div><div style="text-align: justify;">إِنَّ اللَّهَ أمُرُني أَنْ أَقْرَأَ الْقُرْآنَ عَلَى حَرْفٍ. فقلت: اللهم خففْ عن أمَّتي</div><div style="text-align: justify;"><br />
</div><div style="text-align: justify;">”Sesungguhnya Allah memerintahku untuk membaca al-Qur’an dengan satu huruf (dialek). Lalu aku berkata:”Ya Allah berilah keringanan untuk ummatku.”</div><div style="text-align: justify;"><br />
</div><div style="text-align: justify;">Dalam hadits yang lain, Jibril 'alaihissalam berkata:</div><div style="text-align: justify;"><br />
</div><div style="text-align: justify;"><br />
</div><div style="text-align: justify;">إِنَّ اللَّهَ يَأْمُرُكَ أَنْ تَقْرَأَ أُمَّتُكَ الْقُرْآنَ عَلَى حَرْفَ</div><div style="text-align: justify;"><br />
</div><div style="text-align: justify;">”Sesungguhnya Allah memerintahkanmu agar membacakan al-Qur’an kepada umatmu dengan satu huruf.”</div><div style="text-align: justify;"><br />
</div><div style="text-align: justify;">Nabi shallallahu 'alaihi wasallam bersabda:</div><div style="text-align: justify;"><br />
</div><div style="text-align: justify;"><br />
</div><div style="text-align: justify;">« أَسْأَلُ اللَّهَ مُعَافَاتَهُ وَمَغْفِرَتَهُ وَإِنَّ أُمَّتِى لاَ تُطِيقُ ذَلِكَ »</div><div style="text-align: justify;"><br />
</div><div style="text-align: justify;">”Aku memohon kepada Allah maaf dan ampunan-Nya, sesungguhnya umatku merasa berat melakukannya.”(HR. Muslim)</div><div style="text-align: justify;"><br />
</div><div style="text-align: justify;">2. Kemukjizatan al-Qur’an terhadap fitrah bahasa bagi bangsa Arab, karena bermacam-macamnya sisi susunan bunyi al-Qur’an menjadikannya sebagai keberagaman yang mampu mengimbangi beragamnya cabang-cabang bahasa (dialek) yang di atasnya fitrah bahasa di kalangan Arab berada. Sehingga setiap orang Arab mampu untuk mengucapkannya dengan huruf-huruf dan kalimatnya sesuai dengan masing-masing lahjah (logat) alami dan dialek kaumnya, namun dengan tetap terjaganya kemukjizatan al-Qur’an yang dengannya Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam menantang orang-orang Arab (untuk membuat yang serupa dengan al-Qur’an). Dan dengan keputusasaan mereka untuk melawan al-Qur’an maka hal itu tidak hanya menjadikannya menjadi mukjizat bagi satu bahasa saja, namun ia menjadi mukjizat bagi fitrah bahasa itu sendiri di kalangan bangsa Arab.</div><div style="text-align: justify;"><br />
</div><div style="text-align: justify;">3. Menunjukkan kemukjizatan al-Qur’an dalam makna dan hukum-hukumnya, karena perubahan bentuk suara dalam sebagian huruf dan kalimatnya menjadikan al-Qur’an siap untuk diambil (disimpulkan) hukum-hukumnya, yang menjadikan al-Qur’an cocok untuk semua zaman. Oleh sebab itu para ulama ahli fikih berdalil dengan Qira’at Sab’ah (tujuh model bacaan) dalam ber-istinbath (menyimpulkan hukum dari dalil) dan ijtihad mereka.”</div><div style="text-align: justify;"><br />
</div><div style="text-align: justify;">4. Di dalamnya juga menunjukkan keistimewaan al-Qur’an dibandingkan dengan kitab-kitab samawi yang lain, karena kitab-kitab tersebut diturunkan sekaligus dengan satu huruf sedangkan al-Qur’an dengan tujuh huruf.</div><div style="text-align: justify;"><br />
</div><div style="text-align: justify;">5. Di dalam turunnya al-Qur’an dalam tujuh huruf ada kemuliaan yang diberikan oleh Allah kepada ummat ini, dan penjelasan tentang luasnya rahmat Allah terhadap mereka, yaitu dengan memudahkan bagi mereka untuk mempelajari kitab-Nya dengan kemudahan yang semaksimal mungkin.</div><div style="text-align: justify;"><br />
</div><div style="text-align: justify;">6. Di dalamnya adalah permulaan untuk menyatukan bahasa-bahasa (dialek) Arab menjadi satu bahasa terpilih yang paling fasih. Dan itu adalah permulaan dalam proses tahapan-tahapan penyatuan umat Islam di atas satu bahasa yang menyatukan mereka.</div><div style="text-align: justify;"><br />
</div><div style="text-align: justify;">7. Bentuk perhatian terhadap kondisi kehidupan suku-suku di jazirah Arab yang berdiri di atas fanatisme penuh terhadap segala sesuatu yang ada kaitannya dengan suku, seperti nasab (garis keturunan), tempat tinggal, maslahat dan bahasa yang susah untuk berubah (berpindah) darinya dalam waktu yang singkat.</div><div style="text-align: justify;"><br />
</div><div style="text-align: justify;">(Sumber: مباحث في علوم القرآن Syaikh Manna al-Qaththan, Maktabah Ma’arif Linasyr wat Tauzi’ Riyadh, hal 169-170 dengan tambahan dari http://uqu.edu.sa/page/ar/158765. Diterjemahkan dan dipsoting oleh Abu Yusuf Sujono) </div><div style="text-align: justify;">http://www.alsofwah.or.id/</div>Unknownnoreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-6058205351850084286.post-1061427151425847932012-03-27T15:02:00.001-07:002012-03-27T15:22:36.962-07:00FUNGSI CONTROL DALAM OPERASIONAL MICROSOFT OFFICEFUNGSI CONTROL DALAM OPERASIONAL MICROSOFT OFFICE<br />
<br />
Nama Ctrl Gandengan FUNGSI<br />
CTRL + A = Ngeblok sec. keseluruhan<br />
CTRL + B = Bold (cetak tebal)<br />
CTRL + C = Mengcopy/menggandakan<br />
CTRL + D = Menggandakan objek(spt gambar) / manggil font<br />
CTRL + E = Center/rata tengah<br />
CTRL + F = Find/u_mencari tek tertentu<br />
CTRL + G = Go To<br />
CTRL + H = Replase<br />
CTRL + I = Cetak miring<br />
CTRL + J = Rata kanan rata kiri<br />
CTRL + K = Untuk menyisipkan hiperlink<br />
CTRL + L = Rata kiri<br />
CTRL + M = Tabulasi<br />
CTRL + N = Buka halaman baru<br />
CTRL + O/F12 = Membuka file / Open<br />
CTRL + P = Printing<br />
CTRL + Q = Menghilangkan tabulasi<br />
CTRL + R = Rata kanan<br />
CTRL + S = Menyimpan file<br />
CTRL + T = Left indent/tab<br />
CTRL + U = Garis bawah<br />
CTRL + V = Paste/duplikat hasil copy<br />
CTRL + W = Tutup file<br />
CTRL + X = Memotong/menghapus<br />
CTRL + Y = Redo cut/menghilangkan kembali tek<br />
CTRL + Z = Undo cut/mengembalikan tek yang di hapus<br />
CTRL + 1 = Spasi 1<br />
CTRL + 2 = Spasi 2<br />
CTRL + 5 = Spasi 1/2<br />
CTRL + [ = Memperkecil tek<br />
CTRL + ] = Memperbesar tek<br />
CTRL + Nol = Menambah baris spasi<br />
CTRL + Plus = Cetak turun<br />
CTRL + F2 = Print preview<br />
SHIFT + F3 = Merubah mentuk tek menjadi besar/kecil<br />
CTRL + F9 = Buka & tutup kurung bersamaan {}<br />
CTRL + F10 = Maximize/restore<br />
CTRL + Shift-plus = Cetak naik<br />
CTRL + shift,L = Memberi bullet<br />
CTRL + shift,D = Dobel garis bawah<br />
CTRL + shift,F = Memilih jenis huruf/fontUnknownnoreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-6058205351850084286.post-74619069907221193772012-03-21T23:52:00.002-07:002012-03-21T23:53:03.196-07:00PUSAT PUSAT PERADABAN ISLAM<div style="text-align: justify;">Sepanjang sejarah Islam dari mulai diangkatnya nabi Muhammad saw menjadi rasul sampai era modern, Islam telah meninggalkan bukti eksistensi kebudayaan yang diciptakan oleh penganutnya. Berikut ini beberapa kota dan bukti kebudayaan Islam yang mengakar di kota tersebut. Meskipun di beberapa titik kebudayaan Islam sudah tidak bisa dilihat namun sejarah masih mencatat bahwa islam dan budayanya pernah eksis di sana.<br />
<br />
A. MEKKAH (Pada masa Nabi Muhammad)<br />
Mekkah disebut Macoroba diambil dari bahasa Saba, Makuraba, yang berarti tempat suci. Kata ini menunjukkan bahwa kota ini didirika oleh suatu kelompok keagamaan. Mekkah adalah tempat yang panas seperti cerita Ibn bathuthah yang kepanasan sewaktu thowah di Ka’bah.Mekkah juga merupakan tempat persinggahan orang-orang mushafir dari Ma’rib dan Gazza.<br />
<br />
Mekkah adalah salah satu pusat kota di jazirah Arab, berada pada jalur penting arabia selatan sampai utara mediterania. Mekkah pada itu dikuasai oleh suku Qurais.Suku Qurais melakukan semua upaya untuk meningkatkan perdagangan di Mekkah dan pada masa berikutnya mereka menjadi suku dominan dan yang menganggap merekalah yang mempunyai hak Preogatif.<br />
<br />
Kehidupan Sosial Ekonomi<br />
Mekkah menjadi pusat perdagangan dan perkembangan intelektual dan politik.Mekkah hampir memonopoli perdagangan antara lautan India dan Mediterania.hubungan diplomatik dan perdagngan juga sudah ada antara suku-suku Arab dan Pejabat Romawi.<br />
<br />
Kehidupan Politik<br />
Pada umumnya di Arab pada saat itu tidak mengenal istilah Raja.Yang mereka kenal adalah istilah Senat atau dalam bahasa Arabnya disebut Mala’a.Didalam senat terdiri dari kepala tiap-tiap suku.tidak ada hal eksekutif yang dapat mengatur atau menjalankan suatu aturan, hanya keputusan bulat yang dapat dijalankan secara eferktif. Dalam kepemrintahan ini juga tidak ada pemungutan pajak atau administrasi lainya.semunya dijalankan dengan syariah islam.<br />
<br />
Mekkah pada masa nabi muhammad lebih dititik beratkan pada menata masyarakatnya pada aqidah. sedangkan untuk ilmu-ilmu lain banyak diterapkan di Madinah. Mekkah menjadi pusat Keagamaan umat islam dunia. Mereka banyak berdatangan ke Mekkah untuk Haji dan umroh.serta memperdalam ilmu agamanya.<br />
<br />
B. MADINAH<br />
Awalnya bernama Yasrib kemudia berganti nama menjadi Madinah Peradaban Madinah berkembang ketika nabi muhammad datang ke Kota itu, dimana onta nabi muhammad berhenti disuatu bidang lahan untuk pembangunan masjid Nabawi. Pada saat itu kaum muslimin melakukan berbagai aktifitasnya di dalam masjid ini, baik beribadah, memutuskan suatu perkara, jual beli maupun perayaan-perayaan.tempat ini menjadi faktor pemersatu umat. Selanjutnya kota ini menjadi pusat kekhalifahan sebagai penerus Nabi Muhammad. Terdapat tiga khalifah yang memerintah dari kota ini yakni Abu Bakar, Umar bin Khattab, dan Utsman bin Affan. Pada masa Ali bin Abi Thalib pemerintahan dipindahkan ke Kufah di Irak karena terjadi gejolak politik akibat terbunuhnya khalifah Utsman.<br />
<br />
Secara sistematik, proses peradaban yang dilakukan oleh nabi pada masyarakat islam di yatsrib adalah<br />
Nabi Muhammad mengubah nama dari yasrib menjadi Madinah Al-munawarah. Perubahan nama itu bukan secara kebetulan, perubahan itu menggambarkan cita-cita nabi Muhammad Saw. yaitu membentuk suatu masyarakat yang tertib dan maju dan berperadaban.<br />
membangun masjid bukan sebagai tempat ritual saja, tapi juga menjadi sarana penting untuk mempersatukan kaum muslimin dengan musyawaah dalam merundingkan masalah-masalah yang dihadapi. Masjid juga sebagai pusat pemerintahan.<br />
Nabi muhammad membentuk kegiatan Mu’akhat (persaudaraan) yang mempersaudarakan kaum Muhajirin dan Anshar<br />
membentuk persahabatan dengan pihak-pihak lain yang tidak beragama islam<br />
membentuk tentara untuk mengantisipasi gangguan yang dilakukan musuh.<br />
Hubungan antara muslim dengan muslim lainya berdasarkan piagam madinah terdapat 5 prinsip<br />
bertetangga baik<br />
saling membantu<br />
membela yang dianiyaya<br />
saling menasehati<br />
menghormati kebebasan agama<br />
C. DAMASKUS<br />
Damaskus adalah ibu kota dinasti Umayyah. Setelah perjanjian damai antara Sayyidina Hasan ibn Ali sebagai khalifah muslim yang berpusat di Madinah dengan Muawiyah ibn Abi Sofyan, sebagai Gubernur di Syria. Sang Gubernur yang mendapatkan limpahan kekuasaan dari cucunda Nabi saw memprokramirkan diri sebagai khalifah dan mengalihkan ibu kota kerajaan Islam ke Damaskus yang notabene ibu kota provinsi Syria.<br />
<br />
D. BAGHDAD<br />
Kota Baghdad didirikan oleh Khalifah Abbasiyah kedua, Al-manshur (754-755) pada tahun 762 M. Setelah mencari-cari daerah yang strategis untuk ibu kotanya, pilihan jatuh pada daerah yang sekarang dinamakan Baghdad, terletak dipinggir kota Tigris. Al-manshur sangat cermat dan teliti dalam memilih lokasi yang akan dijadikan ibu kota. Ia menugaskan beberapa orang ahli untuk meneliti dan mempelajari lokasi. Bahkan, ada beberapa orang diantara mereka yang diperintahkan beberapa hari ditempat itu disetiap musim yang berbeda, kemudian para ahli tersebut melapaorkan kepadanya tentang keadaan udara, tanah dan lingkungan. Setelah penelitian saksama itulah daerah ini ditetapkan sebagai ibu kota dan pembangunan pun dimulai. Menurut cerita rakyat, dearah ini sebelumnya adalah tempat peristirahatan Kisra Anusyriwan, raja Persia yang mashur, di musim panas.Baghdad berarti “taman keadilan”.Taman itu lenyap bersama hancurnya kerajaan Persia. Akan tetapi nama itu tetap menjadi kenangan rakyat.<br />
<br />
Dalam membangun kota ini, Khalifah mempekerjakan staf ahli bangunan yang terdiri dari arsitektur-arsitektur, tukang batu, tukang kayu, ahli lukis, ahli pahat, dan lain-lain. Mereka didatangkan dari Syria, Mosul, Basrah, dan Kufah yang berjumlah sekitar 100.000 orang.Kota ini berbentuk bundar.Disekelilingnya dibangun dinding tembok yang besar dan tinggi.Disebelah luar dinding tembok digali parit besar yang berfungsi sebagai saluaran air dan sekaligus sebagai benteng. Ada empat buah pintu gerbang diseputar kota ini, disediakan untuk setiap orang yang ingin memasuki kota. Keempat pintu gerbang itu adalah baba al-Kufah terletak disebelah barat daya, Bab al-syam dibarat laut, Bab al-Barshrah di tenggara, dan Bab al-Khurasan di timur laut.Diantara masing-masing pintu gerbang ini, dibangun 28 menara sebagai tempat pengawal Negara yang bertugas mengawasi keadaan diluar.Diatas setiap pintu gerbang dibangun suatu tempat peristirahatan.<br />
<br />
Sejak awal berdirinya, kota ini sudah menjadi pusat peradaban dan kebangkitan ilmu pengetahuan dalam Islam. Itulah sebabnya Phili[ K. Hitti menyebutnya sebagai kota intelektual. Menurutnya, diantara kota-kota dunia, Baghdad merupakan Profesor masyarakat Islam. Al manshur memerintahkan penerjemahan buku-buku ilmiah dan kesusastraan dari bahasa asing: India, Yunani lama, Bizantium, Persia dan Syria. Para peminat ilmu dan kesusastraan segera berbondong-bondong datang ke kota itu.<br />
<br />
Setelah masa Al manshur, kota Baghdad menjadi lebih mashyur lagi karena perannya sebagai pusat perkembangan peradaban dan kebudayaan Islam. Masa keemasan kota Baghdad terjadi pada zaman pemerintahan Khalifah Harun Al-Rasyid (786-809) dan anaknya Al-Ma’mun (813-833 M). dari kota inilah memancar sinar kebudayaan dan peradaban islam keseluruh dunia. Prestise politik, supremasi ekonomi, dan aktifitas intelektual merupakan tiga keistimewaan kota ini. Baghdad pada saat itu menjadi pusat peradaban dan kebudayaan yang tertinggi di dunia.Ilmu pengetahuan dan sastra berkembang sangat pesat.Banyak buku filsafat yang dipandang sudah “mati” dihidupkan kembali dengan diterjemahkan kedalam bahasa Arab.<br />
Disamping itu banyak berdiri akademi, sekolah tinggi dan sekolah biasa yang memenuhi kota itu. Perguruan Nizhamiyyah, didirikan oleh Nizham Al-mulk, Perguruan Mustanshiriyah, didirikan 2 abad kemudian oleh Khalifah Mustanshir Billah.<br />
<br />
Dalam bidang sastra, kota Bghdad terkenal dengan hasil karya yang indah dan digemari orang. Alf Lailah wa Lailah, atau kisah seribu satu malam. Dikota ini lahir pula al-Khawarizm (ahli astronomi dan matematika, penemu ilmu aljabar), al-Kindi (filosof Arab pertama), al-Razi (Filosof, ahli Fisika dan kedokteran), al-Farabi (filosof terbesar dan dijuluki dengan al-mu’allim al-Tsani, guru kedua setelah aristoteles), tiga pendiri madzhab hukum Islam (Abu Hanifah, Syafi’I, dan Ahmad Ibn Hambal), Al-Ghazali (Filosof, teolog, dan sufi besar dalam Islam yang dijuluki denagn Hujjah al-Islam), Abd Al-Qadir Al-Jilani (pendiri tarekat qadiriyah), Ibn Muqaffa’ (sastraawn besar), dan lain-lain.<br />
<br />
Dalam bidang ekonomi, perkembangannya sejalan dengan perkembangan polotiknya.Pada masa Harun Al-Rasyid dan Al-Ma’mun, perdagangan dan industri berkembang pesat.Didukung oleh tiga buah pelabuhan yang ramai dikunjungi para khafilah dagang internasional (Cina, India, Asia tengah, Syria, Persia, Mesir, dan negeri Afrika lainnya) Baghdad mendapat julukan Benteng Kesucian.Disinilah istirahatnya Imam Musa Al-Kazhim (imam ketujuh Syiah), Abu hanifah (pendiri mazhab Fiqh Hanafi), Syaikh Junaid, Syibli, dan Abdul Kadir Jailani (pemimpin-pemimpin kaum Sufi).<br />
<br />
Kota ini juga muncul sebagai kota terindah dan termegah didunia pada saat itu, sebelum dihancurlkan oleh tentara Mongol dibawah pimpinan Hulagu Khan tahun 1258 M. mereka menghancurkan perpustakaan yang merupakan gudang ilmu. Pada tahun 1400 M, kota ini diserang pula oleh pasukan Timur Lenk, dan tahun 1508 M oleh tentara kerajaan safawi. Kota Baghdad sekarang tidak mencerminkan kemajuan Baghdad lama.<br />
<br />
E. KAIRO (Mesir)<br />
Kota kairo dibangun pada tanggal 17 Sya’ban 358 H/969 M oleh panglima perang dinasti fathimiah yang beraliran syiah, Jawhar Al-Siqili, atas perintah Khalifah Fathimiah, Al-Mu’izz Lidinillah (953-975 M), sebagai kota kerajaan dinasti tersebut. Wilayah kekuasaannya meliputi Afrika utara, Sucilia dan Syria. Berdirinya kota Kairo sebagai ibu kota kerajaan membuat Baghdad mendapat saingan. Kemudian, Al-Siqili mendirikan mesjid Al-azhar, 17 Ramadhan 359 H. Mesjid ini berkembang menjadi sebuah Universitas besar yang sampai sekarang masih berdiri megah.<br />
<br />
Kota ini mengalami tiga masa kejayaan, yaitu pada masa dinasti Fathimiah, di masa Shalah Al-Din Al-Ayyubi dan dibawah Baybars dan Al-Nashir pada masa dinasti Mamalik. Selama pemerintahan Muizz seni dan ilmu mengalami kemajuan besar.Al-Muizz melaksanakan tiga kebijakan besar, yaitu pembaharuan dalam bidang administrasi, pembangunan ekonomi, dan toleransi beragama (juga aliran). Dalam bidang administrasi, ia mengangkat wazir (menteri) untuk melaksanakan tugas kenegaraan. Dalam bidang ekonomi, ia memberi gaji khusus kepada tentara, personalia istana, dan pejabat pemerintahan lainnya. Dalam bidang agama, diadakan empat lembaga peradilan, dua untuk mazhab Syiah dan dua untuk mazhab Sunni.<br />
<br />
Pada masa Al-Aziz Billah dan Hakim Biamirillah, terdapat seorang mahaguru bernama Ibn Yunus yang menemukan pendulum dan ukuran eaktu dengan ayunannya. Karyanya Zij al-Akbar al-Hakim diterjemahkan kedalam berbagai bahasa.Dia meninggal pada tahun 1009 M dan penemuan-penemuannya diteruskan oleh Ibn Al-nabdi (1040) dan Hasan Ibn Haitham, seorang astronom dan ahli optika. Pada masa pemerintahan Al-Hakim (996-1021 M), didirikan bait al-Hikmah. Dilembaga ini banyak buku-buku.Lembaga ini juga merupakan pusat pengkajian astronomi, kedokteran dan ajaran-ajaran Islam terutama Syiah.<br />
<br />
Ketika jayanya, di Kairo terdapat lebih kurang 20.000 toko milik khalifah, penuh dengan barang-barang dari dalam dan luar negeri.Khafilah-khafilah, tempat-tempat pemandian, dan sarana umum lainnya banyak didirikan penguasa.Istana khalifah dihuni oleh 30.000 orang, 12.000 diantaranya adalah pembantu, 1000 pengawal berkuda.Dinasti Fathimiah ditumbangkan oleh dinasti Ayyubiah yang didirikan oleh Shalah Al-Din, seorang pahlawan Islam yang terkenal pada perang salib.Ia tetap mempertahankan lembaga-lembaga ilmiah yang didirikan oleh Fathimiah tetapi mengubah orientasi keagamaannya dari Syiah kepada Sunni. Ia juga mndirikan lembaga-lembaga ilmiah baru, terutama mesjid yang dilengkapi dengan tempat belajar teologi dan hukum. Karya-karya yang muncul pada saat itu dan sesudahnya adalah kamus biografi, compendium sejarah, manual hokum dan komentar-komentar teologi.Ilmu kedokteran diajarkan dirumah-rumah sakit. Prestasi yang lain adalah didirikannya sebuah rumah sakit bagi ornag yang cacat pikiran. Setelah itu kekuasaan diambil alih oleh dinasti Mamamik.Dinasti ini mampu mempertahankan pusat kekuasaannya dari serangan bangsa Mongol dan mengalahkannya di Ayn Jalut dibawah pimpinan Baybars.Baybars dapat dikatakan sebagai pendiri dinasti ini.Ia juga pahlawan Islam pada saat perang salib. Pada masa itu, Kairo menjadi satu-satuya pusat peradaban Islam yang selamat dari serangan Mongol.Oleh karenanya, Kairo menjadi pusat peradaban dan kebudayaan Islam terpenting.Pada tahun 1261 M mengundang keturunan Abbasiah untuk melanjutkan Khalifahnya di Kairo.Kemudian banyak bangunan didirikan dengan arsitektur yang indah. Namun pada tahun 1517 M, dinasti Mamalik dikalahkan oleh kerajaan Usmani yang berpusat di Turki dan sejak itu Kairo hanya menjadi ibu kota provinsi dari kerajaan Usmani tersebut.<br />
<br />
F. ISTANBUL (Turki)<br />
Istanbul adalah ibu kota kerajaan Turki Usmani yang sebelumnya merupakan ibu kota kerajaan Romawi Timur, yang bernama Konstantinopel. Jauh sebelum Turki Usmani dibawah sultan Muhammad Al-Fatih berhasil menaklukan Konstantinopel, para pemimpin Islam sejak zaman Al-Khalifah Al-Rasyidah, kemudian khalifah bani Umayah dan Khalifah bani Abbas berusaha kearah itu. Namun, baru pada masa kerajaan Turki Usmani usaha itu berhasil.<br />
<br />
Setelah Muhammad Al-Fatih menjadikan Istanbul sebagai Ibu kota kerajaan Turki Usmani, ia melakukan penataan hal-ihwal orang Kristen Yunani (Romawi). Dalam penataan tersebut ia tetap memberikan kebebasan tehadap pihak gereja, seperti yang dilakukan para pendahulunya dan mengakui agama lain sesuai dengan ajaran Islam yang menghormati keyakinan suatu agama. Sultan memberi kebebasan kepada penganut agama Kristen, misalnya untuk memilih dan menentukan patriach.Penduduk Istanbul memang heterogen dalam bidang agama. Menurut sensus tahun 1477 adalah sebagai berikut: Muslim 8951 rumah tangga (60%), penganut Kristen Ortodoks (Yunani) 3151 rumah tangga (21,5%), Yahudi 1647 rumah tangga (11%), dan lain-lain 1054 rumah tangga (7.5%).<br />
<br />
Kerajaan Turki Usmani dengan ibu kota Istanbul itu menjadi sebuah Negara adi daya pada masa jayanya. Wilayah kekuasaannya meliputi sebagian besar Eropa Timur, Timur Tengah, dan Afrika Utara.Sebagai sebuah kerajaan Islam terbesar pada saat itu, maka raja-rajanya juga memakai gelar khalifah. Istana khalifah terletak di kota ini. Sebagai ibu kota, disinilah tempat berkembangnya kebudayaan Turki yang merupakan perpaduan bermacam-macam kebudayaan. Mereka banyak mengambil ajaran etika dan politik dari bangsa Persia.Dalam bidang kemiliteran dan pemerintahan, kebudayaan Bizantium banyak mempengaruhi kerajaan Turki Usmani ini.Kemudian sejak mereka pertama kali masuk Islam, Arab sudah menjadi guru mereka dalam bidang agama, ilmu, prinsip-prinsip kemasyarakatan, dan hukum.Huruf Arab dijadikan huruf resmi kerajaan. Kekuasaan tertinggi memang beradadi tangan sultan, tetapi roda pemerintahan dijalankan oleh Shadr Al-A’zham (perdana menteri) yang berkedudukan di ibu kota. Jabatan-jabatan penting, termasuk perdana menteri, seringkali justru diserahkan kepada orang-orang asal Eropa, dengan syarat menyatakan diri secara formal masuk Islam.Dalam bidang arsitektur, masjid-masjid yang dibangun disana membuktikan kemajuannya. Gereja Aya Sophia, setelah penaklukan diubah menjadi sebuah mesjid agung yang terpenting di Istanbul. Masjid-masjid yang penting lainnya adalah Masjid Agung Al-Muhhamadi, Masjid Abu Ayyub Al-Anshari, Masjib Bayazid dengan gaya Persia, dan masjid Sulaiman Al-Qanuni. Di samping masjid, para sultan juga mendirikan istana-istana dan villa yang megah, sekolah, asrama, rumah sakit, panti asuhan, penginapan, pemandian umum, pusat-pusat tarekat, dan sebagainya.<br />
<br />
G. ISHAFAN (Persia)<br />
Isfahan ialah kota terkenal di Persia, pernah menjadi ibu kota kerajaan Safawi.Ardasir, raja Persia pernah membangun irigasi untuk pengaturan air dari sungai Zandah, bernama Zirrin Rod, berarti sungai emas. Hingga sekarang perekonomian negeri ini sangat bergantung kepada pertanian kapas, candu, dan tembakau. Kota ini, sebelum barada dibawah kerajaan Safawi, sudah beberapa kali mengalami pergantian penguasa: Diansti Samani tahun 301 H, kemudian direbut oleh Mardawij tahun 316 H dan memerdekakan diri dari kekuasaan Baghdad. Setelah itu jatuh ketangan penguasa Bani Buwaih dan pada tahun 421 H direbut oleh Mahmud Al-Ghaznawi, penguasa dinasti Ghaznawiah.Dari penguasa Ghaznawiah ini, Isfahan lepas ketangan penguasa Seljuk dan dijadikan sebagai tempat tinggal sultan Maliksyah. Pada tahun 625 H, terjadi pertempuran disini, ketika tentara-tentara Mongol menyerbu negeri-negeri Islam dan menjadikan Isfahan sebagai salah satu bagian dari wilayah kekuasaan Mongol itu. Ketika Timur Lenk menyerbu negeri-negeri Islam, kota ini ikut jatuh ketangannya tahun 790 H dan sekitar 7000 orang penduduknya terbunuh. Setelah itu kota ini dikuasai oleh kerajaan Usmani tahun 955 H dan pada tahun 1134 H, terjadi pertempuran antara Husein Syah, Raja Safawi dengan Mahmud Al-Afgani, yang mengakhiri riwayat kerajaan Safawi sendiri. Pada tahun 1141 H, kota ini berada dibawah kekuasaan Nadir Syah.<br />
<br />
Ketika raja Safawi , Abbas I menjadikan Isafan sebagai ibu kota kerajaannya, kota ini menjadi kota luas dan ramai dengan penduduk. Masjid Syah yang masih ada sampai sekarang yang didirikan oleh Abbas I, merupakan salah stu mesjid terindah di dunia.Pintunya dilapisi dengan perak.Di samping itu, ada lapangan dan tanaman yang terawatt baik dan menawan.<br />
<br />
H. DELHI (India)<br />
Delhi adalah ibu kota kerajaan-kerajaaan Islam di India sejak tahun 608 H sampai kerajaan Mughal runtuh oleh Inggris tahun 1858. Delhi juga menjadi pusat kebudayaan dan peradaban Islam di anak benua India. Sebelum Islam masuk, Delhi berada di bawah kekuasaan keturunan Johan rajput. Tahun 589 H kota ini ditaklukkan oleh Qutb Al-Din Aybak dan tahun 602 H ini dijadikan ibu kota kerajaan tersendiri olehnya. Dinasti Mamluk ini berkuasa sampai tahun 689 H, kemudian diganti oleh dinasti Khalji (1296-1316 M), setelah itu dinasti Tughlug (1320-1413 M).Babul, raja Mughal pertama, merebut Delhi dari tangan dinasti Lodi.<br />
<br />
Dinasti Mamluk mendirikan sebuah menara setinggi 257 kaki (Qutb Manar) dan sebuah Masjid bernama “Qutb Al-Islam). Mamluk juga memperluas tembok kota Hindu (kil’a Ray Pithora).<br />
<br />
Dinasti Khalji memperluas benteng Lalkot yang lama dengan maksud mempertahankan kota dari serangan bangsa Mongol. Dinasti ini juga mendirikan sebuah istana megah tersendiri.<br />
Sementara itu, raja pertama dinasti Thuglug mendirikan Tughlughabad, sekitar 8 km di sebelah timur Kil’a Ray Pithora, yang kemudian dijadikan sebagai pusat pemerintahan tahun 720 H. Muhammad ibn Tughlug juga melaksanakan sebuah proyek raksasa, yaitu mendirikan Adilabad yang kemudian dikenal dengan kota Jahanpanah. Hal yang sama dilakukan Fairuz Tughlugh dengan mendirikan kota Fairuzabad yang kemudian dikenal dengan Syahjahanabad.<br />
<br />
Setelah Delhi Delhi dihancurkan oleh tentara timur Lenk, kekuasaan raja-raja yang berkedudukan di Delhi merosot tajam. Delhi baru menjadi ibu kota kerajaan Mughal pada masa Humayun (1530-1556), seorang raja yang cinta ilmu. Dia wafat saat terjatuh di tangga perpustakaannya di Panah. Raja Mughal lainnya, Syah Jehan (1628-1658M) mendirikan kota Syahjahanabad. Delhi Islam yang dapat disaksikan sekarang adalah Delhi yang hanya dibangun oleh kerajaan Mughal.<br />
<br />
I. ANDALUS (Spanyol)<br />
Di Spanyol banyak kota-kota Islam yang Mashyur dan menjadi pusat peradaban Islam : Sevilla, Kordova, Granada, Murcia, dan Toledo. Yang terpenting diantaranya adalah Kordova dan Granada.<br />
1. Kordova<br />
Sebelum Spanyol ditaklukan oleh tentara Islam tahun 711 M, Kordova adalah ibu kota kerajaan Kristen Visigoth, sebelum dipindahkan ke Toledoi. Dibawah pemerintahan Visigoth, Kordova yang sebelumnya makmur menjadi mundur.Kemakmurannya bangkit kembali di masa kekuasaan Islam. Pada tahun 756 M, kota ini menjadi ibu kota dan pusat pemerintahan Bani Umayyah di Spanyol, setelah Bani Umayyah di Damaskus jatuh ke tangan Bani Abbas tahun 750 M. Penguasa Bani Umayyah pertama Spanyol adalah Abn Al-Rahman Al-Dakhil. Kekuasaan bani Umayyah di Andalus ini berlangsung dari tahun 756 M-1031 M. Sebagai ibu kota pemerintahan, Kordova di masa Bani umayah mengalami perkembangan pesat. Bnayak bangunan baru yang didirikan, seperti istana dan masjid-masjid. Kota ini juga diperluas, membangun sebuah jembatan berarsitektur islam dalam gaya Romawi, dan lain-lain. Perkembangan kota ini mencapai puncaknya pada masa pemerintahan Abd Al-Rahman Al-nashir di pertengahan abad ke10 M. Pada masa Islam, Kordova terkenal juga sebagai pusat kerajinan barang-barang dari perak, sulaman-sulaman, dari sutera dan kulit. Pada tahun 1236 M, Kordova direbut oleh tentara Kristen di bawah pimpinan Ferdinand III dari Castilla.Setelah itu, supremasi Islam di Spanyol mulai mengalami kemunduran.Pada masa pemerintahan Bani Ummayah di Spanyol, Kordova mnejadi pusat ilmu pengetahuan. Di kota ini berdiri Universitas Cordova, perpustakaan besar yang mempunyai koleksi kira-kira 400.000 judul buku. Hal tersebut tak terlepas dari Abd Al-rahman Al-Nashir dan anaknya Al-Al-HAkam. Pada masanyalah tercapai apa yang dinamakan masa keemasan ilmu pengetahuan dan sastra di Spanyol Islam.<br />
<br />
Zaman emasnya kesusastraan dan Ilmu di Spanyol terjadi ketika daerah ini dibawah pemerintahan Hakam Al-Mustansir Billah yang meninggal tahun 976 M.<br />
Pada masa jayanya, di Kordova terdapat 491 masjid dan 900 pemandian umum. Karena air di Kota ini tak dapat diminum, penguasa Muslim mendirikan saluran air dari pegunungan yang panjangnya 80 km.<br />
<br />
2. Granada<br />
Kota ini berada dibawah kekuasaan Islam hampir bersamaan dengan kota-kota lain di Spanyol yang ditaklukan oleh tentara Bani Umayyah di bawah pimpinan Tarik Ibn Ziyad dan Musa ibn Nushair tahun 711 M. Pada masa pemerintahan Bani Umayyah di Spanyol, kota ini disebut Andalusia Atas. Pada masa itu, Granada mengalami perkembangan pesat. Setelah Bani Umayyah mengalami kemunduran, tahun 1031 M, dalam jangka 60 tahun, Granada diperintah oleh dinasti Zirids. Setelah itu, Granada jatuh kebawah pemerintahan Al-Mubarithun, sebuah dinasti barbar di Afrika Utara pada tahun 1090-111149 M.<br />
<br />
Pada abad ke12, Granada menjadi Kota terbesar kelima di Spanyol.Sejak abad ke13, Granada diperintah oleh dinasti Nasrid selama lebih kurang 250 tahun.Pada masa itulah dibangun istana megah (Al-Hambra). Istana ini dibangun oleh arsitek-arsitek Muslim pada tahun 1238 M dan terus dikembangkan sampai tahun 1358 M. Istana ini terletak di sebelah Timur Al-Kajaba, sebuah benteng tentara Islam. Granada terkenal dengan tembok dan 20 menara mengitarinya.<br />
<br />
Pada masa pemerintahan Muhammad V (1354-1391 M), Granada mencapai puncak kejayaannya, baik dalam bidang arsitektur maupun dalam bidang politik. Pada tahun 1492, kota ini jatuh ke tangan penguasa Kristen, raja Ferdinand dan Issabela. Selanjutnya, tahun 1610 M orang-orang Islam diusir dari kota ini oleh penguasa Kristen.<br />
<br />
J. SAMARKAND dan BUKHARA (Transoxania)<br />
Kota ini beberapa kali diduduki oleh Iskandar ketika ia dan pasukannya berperang melawan Spitamenes. Tapi menurut bangsa Arab, Iskandarlah yang mendirikan kota itu. Setelah tahun 323 M, kota ini menjadi bagian dari sebuah kekuasaan yang berpusat di Bactria. Setelah itu, disana berdiri kerajaan Graeco-Bactrion (Bactria Yunani) pada masa Anthiochus II Theos.Sejak itu, hubungan politik dan ekonomi antara Samarkand dengan Persia dan Cina terputus, meskipun dalam bidang budaya masih berlanjut.Dilihat dari bangunan-bangunan kuno, pengaruh Persia sudah lama tertanam disana.Pengaruh Cina juga besar.Sebelum Islam datang disana sudah terdapat tempat ibadah agama Budha.Usaha-usaha Islam dalam ekspansi ke negeri ini selalu gagal, kecuali setelah Qutaibah ibn Muslim ditunjuk sebagai gubernur Khurasan.Ketika itu Samrkand diperintah oleh Tharkhun. Pada tahun 91 H ia mengadakan perjanjian damai dengan Qutaibah dan berjanji untuk membayar Jizyah (pajak) kepada pemerintah Islam di Damaskus, dibawah dinasti Bani umayyah. Namun penduduk negeri itu marah kepada Tarkhun dan menurunkannya dari kekuasaannya.Posisinya diganti oleh Ikhsyiz Ghurik. Qutaibah berjasil memaksa Ikhsyiz untuk menerima perjanjian itu pada tahun 93 H setelah ia dan pasukannya mengepung kota dalam waktu yang cukup panjang. Sejak itu, Samarkand dan Bukhara menjadi batu loncatan untuk melancarkan ekspansi lebih luas di negeri Transoxiana. Pada tahun 204 H, Al-Ma’mun , khalifah dari Bani Abbas di Baghdad menyerahkan semua urusan pemerintahan negeri Transoxiana, khususnya Samarkand dan Bukhara kepada keluarga Asad ibn Saman. Sejk itu, dua kota ini berada di bawah kekuasaan dinasti Samaniah. Samarkand menjadi daerah yang sangat makmur dan sejahtera.Ia menjadi pusat perdagangan dan kebudayaan Islam. Penghasilan utama kota Samarkand adalah kertas Samarkand yang terkenal. Sedangkan kota Bukhara terkenal dengan perdagangan dan industri tenunnya. Di Samarkand terdapat makam terkenal, yaitu makam Qasim ibn Abbas (pembawa agama Islam ke negeri ini pada masa Khlaifah Usman bin Affan).Sedangkan di Bukhara terdapat makam Baha’ Al-Din Al-Naqsyabandi.Bukhara juga dikenal sebagai pusat ilmu-ilmu keagamaan Islam. Setelah dinasti Samaniah runtuh, Samrkand dan Bukhara jatuh ke tangan dinasti Seljuk Sanjar tahun 495 H. tapi pada tahun 536 H kota ini direbut oleh dinasti Khawarizmsyah. Pada tahun 606 H, dua kota ini dikepung oleh Jengis Khan, yaitu pada tahun 616 H, setahun kemudian, kota Samarkand, setelah sebagian penduduk dibunuh dan bangunan dihancurkan, penduduk yang lain diperkenankan tinggal di sana di bawah kekuasaan Mongol.<br />
<br />
Selama seratus lima puluh tahun berikutnya sejarah kota ini sangat menyedihkan. Kebangkitan kembali terjadi mulai tahun 771 H, pada masa pemerintahan Timur Lenk, penguasa tertinggi di Transoxiana. Timur Lenk menjadikan Samarkand sebagai ibu kota pemerintahannya. Kota ini diperindah oleh Ulugh Bek (857 H), cucu Timur Lenk, dengan mendirikan sebuah istana yang sangat megah. Di pihak lain, Bukhara, secara politik, menjadi sebuah kota yang tak berarti. Tahun 906 H, dua kota ini jatuh ke tangan Syaibani, raja Uzbek. Setelah ia wafat, direbut oleh Babur, raja Mughal di India dan daerah Transoxiana kembali dikuasai oleh orang-orang Uzbekistan. Pada tahun 1917 M, Uni Soviet berdiri dan Uzbekistan yang didalamnya terdapat Samarkand dan Bukhara menjadi bagian dari Uni Soviet. Penduduknya kemudian menganut ideology Komunis. Sejak tahun 1992 M, Uzbekistan menjadi Negara muslim merdeka, karena Uni Soviet bubar dengan sendirinya.<br />
<br />
</div>Unknownnoreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-6058205351850084286.post-78824897869240726652012-03-21T23:50:00.000-07:002012-03-21T23:50:23.378-07:00Sejarah Peradaban Islam di Indonesia<div style="text-align: center;"><b>BAB I</b><br />
<b>PENDAHULUAN</b></div><div style="text-align: justify;"><br />
A. LATAR BELAKANG<br />
Dengan adanya perkembangan zaman modern yang mempengaruhi kebudayaan yang ada di Indonesia yang pada akhirnya secara perlahan budaya tersebut akan mulai di lupakan oleh masyarakat, karena lebih memilih sistem modrn. Dari kajian tersebut, maka perlu mempelajari sejarah-sejarah masa lampau yang tersebar di nusantara.<br />
Khusus peradaban Islam di Indonesia, sebagian masyarakat Indonesia yang beragama islam tidak mengetahui tentang peradaban tesebut. Hal ini dikarenakan kurangnya informasi yang diperoleh. Untuk mengkaji kembali peradaban tersebut, maka perlu di susun suatu tulisan yang membahas tentang masalah peradaban islam di Indonesia. Salah satu bentuk tulisan itu adalah penulisan makalah ini, yang diharapkan mampu memberikan informasi secara singkat tentang peradaban islam di Indonesia.<br />
<br />
B. PERMASALAHAN<br />
Dari perumusan latar belakang di atas, maka permasalahan dalam penulisan makalah ini adalah “Bagaimana gambaran tentang peradaban inlam di Indonesia”.<br />
<br />
C. TUJUAN PENULISAN<br />
Tujuan dari penulisan makalah ini adalah untuk mengetahui tentang peradaban islam di Indonesia.<br />
<br />
D. MANFAAT PENULISAN<br />
Adapun manfaat dari penulisan ini adalah untuk memberikan informasi kepada para pembaca tentang peradaban islam di Indonesia.<br />
</div><div style="text-align: center;"><b>BAB II<br />
PEMBAHASAN</b></div><div style="text-align: justify;"><br />
Mengenai tempat asal kedatangan Islam yang menyentuh Indonesia, di kalangan para sejarawan terdapat beberapa pendapat. Ahmad Mansur Suryanegara mengikhtisarkannya menjadi tiga teori besar. Pertama, teori Gujarat, India. Islam dipercayai datang dari wilayah Gujarat – India melalui peran para pedagang India muslim pada sekitar abad ke-13 M. Kedua, teori Makkah. Islam dipercaya tiba di Indonesia langsung dari Timur Tengah melalui jasa para pedagang Arab muslim sekitar abad ke-7 M. Ketiga, teori Persia. Islam tiba di Indonesia melalui peran para pedagang asal Persia yang dalam perjalanannya singgah ke Gujarat sebelum ke nusantara sekitar abad ke-13 M. <br />
<br />
Pada tahun 674M semasa pemerintahan Khilafah Islam Utsman bi Affan, memerintahkan mengirimkan utusannya (Muawiyah bin Abu Sufyan) ke tanah Jawa yaitu ke Jepara (pada saat itu namanya Kalingga). Hasil kunjungan duta Islam ini adalah raja Jay Sima ptra ratu Sima dari Kalingga masuk Islam.<br />
<br />
Kalau Ahli Sejarah Barat beranggapan bahwa Islam masuk di Indonesia mulai abad 13 adalah tidak benar, Hamka berpendapat bahwa pada tahun 625 M sebuah naskah Tiongkok mengkabarkan bahwa menemukan kelompok bangsa Arab yang telah bermukim di pantai Barat Sumatra (Barus). Pada saat nanti wilayah Barus ini akan masuk ke wilayah kerajaan Sriwijaya. <br />
Pada tahun 718M raja Srivijaya Sri Indravarman setelah kerusuhan Kanton juga masuk Islam pada masa kholifah Umar bin Abdul Aziz (Dinasti Umayyah). <br />
<br />
Melalui Kesultanan Tidore yang juga menguasai Tanah Papua, sejak abad ke-17, jangkauan terjauh penyebaran Islam sudah mencapai Semenanjung Onin di Kabupaten Fakfak, Papua Barat.<br />
Sanggahan Teori Islam Masuk Indonesia abad 13 melalui Pedagang Gujarat Teori Islam Masuk Indonesia abad 13 melalui pedagang Gujarat adalah tidaklah benar, apabila benar maka tentunya Islam yang akan berkembang kebanyakan di Indonesia adalah aliran Syiah karena Gujarat pada masa itu beraliran Syiah, akan tetapi kenyataan Islam di Indonesia didominasi Mashab Safi'i. Sanggahan lain adalah bukti telah munculnya Islam di masa awal dengan bukti Tarikh Nisan Fatimah binti Maimun (1082M) di Gresik.<br />
<br />
A. PERADABAN SEBELUM KEMERDEKAAN<br />
Islam masuk ke Indonesia pada abad pertama hijriyah atau abad ke tujuh sampai abad ke delapanmasehi. Ini mungkin didasarkan kepada penemuan batu nisan seorang wanita muslimah yang bernama Fatimah binti Maimun dileran dekat Surabaya bertahun 475 H atau 1082 M. Sedang menurut laporan seorang musafir Maroko Ibnu Batutah yang mengunjungi Samudera Pasai dalam perjalanannya ke negeri Cina pada tahun 1345 M. Agama islam yang bermahzab Syafi’I telah mantap disana selama se abad, oleh karena itu berdasarkan bukti ini abad ke XIII di anggap sebagai awal masuknya agama islam ke Indonesia.<br />
Daerah yang pertama-pertama dikunjungi ialah pesisir Utara pulau Sumatera, yaitu di peureulak Aceh Timur, kemudian meluas sampai bisa mendirikan kerajaan islam pertama di Samudera Pasai, Aceh Utara. Pesisir Utara pulau Jawa kemudian meluas ke Maluku yang selama beberapa abad menjadi pusat kerajaan Hindu yaitu kerajaan Maja Pahit.<br />
Pada permulaan abad ke XVII dengan masuk islamnya penguasa kerajaan Mataram, yaitu: Sultan Agung maka kemenangan agama islam hampir meliputi sebagai besar wilayah Indonesia. <br />
<br />
Pada tahun 1601 kerajaan Hindia Belanda datang ke Nusantara untuk berdagang, namun pada perkembangan selanjutnya mereka menjajah daerah ini. Belanda datang ke Indonesia dengan kamar dagangnya, VOC, sejak itu hampir seluruh wilayah Nusantara dikuasainya kecuali Aceh. Saat itu antara kerajaan-kerajaan Islam di Nusantara belum sempat membentuk aliansi atau kerja sama. Hal ini yang menyebabkan proses penyebaran dakwah terpotong.<br />
Dengan sumuliayatul (kesempurnaan) Islam yang tidak ada pemisahan antara aspek-aspek kehidupan tertentu dengan yang lainnya, ini telah diterapkan oleh para ulama saat itu. Ketika penjajahan datang, para ulama mengubah pesantren menjadi markas perjuangan, para santri (peserta didik pesantren) menjadi jundullah (pasukan Allah) yang siap melawan penjajah, sedangkan ulamanya menjadi panglima perang. Potensi-potensi tumbuh dan berkembang di abad ke-13 menjadi kekuatan perlawanan terhadap penjajah. Ini dapat dibuktikan dengan adanya hikayat-hikayat pada masa kerajaan Islam yang syair-syairnya berisi seruan perjuangan. Para ulama menggelorakan jihad melawan penjajah Belanda. Belanda mengalami kewalahan yang akhirnya menggunakan strategi-strategi: Politik devide et impera, yang pada kenyataannya memecah-belah atau mengadu domba antara kekuatan ulama dengan adat, contohnya perang Padri di Sumatera Barat dan perang Diponegoro di Jawa.<br />
<br />
Mendatangkan Prof. Dr. Snouk Cristian Hourgonye alias Abdul Gafar, seorang Guru Besar ke-Indonesiaan di Universitas Hindia Belanda, yang juga seorang orientalis yang pernah mempelajari Islam di Mekkah. Dia berpendapat agar pemerintahan Belanda membiarkan umat Islam hanya melakukan ibadah mahdhoh (khusus) dan dilarang berbicara atau sampai melakukan politik praktis. Gagasan tersebut dijalani oleh pemerintahan Belanda dan salah satunya adalah pembatasan terhadap kaum muslimin yang akan melakukan ibadah Haji, karena pada saat itulah terjadi pematangan pejuangan terhadap penjajahan.<br />
<br />
Di akhir abad ke-19, muncul ideologi pembaruan Islam yang diserukan oleh Jamal-al-Din Afghani dan Muhammad Abduh. Ulama-ulama Minangkabau yang belajar di Kairo, Mesir banyak berperan dalam menyebarkan ide-ide tersebut, diantara mereka ialah Muhammad Djamil Djambek dan Abdul Karim Amrullah. Pembaruan Islam yang tumbuh begitu pesat didukung dengan berdirinya sekolah-sekolah pembaruan seperti Adabiah (1909), Diniyah Putri (1911), dan Sumatera Thawalib (1915). Pada tahun 1906, Tahir bin Jalaluddin menerbitkan koran pembaruan al-Iman di Singapura dan lima tahun kemudian, di Padang terbit koran dwi-mingguan al-Munir.<br />
<br />
Sejak pertengahan abad ke XIX, agama islam di Indonesia secara bertahap mulai meninggalkan sifat-sifatnya yang Singkretik (mistik). Setelah banyak orang Indonesia yang mengadakan hubungan dengan Mekkah dengan cara menunaikan ibadah haji, dan sebagiannya ada yang bermukim bertahun-tahun lamanya.<br />
<br />
Ada tiga tahapan “masa” yang dilalui atau pergerakan sebelum kemerdekaan, yakni :<br />
1. Pada Masa Kesultanan<br />
Daerah yang sedikit sekali disentuh oleh kebudayaan Hindu-Budha adalah daerah Aceh, Minangkabau di Sumatera Barat dan Banten di Jawa. Agama islam secara mendalam mempengaruhi kehidupan agama, social dan politik penganut-penganutnya sehingga di daerah-daerah tersebut agama islam itu telah menunjukkan dalam bentuk yang lebih murni. Dikerajaan tersebut agama islam tertanam kuat sampai Indonesia merdeka. Salah satu buktinya yaiut banyaknya nama-nama islam dan peninggalan-peninggalan yang bernilai keIslaman.<br />
<br />
Dikerjaan Banjar dengan masuk islamnya raja banjar. Perkembangan islam selanjutnya tidak begitu sulit, raja menunjukkan fasilitas dan kemudahan lainnya yang hasilnya membawa kepada kehidupan masyarakat Banjar yang benar-benar bersendikan islam. Secara konkrit kehidupan keagamaan di kerajaan Banjar ini diwujudkan dengan adanya Mufti dan Qadhi atas jasa Muhammad Arsyad Al-Banjari yang ahli dalam bidang Fiqih dan Tasawuf.<br />
<br />
Islam di Jawa, pada masa pertumbuhannya diwarnai kebudayaan jawa, ia banyak memberikan kelonggaran pada sistem kepercayaan yang dianut agama Hindu-Budha. Hal ini memberikan kemudahan dalam islamisasi atau paling tidak mengurangi kesulitan-kesulitan. Para wali terutama Wali Songo sangatlah berjasa dalam pengembangan agama islam di pulau Jawa.<br />
<br />
Menurut buku Babad Diponegoro yang dikutip Ruslan Abdulgani dikabarkan bahwa Prabu Kertawijaya penguasa terakhir kerajaan Mojo Pahit, setelah mendengar penjelasan Sunan Ampel dan sunan Giri, maksud agam islam dan agama Budha itu sama, hanya cara beribadahnya yang berbeda. Oleh karena itu ia tidak melarang rakyatnya untuk memeluk agama baru itu (agama islam), asalkan dilakukan dengan kesadaran, keyakinan, dan tanpa paksaan atau pun kekerasan.<br />
<br />
2. Pada Masa Penjajahan<br />
Dengan datangnya pedagang-pedagang barat ke Indonesia yang berbeda watak dengan pedagang-pedagang Arab, Persia, dan India yang beragama islam, kaum pedagang barat yang beragama Kristen melakukan misinya dengan kekerasan terutama dagang teknologi persenjataan mereka yang lebih ungggul daripada persenjataan Indonesia. Tujuan mereka adalah untuk menaklukkan kerajaan-kerajaan islam di sepanjang pesisir kepulauan nusantara. Pada mulanya mereka datang ke Indonesia untuk menjalin hubungan dagang, karena Indonesia kaya dengan rempah-rempah, kemudian mereka ingin memonopoli perdagangan tersebut.<br />
<br />
Waktu itu kolonial belum berani mencampuri masalah islam, karena mereka belum mengetahui ajaran islam dan bahasa Arab, juga belum mengetahui sistem social islam. Pada tahun 1808 pemerintah Belanda mengeluarkan instruksi kepada para bupati agar urusan agama tidak diganggu, dan pemuka-pemuka agama dibiarkan untuk memutuskan perkara-perkara dibidang perkawinan dan kewarisan.<br />
<br />
Tahun 1820 dibuatlah Statsblaad untuk mempertegaskan instruksi ini. Dan pada tahun 1867 campur tangan mereka lebih tampak lagi, dengan adanya instruksi kepada bupati dan wedana, untuk mengawasi ulama-ulama agar tidak melakukan apapun yang bertentangan dengan peraturan Gubernur Jendral. Lalu pada tahun 1882, mereka mengatur lembaga peradilan agama yang dibatasi hanya menangani perkara-perkara perkawinan, kewarisan, perwalian, dan perwakafan.<br />
<br />
Apalagi setelah kedatangan Snouck Hurgronye yang ditugasi menjadi penasehat urusan Pribumi dan Arab, pemerintahan Belanda lebih berani membuat kebijaksanaan mengenai masalah islam di Indonesia, karena Snouck mempunyai pengalaman dalam penelitian lapangan di negeri Arab, Jawa, dan Aceh. Lalu ia mengemukakan gagasannya yang dikenal dengan politik islamnya. Dengan politik itu, ia membagi masalah islam dalam tiga kategori :<br />
a. Bidang agama murni atau ibadah Pemerintahan kolonial memberikan kemerdekaan kepada umat islam untuk melaksanakan agamanya sepanjang tidak mengganggu kekuasaan pemerintah Belanda.<br />
b. Bidang sosial kemasyarakatan Hukum islam baru bisa diberlakukan apabila tidak bertentangan dengan adapt kebiasaan.<br />
c. Bidang politik Orang islam dilarang membahas hukum islam, baik Al-Qur’an maupun Sunnah yang menerangkan tentang politik kenegaraan dan ketata negaraan.<br />
<br />
3. Pada Masa Kemerdekaan<br />
Terdapat asumsi yang senantiasa melekat dalam setiap penelitian sejarah bahwa masa kini sebagian dibentuk oleh masa lalu dan sebagian masa depan dibentuk hari ini. Demikian pula halnya dengan kenyataan umat islam Indonesia pada masa kini, tentu sangat dipengaruhi masa lalunya.<br />
Islam di Indonesia telah diakui sebagai kekuatan cultural, tetapi islam dicegah untuk merumuskan bangsa Indonesia menurut versi islam. Sebagai kekuatan moral dan budaya, islam diakui keberadaannya, tetapi tidak pada kekuatan politik secara riil (nyata) di negeri ini.<br />
Seperti halnya pada masa penjajahan Belanda, sesuai dengan pendapat Snouck Hurgronye, islam sebagai kekuatan ibadah (sholat) atau soal haji perlu diberi kebebasan, namun sebagai kekuatan politik perlu dibatasi. Perkembangan selanjutnya pada masa Orde Lama, islam telah diberi tempat tertentu dalam konfigurasi (bentuk/wujud) yang paradoks, terutama dalam dunia politik. Sedangkan pada masa Orde Baru, tampaknya islam diakui hanya sebatas sebagai landasan moral bagi pembangunan bangsa dan negara.<br />
<br />
B. PERADABAN SESUDAH KEMERDEKAAN<br />
1. Pra Kemerdekaan<br />
Ajaran islam pada hakikatnya terlalu dinamis untuk dapat dijinakkan begitu saja. Berdasarkan pengalaman melawan penjajah yang tak mungkin dihadapi dengan perlawanan fisik, tetapi harus melalui pemikiran-pemikiran dan kekuatan organanisasi. Seperti :<br />
• Budi Utomo (1908) <br />
• Taman Siswa (1922)<br />
• Sarikat Islam (1911<br />
• Nahdhatul Ulama (1926)<br />
• Muhammadiyah (1912) - Partai Nasional Indonesia (1927)<br />
• Partai Komunis Indonesia (1914)<br />
<br />
Menurut Deliar Noer, selain yang tersebut diatasmasih ada organisasi islam lainnya yang berdiri pada masa itu, diantaranya:<br />
• Jamiat Khair (1905)<br />
• Persyarikatan Ulama ( 1911)<br />
• Persatuan Islam (1920)<br />
• Partai Arab Indonesia (1934)<br />
<br />
Organisasi perbaharu terpenting dikalangan organisasi tersebut diatas, adalah Muhammadiyah yang didirikan oleh K.H Ahmad Dahlan, dan Nadhatul Ulama yang dipelopori oleh K.H Hasyim Asy’ari.<br />
Untuk mempersatukan pemikiran guna menghadapi kaum penjajah, maka Muhammadiyah dan Nadhatul Ulama bersama-sama menjadi sponsor pembentukan suatu federasi islam yang baru yang disebut Majelis Islan Ala Indonesia ( Majelis Islam Tertinggi di Indonesia ) yang disingkat MIAI, yang didirikan di Surabaya pada tahun 1937.<br />
<br />
Masa pemerintahan Jepang, ada tiga pranata sosial yang dibentuk oleh pemerintahan Jepang yang menguntungkan kaum muslim di Indonesia, yaitu :<br />
a. Shumubu, yaitu Kantor Urusan Agama yang menggantikan Kantor Urusan Pribumi zaman Belanda, yang dipimpin oleh Hoesein Djayadiningrat pada 1 Oktober 1943.<br />
b. Masyumi, ( Majelis Syura Muslimin Indonesia menggantikan MIAI yang dibubarkan pada bulan oktober 1943, Tujuan didirikannya adalah selain untuk memperkokohkan Persatuan Umat Islam di Indonesia, juga untuk meningkatkan bantuan kaum muslimin kepada usaha peperangan Jepang.<br />
c. Hizbullah, ( Partai Allah atau Angkatan Allah ) semacam organisasi militer untuk pemuda-pemuda muslimin yang dipimpin oleh Zainul Arifin. Organisasi inilah yang menjadi cikal bakal Tentara Nasional <br />
d. Indonesia (TNI).<br />
<br />
2. Pasca Kemerdekaan<br />
Organisasi-organisasi yang muncul pada masa sebelum kemerdekaan masih tetap berkembang di masa kemerdekaan, seperti Muhammadiyah, Nadhatul Ulama, Masyumi dan lain lain. Namun ada gerakan-gerakan islam yang muncul sesudah tahun 1945 sampai akhir Orde Lama. Gerakan ini adalah DI/TII yang berusaha dengan kekerasan untuk merealisasikan cita-cita negara islam Indonesia.<br />
Gerakan kekerasan yang bernada islam ini terjadi diberbagai daerah di Indonesia diantaranya :<br />
• Di Jawa Barat, pada tahun 1949 – 1962<br />
• Di Jawa Tengah, pada tahun 1965<br />
• Di Sulawesi, berakhir pada tahun 1965<br />
• Di Kalimantan, berakhir pada tahun 1963<br />
• Dan di Aceh,pada tahun 1953 yang berakhir dengan kompromi pada tahun 1957<br />
</div><div style="text-align: center;"><b>BAB II</b><br />
<b>PENUTUP</b></div><div style="text-align: justify;"><br />
A. KESIMPULAN<br />
Islam masuk ke Indonesia pada abad pertama hijriyah atau abad ke tujuh sampai abad ke delapan masehi. Ini mungkin didasarkan kepada penemuan batu nisan seorang wanita muslimah yang bernama Fatimah binti Maimun dileran dekat Surabaya bertahun 475 H atau 1082 M. Sedang menurut laporan seorang musafir Maroko Ibnu Batutah yang mengunjungi Samudera Pasai dalam perjalanannya ke negeri Cina pada tahun 1345 M. Agama islam yang bermahzab Syafi’I telah mantap disana selama se abad, oleh karena itu berdasarkan bukti ini abad ke XIII di anggap sebagai awal masuknya agama islam ke Indonesia.<br />
<br />
B. SARAN<br />
Diharapkan bagi umat muslim khususnya agar mengkaji peradaban islam lebih mendalan untuk mempertahankan bukti sejarah peradaban islam di Indonesia di masa ke masa.<br />
<br />
</div>Unknownnoreply@blogger.com0